supremasi-sipil2
(ilustrasi sumber: indoprogress)

Menengok sejarah dan peran militer saat Orde Baru, terlihat jelas saat itu tentara tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga masuk ke urusan sipil. Yang paling terlihat adalah, penerapan dwifungsi ABRI, faksi ABRI dalam DPR/MPR, dan tentara menjabat dalam jajaran birokrasi sipil.

Sejak Juli 1998, ada 14 provinsi dari total 27 provinsi di Indonesia (55,5 persen) yang dipimpin oleh anggota militer. Sementara ada 41,1 persen walikota/bupati dipegang anggota militer di seluruh Indonesia. Sebelum itu, kehadiran supremasi sipil di Indonesia hampir nihil pada era pemerintahan Soeharto.

Maraknya demonstrasi jelang Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, 10-13 November 1998, dimana para demonstran menuntut agar ABRI meninggalkan peran sosial-politiknya termasuk mencabut dwifungsi ABRI. Dengan kata lain, mereka ingin ABRI kembali menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan saja. “Bersatu sehati hapus dwifungsi ABRI” menjadi jargon yang kerap menggema saat demonstrasi berlangsung.

Tampaknya tuntutan para pendemo membuahkan hasil, maka pada 1998 itu dilakukan penarikan personel militer aktif dari pos-pos birokrasi sipil.

Tahun 1999 semakin banyak perlakuan menuju supremasi sipil yaitu; (a) Polri dipisah dari TNI; (b) Deklarasi TNI netral dari politik (menarik diri dari Golkar); (c) Departemen Pertahanan & Keamanan menjadi Departemen Pertahanan; (d) Juwono Sudarsono menjadi Menteri Pertahanan pertama dengan latar belakang sipil non- militer.

Di tahun 2000 bertambah dengan; (a) Dwifungsi ABRI dicabut; (b) TNI hanya bertugas untuk pertahanan serangan dari luar negeri; (c) Pembubaran Direktorat Sosial Politik Departemen Dalam Negeri & Badan Koordinasi Stabilitas Nasional.

Lalu pada 2004 diberlakukan; (a) TNI dibangun dan dikembangkan dengan mengacu pada prinsip demokrasi; (b) Supremasi sipil dan HAM (UU No.34/2004); (c) Faksi ABRI dicabut dari MPR.

Peneliti senior P2P-LIPI, Sri Yanuarti menilai bahwa perlu adanya kejelasan pada Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI agar supremasi militer tidak turut campur supremasi sipil. Menurutnya, selama ini supremasi sipil masih tidak berhasil seluruhnya karena seringkali militer memasuki ranah sipil.

Mantan dosen Universitas Pertahanan, Rujito, justru mendukung TNI memasuki ranah sipil untuk menjaga keamanan negara agar lebih terjaga sehingga polisi tidak harus bekerja sendiri. “TNI dilatih begitu hebat, ini yang perlu diingat. Alutsistanya mahal. Kemudian uang yang dipakai untuk training dan education juga mahal. Terus kalau dibiarkan di dalam barak menunggu saja, sedangkan ancaman itu nyata di depan: ancaman terorisme, radikalisme, dan antar negara sudah jelas ada di situ, kalau memang polisi tidak bisa bekerja sendiri, ayo dimanfaatkan ini,” kata dia.