Bak disambar petir kejut Mijnheer Moor ketika diberitahu Suzanne anak semata wayangnya ternyata sudah menikah diam-diam.
Bukan soal diam-diamnya saja, tapi pilihan suaminya jelas bukan kelas. Hanya seorang budak, bahkan budak yang dipeliharanya sejak kecil.
Ketika membelinya dari Kapten Van Beber di Batavia tahun 1600-an budak itu masih kecil. Moor membeli budak itu untuk menemani anak perempuan semata wayangnya, Suzanne.
Semenjak memelihara bocah itu, Moor yang yang kala masih pegawai rendahan perlahan-lahan kehidupannya meningkat dan peruntungan membaik. Kariernya di-gubernemen naik menjadi opperkoopman dan terus naik lagi bahkan hingga dipercaya menjadi anggota Raad van Indie.
Menjadi pejabat penting, Moor berhak menyematkan nama kehormatan Edelheer di depan namanya. Edelheer itu berarti yang Yang Mulia.
Ya, bocah itu, dengan garis tangannya memang ibarat jimat bagi pada Moor. Untuk mengingat nasib baiknya, Moor menamai bocah itu sebagai Untung.
Sebelum itu, ia hanya dipanggil Si Kurus semata-mata karena tubuhnya yang memang kerempeng. Sementara nama aslinya yakni Surawiroaji pelan-pelan menghilang tanpa ada yang mengingatnya lagi.
Mendapat kawan sepantaran, Suzanne jelas girang. Bersama sepermainan, mereka tumbuh dewasa menjadi sepasang teman, sahabat lalu kekasih dan menikah diam-diam dan punya seorang anak. Sekat-sekat antara tuan dan budak, warna kulit dan kelas sosial akhirnya luntur.
Orang Jawa menyebutnya, witing tresno jalaran soko kulino. Itulah yang membuat Moor benar-benar murka dan memerintahkan penangkapan Untung.
Tak cuma menangkap, dalam The History of Java karangan Thomas Stanford Raffles, Moor menghukum Untung dengan sangat kejam termasuk dengan mengikatnya pada balok pemasungan.
Tak tahan dengan penyiksaan itu, Untung akhirnya melarikan diri. Ia juga membebaskan teman-teman sesama budak sebelum kemudian menyerbu para marsose yang menjaganya. Beberapa sumber menyebut, Suzana membantu pelarian itu.
Peristiwa Cikalong
Menyamar dengan nama Santana, Untung dan teman-temannya membangun pasukan yang dikumpulkannya dari budak-budak asal Bali untuk mengganggu orang-orang Belanda di Batavia. VOC bukannya tak berusaha, mereka berkali-kali mengirim marsosenya untuk menumpas Santana.
Bukannya melemah, pasukan itu justru bertambah kuat berkat rampasan senjata dari marsose-marsose yang berhasil ditumpasnya.
Ketika Untung melarikan diri dari penjara, perang sipil tengah mengamuk di Banten. Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC karena dikhianati putra tertuanya yakni Pangeran Haji.
Sementara itu, Pangeran Purbaya adik Pangeran Haji memilih mengangkat senjata dari daerah Gunung Gede dan hingga ke Priangan.
Ditambah dengan sepak terjang gerombolan Untung, Kompeni benar-benar kerepotan.