Ilustrasi (AI/AT)
Ilustrasi (AI/AT)

Catatan Cak AT:

Di balik gemerlap lampu Times Square yang memanjakan mata dan kekuasaan politiknya yang mendominasi dunia, ada cerita yang lebih menyerupai sinetron tragis daripada kisah sukses besar. Amerika Serikat, negeri yang superpower, kini justru memamerkan wajah lain: rapuh, sombong, dan (hampir) kehabisan uang. Alias bangkrut.

Helmi Yahya, tokoh media dari Indonesia, sekembali dari Amerika, membawa cerita yang lebih seru dari film Hollywood. Ketika berada di Nashville pada 30 September 2023, ia mendapati bahwa pemerintah AS memutuskan untuk berhenti bekerja sejenak melalui mekanisme government shutdown.

“Bayangkan, ribuan pegawai negeri cuti tanpa gaji, termasuk petugas menara kontrol bandara. Kalau itu terjadi, saya enggak bisa terbang ke Houston!” katanya. Sungguh ironi, sebuah negara adidaya yang bangga sebagai polisi dunia, tetapi ternyata tidak sanggup membayar gaji pegawai pemerintahnya.

Utang Amerika kini mencapai 31 triliun dolar AS —angka yang bahkan kalkulator pun bisa stres menghitungnya. Beban finansial AS ini bak raksasa mabuk. Namun, alih-alih fokus menyelesaikan masalah domestik, pemerintahnya justru sibuk mencurahkan miliaran dolar untuk membantu Ukraina dan Israel. Sebuah aksi heroik? Mungkin. Sebuah aksi bodoh? Sangat mungkin.

“Negara miskin tapi tetap ingin sok jadi pahlawan dunia,” ujar Helmi. Miliaran dolar dikirim untuk mendukung konflik di luar negeri, sementara rakyatnya sendiri banyak yang tidur di jalanan atau di bawah jembatan. Jika ini adalah definisi “kekuatan dunia,” kita harus serius mempertimbangkan ulang maknanya.

Krisis sosial di Amerika tak kalah menyedihkan. Helmi bercerita tentang San Francisco, kota yang dulu dikenal sebagai surga teknologi. Sekarang, Union Square —yang dulunya pusat perbelanjaan mewah— kosong, tak berpengunjung. Toko-toko mewah masih menampilkan barang-barangnya, tetapi tanpa pembeli. “Tinggal tunggu bangkrutnya saja,” katanya dengan nada satiris.

Namun, yang lebih menakutkan adalah tingkat kriminalitas yang melonjak. Orang-orang dengan santai memecahkan kaca mobil, mencuri barang, lalu kabur. Kenapa? Karena hukum di kota itu tidak memproses pencurian kecil. Polisi pun tak bisa berbuat banyak, karena anggaran mereka ikut terpotong. Sungguh potret masyarakat yang tampak seperti adegan dystopia dalam film The Purge.

Stasiun bawah tanah, trotoar, hingga taman kota kini menjadi “rumah” bagi ribuan tuna wisma. Tenda-tenda berjajar seperti pasar loak permanen di Los Angeles. Bahkan di Washington D.C., hanya beberapa blok dari Gedung Putih, para tuna wisma tidur dengan selimut lusuh. Ironi ini seperti tamparan keras bagi negara yang bangga menyebut dirinya “land of the free.”

Namun, tunggu dulu. Mungkin Anda berpikir ini hanyalah masalah kecil. AS masih punya pesawat tempur, Silicon Valley, dan tentu saja dolar. Bukankah itu cukup untuk membuktikan kehebatan negeri ini? Sayangnya, seperti seorang milyuner yang hidup dari utang kartu kredit, Amerika Serikat juga sedang berada di ujung tanduk keuangan.

Mari kita bicara fakta. Pada Januari 2025, menurut berita media, pemerintah AS akan kembali menghadapi batas utang (debt ceiling) yang kini lebih mirip pedang Damokles menggantung di leher negara ini.

Menteri Keuangan Janet Yellen sudah mulai mengatur strategi darurat, menggunakan “extraordinary measures” (baca: akrobat akuntansi) untuk memastikan negara ini tetap bisa membayar tagihan. Tapi semua ini hanya solusi sementara, seperti menambal perahu bocor dengan selotip.

Proyeksi menunjukkan, jika Kongres tidak menaikkan atau menangguhkan batas utang, Amerika bisa kehabisan uang pada musim panas 2025. Gagal bayar utang —atau dalam istilah kerennya, default — bukanlah ancaman kecil. Ini seperti menyalakan kembang api di tengah tangki bensin. Dampaknya akan meluas ke pasar keuangan global, meningkatkan suku bunga, dan memicu krisis ekonomi baru.

Namun, di tengah ancaman bangkrut, AS masih sempat memainkan peran pahlawan global. Dalam laporan terakhir, negara ini mengalokasikan miliaran dolar untuk membantu Israel dalam konflik militernya. Membantu sekutu untuk membunuh warga Palestina, tapi di mana moralitas jika pada saat yang sama, jutaan warga sendiri tidur di jalanan? Apakah “full faith and credit of the United States” hanya berlaku di luar negeri?

Amerika Serikat memiliki lebih dari setengah juta tuna wisma pada malam tertentu, menurut Departemen Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (HUD). Di kota-kota besar, seperti San Francisco dan Seattle, tenda-tenda berjejer di jalanan, menjadi simbol kemakmuran yang retak. Bahkan di ibu kota Washington D.C., tempat para politisi berdiskusi soal miliaran dolar anggaran pertahanan, para tuna wisma tidur hanya beberapa blok dari Gedung Putih.

Kehadiran mereka adalah pengingat nyata bahwa AS sedang berjuang bukan hanya dengan utang, tetapi juga dengan gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya. Ironisnya, pemerintah terus mengeluarkan uang untuk perang, sementara dana untuk program sosial terancam dipotong jika terjadi gagal bayar utang.

Di luar negeri, Amerika masih memainkan peran negara adikuasa, memberikan bantuan dan menyebarkan pengaruh. Namun, peran ini terasa semakin tidak meyakinkan. Bagaimana bisa sebuah negara dengan ancaman kebangkrutan tetap memaksakan diri menjadi polisi dunia? Jika analogi manusia bisa digunakan, ini seperti seorang yang kehilangan rumah tetapi tetap menyumbang pada tetangganya untuk membeli anjing penjaga.

Bahkan, sejumlah analis internasional mulai bertanya-tanya: apakah ini saatnya dunia memikirkan kembali kepercayaan terhadap dolar AS sebagai mata uang cadangan global? Jika AS benar-benar gagal bayar, kredibilitasnya akan runtuh, dan dampaknya akan menghantam seluruh dunia. Namun, tampaknya para politisi AS lebih sibuk berdebat di Kongres ketimbang mencari solusi nyata.

Amerika Serikat masih memaksa ingin menjadi simbol kekuatan global, tetapi retakan di fondasi ekonominya semakin jelas terlihat. Ketika tuna wisma memenuhi jalanan dan ancaman gagal bayar semakin nyata, mungkin sudah saatnya negara ini melakukan introspeksi. Kehebatan sejati bukan hanya soal membantu negara lain, apalagi untuk genosida, tetapi juga memastikan rakyat sendiri tidak kelaparan di trotoar.

Dan jika gagal bayar benar-benar terjadi pada musim panas 2025, mungkin kita harus mengganti slogan negara ini dari “land of the free” menjadi “land of the broke.” Setidaknya, tuna wisma di stasiun bawah tanah akan punya alasan baru untuk tertawa di tengah ironi kehidupan mereka.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis