Keluarga Supeni bersama Bung Karno
Keluarga Supeni bersama Bung Karno

Tidak lama setelah pembunuhan para jenderal pada dinihari 1 Oktober 1965, Supeni ditugasi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Mr Sartono, untuk mencari anak-anak muda yang hilang mengikuti peristiwa itu. Sartono saat itu hampir setiap hari menerima pengaduan dari ibu-ibu yang anaknya hilang, disiksa, atau dicederai. Ada yang lengannya disilet membentuk angka 30, menandakan G 30 S, dan seterusnya.

Supeni bolak-balik ke KODAM dan SKOGAR. Tindakan itu nampak­nya tidak disukai anak-anak muda yang tergabung dalam KAMI/KAPPI dan di bawah pengaruh PNI Osa Maliki-Usep Ranawijaya.

Setiap malam anak-anak muda itu mengendarai sepeda motor bersuara berisik, mondar-mandir di depan rumah Jalan Sriwijaya II No 19 Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu, tidak jauh dari rumah Ibu Negara Fatmawati. Show Of force itu akhirnya berhenti setelah Supeni menemui Panglima KODAM, Umar Wirahadikusumah.

“Apakah saya terlibat G 30 S?”

“Tidak,” kata Umar.

Kaca pintu depan rumah Supeni kemudian dipasangi tulisan dari KODAM, “Jangan Diganggu”.

Berhentilah demonstrasi pengganggu itu.

Masa-masa itulah awal kehancuran PNI, partai yang ikut dibangun Soekarno tapi berbalik arah darinya pada awal-awal kejatuhan presiden pertama RI itu.

Soekarno pada 1965 itu sebenarnya sudah tidak puas lagi pada PNI, karena marhaenisme yang diinginkannya tidak dijalankan sebagian pimpinan PNI. Mereka yang tidak menyetujui garis Soekarno itu disebutnya marhaenis gadungan.

Pada minggu pertama Agustus 1965, DPP PNI memecat beberapa tokoh partai yang tidak loyal pada garis politik partai, saat yang sama konfrontasi dengan Malaysia di seluruh Indonesia sedang memuncak. PNI demam di waktu yang keliru.

Supeni saat kejadian itu sedang di luar negeri, pulang-pulang melihat partai yang membuatnya kepincut saat masih gadis 14 tahun itu sudah ter­belah dua.

Supeni langsung menemui Bapak Marhenis, Bung Karno, mengatakan bahwa perpecahan itu berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara.

-Itu teori siapa? Tanya Bung Karno mendengar kekhawatiran perpecahan nasional itu.

+Teori Bung Karno sendiri. Jawab Supeni.

-Apakah kau pro Hardi?

+Tidak!

-Apakah pro Ali?

+Tidak!

-Apa pro Wilopo?

+Tidak pro siapa-siapa, Bung Karno! Saya pro keutuhan PNI yang saya anggap soko guru bagi keutuhan bangsa dan negara. Kalau PNI tidak utuh kembali, bahaya, bahaya, bahayaaaa, Bung Karno!

Kelak Bung Karno menceritakan kejadian itu pada Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Sucipto Yudodiharjo: Supeni mengucap­kan kata bahaya itu sambil menangis.

Supeni meminta Bung Karno me­merintah Ketua Umum PNI Ali Sastro­amijoyo menyelenggarakan kongres luar biasa. Bung Karno setuju lalu meminta Supeni mencegah Hardi membuat PNI tandingan.

Singkat cerita, ada upaya menyatukan PNI kembali. Namun hanya sekitar sebulan kemudian terjadilah peristiwa Gerakan 30 September itu. Segala upaya menyelengarakan kongres darurat terlambat sudah.

Negara yang sedang kacau memberi kesempatan para marhaenis gadungan itu membentuk PNI tandingan, yang populer dengan sebutan PNI Osa-Usep karena diketuai Osa dengan Sekjen Usep. Menurut Supeni, mereka ini sejak awal merancang supaya PNI terpecah dua.

Marhaenis ajaran Bung Karno sebagai asas PNI adalah ajaran kiri dalam arti progresif: anti imperialisme dan kapitalisme, tapi bukan komunis. Bung Karno juga sudah melihat sejak awal asas ini bisa digunakan untuk memukulnya.

Awal Masuk PNI

Di tengah memuncaknya revolusi fisik dan kesibukan mengatur organisasi wanita, baru pada 1946 Supeni men­daftarkan diri masuk PNI. Ia merasa pengabdiannya tidak sempurna jika hanya di organisasi wanita saja. Ia harus terjun langsung dalam partai politik.

