Superholding BUMN Sebatas Angan-Angan

Koran Sulindo – SUPERHOLDING BUMN. Betapa abstraknya gabungan kata atau istilah itu, apalagi bagi yang tidak begitu mengikuti hal-ihwal ilmu ekonomi secara detail. Namun, meski sebenarnya bukan hal baru, istilah tersebut belakangan kembali mengemuka. Adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang banyak mengutarakan hal tersebut.

Ia memang berkeinginan membentuk superholding tersebut. Pertimbangannya: agar BUMN lebih lincah berbisnis. Acuannya: Temasek di Singapura dan Khasanah di Malaysia. Menurut Rini, BUMN di kedua negeri jiran itu bisa lebih banyak berbicara di dunia dibandingkan Indonesia berkat pembentukkan superholding BUMN.

Sementara itu, BUMN di Indonesia selama ini dinilai Rini tidak bisa bergerak leluasa dalam pengembangan bisnisnya karena berada di bawah Kementerian BUMN.”Perlu adanya lembaga pengelolaan BUMN yang bisa bertindak cepat yang selaras dengan sistem korporasi,” kata Rini, 25 Juli 2016. Menurut Rini, dengan adanya superholding, BUMN tidak akan lagi bergantung pada negara.

Presiden Joko Widodo pun mendukung. Ia bahkan menegaskan, pemerintah berkomitmen membentuk enam holding BUMN tuntas tahun ini.”Tahun ini, saya targetkan ada enamholding. Kemudian setelah itu nanti ada superholding,” katanya, 30 Maret 2016. Enam sektor sasaran holding itu adalah pertambangan, energi, jalan tol, perumahan, perbankan, dan konstruksi.

Diungkapkan juga oleh Joko Widodo, pembentukan holding tersebut akan memudahkan penghimpunan modal dan efisiensi investasi. Lalu, dalam superholdingitu akan ada investment company yang bisa menggerakkan uang BUMN yang ngendondi perbankan menjadi lebih produktif dan berefek pada roda perekonomian.

Pada 28 Agustus 2016 lalu, Joko Widodo juga mengatakan, pembentukan superholding BUMN agar BUMN yang jumlahnya ratusan tidak lagi meminta suntikan modal atau Penyertaan Modal Negara.”Karena, tanpa itu, setiap tahun harus disuntik modal,” katanya.

Diharapkan juga, superholding BUMN bisa membangun segala sektor di daerah lebih cepat dan mampu merangkul para pengusaha lokal. “Ajak semuanya jadi subkontraktor, jangan dikerjakan sendiri, ekonomi kita gotong royong,” tuturnya.

Tentu saja, kenyataan di lapangan bisa berbicara lain. Apalagi, seperti kata ekonom senior Didik J. Rachbini, pembentukan superholding BUMN bukanlah langkahsederhana. Menurut Guru Besar Universitas Mercubuana itu, setidaknyaada tiga syarat yang mesti dipertimbangkan: fondasi bisnis, fondasi politik, dan fondasi historis.

Dari sisi fondasi bisnis, dari ratusan BUMN, hanya beberapa yang bisa disebut berhasil, antara lain perbankan. Bisnis BUMN juga beragam sehingga tidak mungkin dilebur begitu saja.”Jadi tidak bisa dipaksakan.Karena, ada yang siap secara bisnis, ada yang tidak,” kata Didik dalam diskusi internal di kantor redaksi Koran Suluh Indonesia, Jakarta, 7 September 2016.

Selain itu, BUMN Indonesia sekarang ini juga tak bisa dipisahkan dari dunia politik, jadi belum sepenuhnya menjadi entitas bisnis. Dari sisi historis, kultur di tiap-tiap BUMN pun berbeda-beda, sehingga perlu waktu relatif lama untuk menyamakan. Belum lagi soalsumber daya manusia dan penggunaan teknologinya. Karena itu, kata Didik, gagasan pembentukan superholding BUMN yang dilontarkan Rini baru sebatas angan-angan, karena tak jelas langkah-langkahnya.

Hal yang sama juga dikatakan ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam sebuah kesempatan. Dengan menyoroti sektor minyak dan gas serta perbankan, Faisal mengatakan konsep pembentukan superholding BUMN tidak jelas.

Rini, bahkan Joko Widodo, boleh saja tetap dengan sikap optimistis mereka. Namun, karena ini sudah menyangkut urusan negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak, pandangan-pandangan dari pihak lain, apalagi dari pakar, tak boleh diabaikan. Apalagi, negara ini juga dulu dibentuk dari gagasan-gagasan hebat para insan cendekia yang mencintai Ibu Pertiwi, bukan sekadar modal popularitas dan omong besar. []