Surga di Bawah Khatulistiwa Itu Terguncang dan Tertelan

Ilustrasi/AFP

Koran Sulindo – Pembukaan even tahunan itu rencananya digelar pada Jumat (28/9/2018) malam. Panggung megah sudah siap; sekitar 1.500 peserta dan partisipan dari wilayah setempat dan daerah lain di Indonesia sudah berkumpul di kota yang terletak di ujung Teluk Palu itu.

Seremonia hanya tinggal hitungan mundur. Festival Pesona Palu Nomoni yang ke-3 itu segera dibuka. Dalam video Dinas Pariwisata setempat yang diunggah di Youtube, terlihat panggung berukuran besar telah berdiri di bibir pantai, lengkap dengan tenda dan kursi, juga foto besar Wali Kota dan Wakil Wali Kota di punggung panggung. Festival yang dimulai sejak 2016 itu dipusatkan di sepanjang pesisir teluk, mulai dari depan area Hotel Wina hingga Swiss Bell Hotel.

Tapi tiba-tiba menjelang sore berganti malam, bumi terguncang tanah bergoyang-goyang. Tak sampai setengah jam kemudian air menggulung-gulung datang dari lautan lepas, memasuki mulut teluk luas yang panjang pesisir pantainya sekitar 72 kilometer tersebut, dan meluluhlantakkan apa saja yang ditemui.

Ilustrasi/AFP

Masjid Apung yang indah itu terputus dari bibir pantai, Jembatan Kuning yang mempesona itu terpotong-potong; ribuan nyawa manusia melayang.

Ilustrasi/JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images

Gempa bumi berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR) mengguncang Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9/2018) pukul 17.02.44 WIB. Pusat gempa berada di arah sekitar 80 km Timur Laut Donggala dengan kedalaman 11 km.

Tsunami yang mengikuti sekitar 30 menit kemudian datang dengan ketinggian antara 1,5 hingga 2 meter; di beberapa tempat bahkan hingga 6 meter.

Ilustrasi/Carl Court-Getty Images

Palu, yang sehari sebelumnya, Kamis (27/9/2018), baru saja merayakan hari jadi ke-40 itu, porak-poranda. Tak ada kabar soal Donggala, kabupaten yang terletak di bibir teluk ujung sana. Komunikasi dan jalan dari dan menuju kota itu putus, rusak, lumpuh. Hari kedua dan ketiga bencana, penjarahan merajalela.

Kota Tiga Dimensi

Palu adalah kota tiga dimensi karena wilayahnya terdiri atas pantai, dataran, dan perbukitan. Sebagian besar wisatawan mancanegara yang pernah berkunjung ke daerah itu sering menyebut Palu sebagai “surga di bawah khatulistiwa”.

Obyek wisata kota itu juga tiga dimensi, namun jauh ke ujung timur terdapat tempat menyelam yang favorit di kalangan wisatawan asing: Kepulauan Togean.

Dalam festival tahunan di atas, yang ditunggu-tunggu adalah ritual adat Balia bernama Pompoura. Ritual Suku Kaili yang mendiami sebagian besar wilayah pesisir Sulawesi Tengah itu akan berkolaborasi dengan festival habitat untuk merayakan Hari Habitat Dunia dan berbarengan dengan Pekan Budaya Indonesia. Perwakilan keraton dan kerajaan Indonesia juga hadir.

Selain itu diadakan juga pertandingan olahraga seperti kejuaraan paralayang internasional, lomba perahu layar tradisional, gateball, kejuaraan voli pasir, lomba lari half marathon, lomba renang 3,5 kilometer, lomba pacuan kuda tradisional, olahraga tradisional, lomba sepeda downhill, adventure bike nomoni, fun bike, airsoft gun, trail adventure, panjat tebing, senam, binaraga dan perlombaan lain seperti free style competition serta lomba kicau burung.

Ilustrasi/JEWEL SAMAD/AFP/Getty Images

Palu sedang penuh orang hari-hari itu. Festival itu diperkirakan menghadirkan sekitar 800 ribu pengunjung dari dalam dan luar negeri ketika malapetaka itu datang.

Setara 200 Kali Bom Atom Hiroshima

Gempa dengan magnituro 7,4 skala Richter itu berpusat di Donggala dan berenergi setara 3×10^6 ton dinamit jenis TNT, atau 200 kali bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945.

Gempa bumi ini berpusat di darat. Foto-foto yang beredar baik di media massa maupun media sosial menunjukkan kehancuran Palu, juga Donggala yang mulai terbuka pada hari ketiga bencana.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan Kota Palu-Kabupaten Donggala dan sekitarnya mengalami deformasi vertikal berkisar 1,5 sampai 0,5 meter akibat gempa. Daratan di sepanjang pantai di Palu Utara, Towaeli, Sindue, Sirenja, Balaesang, turun antara 0,5 hingga 1 meter.

Ilustrasi/Antarafoto

Tinggi tsunami di sepanjang pantai mencapai antara beberapa centimeter hingga 2,5 meter, dan berpotensi lebih tinggi lagi karena efek turunnya daratan di sekitar pantai dan amplifikasi gelombang akibat keunikan teluk.

Sebelumnya, para ilmuwan terkejut adanya tsunami walaupun peringatan ancamannya sudah dicabut Badan Meteorologi dan Kebencanaan, dan Geofisika (BMKG). Namun keunikan area geologi daerah itu diduga justru menjadi sebab tsunami tetap terjadi.

Tsunami biasanya terjadi sebagai hasil pergerakan sesar tektonik di bawah laut, namun yang terjadi di Palu dan Donggala bukan. “Ini sungguh-sungguh mengejutkan,” kata Baptiste Gombert, ahli geofisika pada University of Oxford, seperti dikutip nationalgeographic.com.

Letak Teluk Palu yang menjorok jauh ke daratan mungkin juga membuat perbesaran amplitudo tsunami.

Ilustrasi:Teluk Palu/Google maps

“Yang membuatnya memperbesar tinggi gelombang dan menjadi saluran hingga menerjang ke area-area lebih jauh,” kata Janine Krippner, ahli vulkanologis pada Concord University, Amerika Serikat, melalui cuitan di Twitter.

Namun, menurut Krippner, masih banyak yang tak terjelaskan dalam kasus tsunami di Palu dan Donggala tersebut.

Seperti masih banyak yang belum terjelaskan mengapa warga di negara kepulauan ini seolah tak pernah siap menghadapi bencana, padahal mereka menghirup nafas, makan, dan tidur di daerah rawan bencana.

Ilustrasi/AFP

Indonesia terletak di wilayah Ring of Fire, memiliki sekitar 130 gunung aktif, dengan beberapa sesar di bawah tanah. Gempa bumi hampir tiap hari terjadi di bumi bawah khatulistiwa ini.

Sejak 2017, sebanyak 197 gempa bumi dengan magnitude di atas 6 SR terjadi di seluruh dunia; 18 buah terjadi di Indonesia.

Negeri ini hanya di bawah Jepang dalam konteks kerapnya tsunami terjadi, menurut indeks resiko tsunami Komisi Eropa.

Pada 2004 gempa besar diikuti tsunami melanda Aceh dan Nias, menyebabkan lebih 100 ribu orang tewas.

Ilustrasi/AFP

Tanpa mitigasi bencana, dan peringatan, dan latihan kebencanaan terus menerus, bencana akan segera dianggap menjadi takdir; dan mulai hari kedua warga akan mulai menjarah barang-barang di jalanan, pertokoan, dan pusat perbelanjaan seperti yang terjadi di Palu hari-hari ini. Tuhan tidak tidur, kita yang tertidur. [Didit Sidarta]