Koran Sulindo – Bagaikan lautan manusia, sekitar 100 ribu orang memenuhi Stadion Senayan. Hari itu, 4 Juli 1965, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) menggelar miladnya. Sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan mars partai, mereka bersiap mendengarkan pidato Presiden Soekarno, yang juga pendiri PNI. Tak lama kemudian, yang ditunggu-tunggu tampil ke mimbar. Menyaksikan lautan manusia di hadapannya, kata pertama yang diucapkan Bung Karno adalah: “PNI, Bukan main!“
Ucapan itu pantas dilontarkan Bung Karno. Jumlah massa yang hadir di stadiun Senayan hari itu bahkan mengalahkan acara yang digelar PKI sekalipun. “Tokoh di balik penggalangan massa itu adalah Surachman. Dialah yang menjadi ketua panitia acara milad PNI tersebut,“ kata Satyagraha, pemimpin redaksi Suluh Indonesia masa itu.
Ketika milad itu digelar Surachman adalah Sekretaris Jenderal PNI, juga menduduki jabatan Menteri Irigasi Rakyat. Tapi, siapa sejatinya sosok Surachman yang seakan sudah terlupakan sejarah tersebut?
Menurut catatan Joel Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, Surachman lahir di Yogyakarta, 25 Agustus 1926. Ia mendapat gelar insinyur pertanian dari Universitas Gajah Mada pada 1961. Semasa mahasiswa, Surachman sudah aktif di organisasi Petani—organisasi massa yang menjadi onderbouw PNI yang bergerak di kalangan petani—dan PNI setempat. Pada tahun 1957, ia terpilih menjadi anggota DPRD Yogyakarta. Dua tahun kemudian, Surachman terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Petani. Ia dikenal sebagai pekerja keras, meskipun sifatnya cenderung pemalu.
Karier politiknya di tingkat nasional terus menanjak. Pada 1960, Surachman diangkat menjadi anggota Dewan Harian Front Nasional dan anggota DPR Gotong Royong, sebagai wakil golongan fungsional. Setahun kemudian, ia ditunjuk menjadi anggota staf Kotoe (Komando Tertinggi Operasi Ekonomi), lembaga yang dibentuk Presiden Soekarno untuk membantu jalannya perekonomian negara.
Surachman termasuk salah satu tokoh muda nasionalis yang dekat dengan Bung Karno. Cerita di balik naiknya Surachman sebagai Sekjen PNI dalam Kongres X di Purworejo, 28 Agustus sampai 1 September 1963, menunjukkan kedekatan ideologis tersebut. Saat itu pertarungan antar-faksi, terutama antara faksi Ali Sastroamidjojo (ketua umum) yang cenderung radikal dengan faksi Hardi (sekjen) yang konservatif, di internal PNI menajam.
Di tengah panasnya suasana kongres, Bung Karno dalam pidatonya mendesak pimpinan partai dari kalangan tua agar memberi kesempatan bagi orang-orang muda. Sehari setelah pidato itu, sejumlah cabang PNI yang mendukung faksi Ali mengirim utusan menghadap presiden untuk menanyakan maksud pidatonya. “Dalam pertemuan itu, Bung Karno mengatakan bahwa ia tidak akan menentang terpilihnya kembali Ali Sastroamidjojo asalkan kedudukan pimpinan lainnya diisi tokoh-tokoh muda,“ tulis Rocamora. Pernyataan Bung Karno itu memuluskan langkah Ali untuk kembali memimpin PNI.
Salah seorang tokoh muda yang dianjurkan Bung Karno untuk dimasukkan ke dalam pimpinan partai adalah Surachman. Maka, kelompok Ali pun menyokong Surachman dalam pemilihan sekjen. Lawannya adalah Soebagio Reksodipoero, yang disokong kelompok Hardi. Dalam pemilihan sekjen, Surachman menang tipis, unggul dua suara dari keseluruhan 600 suara. “Kemenangan Surachman adalah hal yang menentukan bagi kekuatan kiri dalam PNI,“ tulis Rocamora. Usia Surachman saat itu masih 37 tahun.