Sejak usia 14 tahun di Blitar, Supeni mengagumi cita-cita politik PNI yang ditawarkan Bung Karno. Tapi sebenarnya ia juga iri pada karir politik Sukarni, yang dulu masih selevel ketika di Blitar, ketika pindah ke Bandung menjadi murid langsung Bung Karno. Ia juga ingin menjadi murid langsung Bung Karno, orang yang sudah membuatnya ber­politik sejak usia belia.

Sewaktu ia menuntut ilmu di HIK Blitar, Sukarni sekolah di MULO. Kedua gedung sekolah itu berhadap-hadapan dalam satu halaman. Usia mereka sebaya, dan sama-sama aktif di Indonesia Muda. Supeni menjadi Ketua Keputrian IM merangkap Wakil Ketua IM, sedangkan Sukarni menjadi Ketua IM. Waktu Supeni dipecat dari HIK karena berpolitik, Sukarni juga.

Keakraban itu membuat Supeni me­mahami benar sifat Sukarni yang menu­rutnya okol dan suka memaksakan kehendak. Kalau mereka kekurangan uang, bersama-sama pergi ke Ibu War­doyo, kakak Bung Karno.

Supeni sudah akrab dengan keluarga Soekarno sejak kecil. ”Soekarno sudah melihat saya sejak saya muda, jadi sudah pahamlah tentang orang yang namanya Supeni itu,” kata Supeni, ketika ia diisukan adalah gundik Soekarno– seperti dikatakan Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshal Green.

Hanya dalam waktu 3 tahun, Supeni sudah menjadi anggota Dewan Partai, dan ditugasi menangani persiapan pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada 1955. Pada 1951, ia disertakan dalam misi belajar penyelenggaran Pemilu di India. Hasilnya, buku “Pemilihan Umum di India” (1952). Pada Oktober 1952, Supeni diundang ke AS untuk mempelajari hal sama.

PNI juga aktif mempersiapkan ran­cangan undang-undang Pemilu. Pada Pemilu 1955, Supeni menjadi ketua DPD PNI Jakarta dan memenangkan PNI di wilayah itu. Secara nasional, PNI juga menjadi partai yang mendulang suara paling banyak dalam pemilu yang terkenal dalam sejarah Indonesia sebagai benar-benar jujur dan adil itu.

Sesudah pemilu memilih anggota DPR, 3 bulan kemudian diadakan pemilu untuk memilih anggota konstituante. Hasilnya, selain terpilih menjadi anggota DPR, Supeni juga terpilih menjadi anggota konstituante.

Di DPR, Supeni dipilih menjadi  Ketua Seksi Hubungan Luar Negeri.  Haluan anti nekolim ajaran Bung Karno diperlihatkannya saat ia meng­usulkan resolusi DPR yang berisi dukungan kepada pemerintah Mesir mena­sionali­sasi Terusan Suez pada 1956. Usulan Supeni itu diterima oleh DPR secara aklamasi.

Karier politik Supeni terus melaju mulai dari anggota DPR pada 1956-1960, penasihat delegasi Indonesia dalam KAA pertama di Bandung 1955, Duta Besar Keliling RI dengan tugas menyiapkan Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok I 1961, dan me­mimpin dele­gasi Indonesia di Sidang Umum PBB 1962.

Pada 1965, ketika Bung Karno mempersiapkan Konferensi Asia Afrika II, Supeni mendapat tugas khusus mengunjungi 22 Negara di Afrika. Supeni juga hampir selalu menjadi utusan khusus Presiden Soekarno untuk menje­laskan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia kepada Filipina, Kamboja, dan negara Asia Tenggara lain. Ia benar-benar wanita utusan negara.

Bung Karno pernah memuji Supeni sebagai diplomat berkemampuan tinggi. Tapi dikatakan juga Supeni adalah seorang pendebat, yang juga berani mendebat Presiden Indonesia, jika pen­dapatnya ada yang salah.

Di antara masa-masa pergerakan wanita dan partai, dunia jurnalistik juga sempat digelutinya. Supeni pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pembimbing (1951-1954), Ampera Review (1964-1972), dan Dwiwarna (1968-1972). Ia juga menjadi anggota Persatuan Bridge Wanita.

Supeni tetap mendampingi Bung Karno sampai kejatuhannya. Bahkan bersama suaminya kerap mengunjungi­nya di kediaman Batu Tulis Bogor. Ketika Bung Karno menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso, barulah Supeni tidak bisa menjenguknya. Bahkan istri Soekarno, Hartini, baru bisa menjenguk suaminya setelah satu bulan di sana.

Pada 26 Oktober 1995, Supeni men­dirikan kembali PNI dan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, namun saat itu lepas dari liputan media karena hiruk-pikuk reformasi. Pada 24 Juni 2004, dalam usia ke-87, Supeni Pudjobuntoro meng­hembuskan napas terakhir. [KS-DAS]