Sumber Daya Genetik di Indonesia Belum Banyak Digunakan untuk Obat

Ilustrasi

Koran Sulindo – Sumber daya genetik di Indonesia begitu banyak, sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan untuk menjadi obat herbal terstandar atau fitofarmaka.

Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM Reri Indriani dalam diskusi daring bertema “Perlindungan Sumber Daya Genetik Indonesia” yang dipantau, Rabu (24/3).

Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan saat ini telah terdaftar 98 produk OHT dan 36 fitofarmaka atau obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah.

“Saat ini jumlah OHT dan fitofarmaka yang terdapat di Badan POM masih sangat belum meningkat secara tajam,” kata Reri.

Reri mengatakan adanya peningkatan permintaan akan obat bahan alami seiring dengan semakin maraknya tren hidup berkelanjutan.

Obat-obat berbahan alam itu dapat mengatasi beban ganda dalam pembangunan kesehatan akibat munculnya penyakit baik menular maupun tidak menular karena memiliki sifat kuratif rehabilitatif serta promotif dan preventif.

Terkait tantangan, menurut Reri, masih banyak tanaman atau bahan alam empiris yang tidak terdokumentasi dengan baik, adanya pustaka empiris tentang obat alam dari dokumen kuno yang belum diterjemahkan dan perlunya pembuktian empiris atau penelitian lebih lanjut terkait bahan alam baru yang diketahui oleh masyarakat sebelumnya.

Hal serupa juga disampaikan Pelaksana Tugas Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Yan Rianto.

Yan menegaskan sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia memiliki sumber daya genetik yang sangat beragam mulai dari tanaman, hewan sampai mikroorganisme.

Telah tercatat saat ini terdapat 30.000 spesies dengan sekitar 800 yang sudah dimanfaatkan sebagai herbal seperti jamu.

Namun, Yan menyayangkan masih belum banyak dari spesies tersebut yang dikembangkan lebih lanjut.

“Jadi kita sangat minim sekali pemanfaatan sumber daya hayati yang sebetulnya banyak terdapat di Indonesia,” demikian Yan Rianto. [Wis]