Bersamaan dengan terpilihnya Surachman sebagai Sekjen PNI, peranan garis nasionalis-radikal makin menguat. Beberapa tokoh GMNI juga masuk dalam jajaran DPP PNI, seperti John Lumingkewas, Lucien Pahala Hutagaol, dan Bambang Kusnohadi. Dalam perubahan dinamika partai tersebut, Surachman berperan penting. Ia merupakan patron atau tokoh panutan bagi kaum muda beraliran nasionalisme-radikal di dalam partai.
Kehadiran para tokoh muda, yang dimotori Surachman, dengan garis politik nasionalis-radikal ini membuat PNI makin menggelora. Hubungan Presiden Soekarno dengan jajaran pimpinan PNI, terutama dari kalangan muda, makin terjalin akrab. Pada bulan April 1964, misalnya, suatu delegasi yang berjumlah 26 aktivis muda PNI, di bawah pimpinan Surachman, diterima Bung Karno di Istana Negara untuk membicarakan usaha-usaha pengembangan partai. Bung Karno menantang mereka untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.
Menjawab tantangan Bung Karno itu, Surachman pun menggalang tokoh-tokoh muda PNI untuk mendinamisir partai. Dan hasinya segera terasa. Tema baru dalam propaganda dan indoktrinasi partai merefleksikan perubahan ini. Pidato-pidato para pemimpin partai pada waktu itu terpusat pada “kebutuhan kembali kepada kaum marhaen“, dalam rangka membangun persatuan antara partai dengan ormas di dalam Front Marhaenis yang kuat, serta tekad untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.
Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung, November 1964. Deklarasi Marhaenis yang digagas Surachman bersama tokoh-tokoh muda yang berasal dari GMNI dan Petani.
Berakhir Tragis
Ditengah dinamika partai yang bergelora itu, meletus Peristiwa Gerakan 30 September 1965, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Gestok. Peristiwa ini merupakan titik balik kekuasaan Bung Karno. Dan, PNI sebagai pengikut setia ajaran Bung Karno terkena imbasnya.
Kurang-lebih 18 bulan sejak Peristiwa Gestok, Jenderal Soeharto terus melakukan “konsolidasi” kekuatannya dan menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa, dan kekuatan Islam. Soeharto menangkapi anggota Kabinet Dwikora yang diduga terlibat PKI. Ada 16 menteri ditangkap meski tak jelas apa peran mereka dalam Peristiwa 30 September 1965. Soeharto juga kemudian mengakhiri konfrontasi Malaysia.
Maka, pada 7 Maret 1967, MPRS menggelar sidang untuk mencabut mandat Presiden Soekarno dan kemudian melantik Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Tidak sampai di situ. Soeharto juga memperlakukan sang Proklamator yang Presiden Pertama Republik Indonesia sebagai pesakitan, seolah Bung Karno bukan siapa-siapa dan tak memiliki kontribusi besar bagi berdirinya negara ini.
Bung Karno dijadikan tahanan rumah, di Wisma Yasoo (kini dijadikan Museum Satria Mandala), di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Tak boleh ada tamu yang mengunjugi Bung Karno, termasuk keluarga dekatnya. Bahkan, Bung Karno dilarang membaca koran , mendengarkan radio, dan menonton televisi.
Sebenarnya, bisa saja Bung Karno melawan. Massa pendukungnya masih sangat banyak, termasuk dari kalangan tentara. Setidaknya ada Angkatan Udara, KKO (sekarang Marinir), Divisi Siliwangi, dan tentara di Kodam Brawijaya yang sebagian besar anggotanya masih sangat setia kepada Bung Karno. Namun, Soekarno memilih mengalah, meski diperlakukan seperti tawanan. Bung Karno tak ingin Indonesia banjir darah lagi karena perang saudara.
Dalam buku karya akademisi Rusia, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P., Soekarno: Biografi Politik (1980), dikatakan alasan Bung Karno tak mau melawan kekuatan Soeharto yang merajalela tersebut. Bung Karno, diungkap dalam buku itu, adalah sosok yang sangat cinta persatuan dan tidak mau menggunakan kekuatan kasar untuk mempertahankan kekuasaan.
Tapi, banjir darah tak terelakkan. Ratusan ribu nyawa anak bangsa melayang. Yang menjadi sasaran utama adalah anggota PKI dan simpatisannya. Tapi, kalangan Soekarnois juga menjadi incaran para tentara. Dalam buku yang disunting Douglas Kammen dan Katherine McGregor, The Contours of Mass Violence Indonesia: 1965-1968 (2012) menjelaskan mengapa pembunuhan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari sebuah agenda politik yang lebih besar. Diungkapkan: bagi Soeharto, peristiwa kekerasan 1965 itu seperti keharusan politik untuk memulai langkah awal menghancurkan kekuasaan Soekarno beserta basis-basis kekuatan sosial pendukungnya. Di atas puing-puing kehancuran inilah langkah strategis selanjutnya dijalankan: merangkul dan mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi kapitalisme dunia dengan menempatkan aktor-aktor kekuasaan yang akan memfasilitasinya.
PNI pun ikut terseret menjadi korban operasi intelijen dan politik rezim Orde Baru. PNI yang dipimpin Ali Sastroamidjojo dan Surachman, oleh media-massa pro tentara kemudian diplesetkan menjadi “PNI Asu“. Secara sistematis, tokoh-tokoh PNI yang beraliran nasionalisme-radikal diincar dan ditangkap rezim militer pimpinan Jenderal Soeharto. Terutama Surachman, yang kemudian dituduh sebagai orang PKI yang menyusup ke dalam PNI. Tuduhan itu didasarkan pernyataan sikap PNI tentang Peristiwa Gestok, yang ditandatangani Surachman sebagai sekjen. Salah satu butir pernyataan yang dikeluarkan tanggal 1 Oktober 1965 itu berbunyi: “Menyatakan penghargaan setinggi-tinginya kepada prajurit yang telah menunjukkan kesetiaan mereka dalam menyelamatkan Pemimpin Besar Revolusi/Bapak Marhaenisme Bung Karno.“
“Tuduhan itu sama sekali tidak benar. Mas Surachman justru tokoh yang tidak disenangi PKI. Ia seorang nasionalis yang sangat mencintai Bung Karno,“ tegas Satyagraha. Adapun pernyataan DPP PNI 1 Oktober itu secara keseluruhan menegaskan kesetiaan PNI kepada Bung Karno, yang saat itu dirasakan sedang dirongrong kewibawaannya oleh antek-antek nekolim dan unsur-unsur kontra-revolusi.
Lagipula, tidak ada bukti kuat yang mendasari tuduhan bahwa Surachman “orang PKI yang menyusup ke dalam PNI“. Tulisan-tulisan panjangnya di koran PNI, Suluh Indonesia, tidak menyingkapkan sedikitpun gaya tulisan atau pemikiran PKI. Dukungan Surachman kepada gagasan-gagasan membentuk “Angkatan Kelima“ dan sikap menduanya terhadap aksi sepihak (yang menjadi program PKI) bisa dimaklumi mengingat kecintaannya kepada Bung Karno—yang sikapnya terhadap kedua isu juga mendua.
Nama Surachman dan beberapa tokoh PNI (Supeni, Zaini Mansur, Bambang Kusnohadi, Karim DP, dan Sumarno) memang tercantum sebagai anggota Dewan Revolusi, yang melakukan Gerakan 30 September. Tapi, keenam anggota pimpinan pleno PNI itu telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak tahu-menahu mengenai Gerakan 30 September, serta tidak bertanggungjawab atas pencantuman nama-nama mereka sebagai anggota Dewan Revolusi.
Namun, semua bantahan itu diacuhkan rezim militer Orde Baru. Sejak Februari 1966, Surachman dinyatakan sebagai buronan oleh rezim militer Orde Baru. Ia memang sengaja melarikan diri untuk menghindari penangkapan dan siksaan yang telah dialami kawan-kawannya sesama Soekarnois, termasuk sejumlah menteri kabinet terakhir Soekarno. Surachman kemudian bersembunyi di Malang Selatan-Blitar, dimana ia pernah menjadi tentara pelajar (TRIP) semasa perang kemerdekaan. Kebetulan di wilayah itu sejumlah tokoh PKI menggalang basis perjuangan bersenjata untuk melawan rezim Orde Baru.
“Masuk akal bila kemudian ia (Surachman) bergabung dengan buron-buron lainnya, tanpa memperdulikan afilisasi politik mereka. Wajar baginya bersembunyi di wilayah Malang Selatan-Blitar, dimana ia menjadi tentara pelajar di masa revolusi. Hal itu tidak cukup membuktikan bahwa ia anggota PKI sebelum 1965,“ tulis Rocamora.
Pada Juli 1968, Surachman tertangkap saat tentara melalukan operasi militer di Malang Selatan-Blitar. Karena penyiksaan yang hebat selama diinterogasi, ia mengalami luka parah. Dan tak lama kemudian, meninggal dunia. Usianya menjelang 42 tahun.
Hidup tokoh politik yang cemerlang itu berakhir tragis. Bahkan, setelah kematiannya pun Surachman masih bernasib tragis: dalam waktu yang panjang, namanya seakan terlupakan dalam arus sejarah negeri ini.
Deklarasi Marhaenis
Deklarasi Marhaenis dicetuskan dalam pertemuan BPK PNI di Lembang, Bandung, November 1964. Lucien Pahala Hutagaol (pengurus DPP PNI yang berasal dari GMNI) mempresentasikan rumusan Deklarasi Marhaenis, yang kemudian disetujui BPK PNI. Rumusan Deklarasi Marhaenis itu, antara lain, berbunyi:
Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan merealisasikan tjita2ja jaitu: Kemerdekaan penuh, sosialisme, dan dunia baru. Didalam perdjuangan untuk merealisasikan tjita-tjitanya PNI/Front Marhaenis senantiasa mengintegrasikan perdjuanganja dengan garis dan kepemimpinan revolusioner Bung Karno/Bapak Marhaenisme/Pemimpin Besar Revolusi/Penjambung Lidah Rakyat. Oleh karena itu, setiap Marhaenis harus senantiasa membadjakan diri dan mendidik dirinja di dalam teori dan praktek perdjuangan rakjat untuk dapat mendjadi Marhaenis jang lebih baik lagi, sebagai murid2 jang terbaik dan terperdjaja dari Bapak Marhaenisme Bung Karno, jang sekaligus djuga adalah perasan NASAKOM.
…………………………..
Tidak ada gerakan revolusioner, tanpa didasari oleh teori perdjuangan jang revolusioner. Marhaenisme adalah suatu faham perdjuangan jang revolusioner berdiri diatas sendi2nja massa aksi jang revolusioner dan menghendaki sjarat2 perdjuangan jang revolusioner…..
Kami jakin tanpa massa-actie jang revolusioner oleh massa Marhaen, tidak akan pernah ada transformasi sosial yang mencapai tingkat tertinggi di dalam masjarakat“
Deklarasi Marhaenis menegaskan bahwa: “PNI/Front Marhaenis adalah kongkretisasi ideologi Marhaenisme sebagaimana dirumuskan oleh Bung Karno sebagai pelopor perjuangan Marhaen.“
Salah satu hal penting yang termaktub dalam Deklarasi Marhaenis adalah menerima Marxisme sebagai sumber ideologi partai. Dengan itu, para pemimpin PNI untuk pertama-kalinya menciptakan kemungkinan untuk memberi bentuk ideologis yang lebih koheren bagi radikalisme sosial yang selalu tersebar di berbagai bagian partai. Penerimaan Marxisme memungkinkan penggunaan alat analisis sosial dengan tradisi yang panjang dan luas dibaliknya. Lebih dari itu, kenyataan Marhaenisme dirumuskan kembali semata-mata dalam istilah ini (“marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia“) menandakan adanya maksud untuk sungguh-sungguh berupaya merombak partai dengan cara lain. (Rocamora, hal. 383-384)
Retorika Deklarasi Marhaenis, seperti dicatat Rocamora lagi, bukanlah sekedar tanggapan taktis terhadap iklim Demokrasi Terpimpin, melainkan merupakan tanda-tanda perubahan nyata sikap PNI terhadap isu-isu dasar yang berkembang saat itu. Pimpinan PNI mulai menatap kondisi-kondisi domestik serta kelompok yang dalam tingkah lakunya memberi peluang bagi imperialisme. Gerak politik PNI berhasil mengimbangi PKI dan tokoh-tokoh Angkatan Darat dalam pentas politik nasional. Salah satu pembuktian itu adalah acara peringatan milad PNI, 4 Juli 1965, yang membuat Bung Karno terkagum-kagum. [Satyadarma/IH]