Sultan Thaha, Raja Kesultanan Jambi
Sultan Thaha, Raja Kesultanan Jambi/liputan6.com

Koran Sulindo – Dini hari 27 April 1904, Betung Bedarah, