Sejarah sering kali ditentukan oleh momen-momen krusial yang mengubah arah perjalanan suatu bangsa. Di Indonesia, salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam sejarah politik modern adalah terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Dokumen yang tampaknya sederhana ini menjadi titik balik yang menggeser kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Mayor Jenderal Soeharto, membuka jalan bagi era Orde Baru yang bertahan lebih dari tiga dekade.
Namun, Supersemar bukan sekadar selembar surat berisi perintah administratif biasa. Ia muncul dalam situasi yang penuh gejolak, ketika Indonesia baru saja diguncang oleh peristiwa Gerakan 30 September (G-30S) dan tengah menghadapi ketidakstabilan politik, ekonomi, serta sosial.
Pada awal tahun 1966, demonstrasi mahasiswa semakin intens, menuntut perubahan besar di tubuh pemerintahan. Sementara itu, ketegangan antara kelompok militer dan pendukung Sukarno semakin meningkat, menciptakan atmosfer yang sarat dengan ketidakpastian. Dalam kondisi inilah, sebuah keputusan besar diambil pada 11 Maret 1966, yakni keputusan yang mengubah wajah politik Indonesia selamanya.
Supersemar tetap menjadi peristiwa yang diperdebatkan hingga kini. Beberapa pertanyaan mendasar masih menggantung: Apakah Sukarno menandatangani surat itu di bawah tekanan? Seberapa besar wewenang yang sebenarnya diberikan kepada Soeharto? Dan yang paling penting, apakah Supersemar memang ditujukan untuk mengamankan negara, ataukah ia merupakan langkah strategis yang dimanfaatkan untuk menggeser kepemimpinan nasional? Artikel ini akan mengulas latar belakang, dampak, serta implikasi besar dari Supersemar dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Latar Belakang Supersemar
Setiap tanggal 11 Maret, Indonesia mengenang sebuah peristiwa penting dalam sejarah politiknya, yaitu Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret. Merujuk pada laman Kemdikbud, Supersemar merupakan dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan memberikan kewenangan kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam menghadapi situasi genting pasca peristiwa Gerakan 30 September (G-30S). Supersemar secara tidak langsung mentransfer otoritas eksekutif penuh kepada Soeharto, yang kemudian menjadi titik awal transisi kepemimpinan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada pagi hari tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno mengadakan pertemuan kabinet di Jakarta, sementara demonstrasi mahasiswa mengguncang ibu kota dengan tuntutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang mencakup pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur PKI, serta perbaikan ekonomi. Di tengah situasi genting ini, Sukarno menerima informasi bahwa Istana telah dikepung oleh pasukan tak dikenal. Merasa terancam, ia segera bertolak ke Istana Bogor menggunakan helikopter, didampingi oleh Subandrio dan Chaerul Saleh.
Malam harinya, tiga jenderal utusan Soeharto, M. Yusuf, Amir Mahmud, dan Basuki Rachmad bertemu dengan Sukarno di Bogor untuk membujuknya menandatangani sebuah dokumen. Dokumen tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Supersemar, memberikan Soeharto wewenang penuh untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara, serta melindungi presiden atas nama Revolusi.
Selama ini beredar tiga versi Supersemar dan tidak ada satu pun yang asli. Ketiga versi tersebut datang dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi kebangsaan.
Meski memiliki beberapa versi, terdapat beberapa pokok pikiran yang diakui Orde Baru dan kemudian dijadikan acuan. Berikut isi Supersemar tersebut:
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Dampak Langsung Supersemar
Keesokan harinya, Soeharto segera bertindak. Pada 12 Maret 1966, ia mengeluarkan Keputusan Presiden yang melarang dan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta organisasi sayapnya. Dalam waktu singkat, sejumlah tokoh yang terkait dengan PKI, termasuk Subandrio dan Chaerul Saleh, ditangkap. Kabinet Dwikora pun mengalami perombakan besar-besaran, sementara MPRS dan DPRGR dibersihkan dari individu-individu yang dianggap terlibat dalam G-30S atau memiliki afiliasi dengan PKI.
Pada Sidang Umum IV MPRS yang berlangsung pada 20 Juni hingga 5 Juli 1966, Supersemar disahkan dan dikukuhkan. Sidang ini juga menetapkan berbagai kebijakan penting, seperti pembentukan Kabinet Ampera, peninjauan kembali Tap MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945, serta pengukuhan pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Kemunduran Sukarno dan Kenaikan Soeharto
Meskipun masih memiliki pengaruh politik, posisi Sukarno semakin melemah. Pada 10 Januari 1967, ia mengajukan surat kepada MPRS yang berisi “Nawaksara”, penjelasannya terkait peristiwa G-30S. Namun, penjelasan tersebut tidak diterima, dan gelombang demonstrasi terus mendesak Sukarno untuk turun. Akhirnya, pada 22 Februari 1967, Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto guna mengatasi krisis yang terjadi.
Melalui Supersemar, Soeharto berhasil menghapus sisa-sisa Demokrasi Terpimpin dan memperkuat kontrolnya atas pemerintahan. Pada 12 Maret 1966, PKI dan seluruh organisasi afiliasinya resmi dilarang. Beberapa menteri penting ditahan, sementara pembersihan besar-besaran terhadap unsur-unsur yang dianggap berbahaya bagi stabilitas negara dilakukan di berbagai sektor, termasuk militer dan birokrasi.
Supersemar menjadi titik balik sejarah Indonesia, membuka jalan bagi lahirnya era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Dengan surat tersebut, Soeharto memperoleh legitimasi untuk menekan PKI, mereorganisasi pemerintahan, dan mengkonsolidasikan kekuasaannya. Pada Maret 1967, MPRS secara resmi mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden, dan setahun kemudian, pada Maret 1968, ia dipilih sebagai Presiden RI oleh MPRS.
Berbekal Supersemar, Soeharto mampu mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade. Pemilu pertama di bawah Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971, dan Soeharto terus terpilih kembali dalam setiap pemilihan umum hingga akhirnya mengundurkan diri pada Mei 1998 akibat krisis ekonomi dan tekanan politik yang meningkat.
Supersemar merupakan dokumen yang memiliki dampak besar dalam sejarah politik Indonesia. Surat ini tidak hanya menandai peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, tetapi juga menjadi awal dari era Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Dengan Supersemar, Soeharto berhasil mengubah arah politik nasional, menekan gerakan komunis, dan menata ulang struktur pemerintahan sesuai dengan kepentingan rezimnya. Hingga kini, Supersemar tetap menjadi salah satu peristiwa bersejarah yang diperingati dan diperdebatkan dalam perjalanan bangsa Indonesia. [UN]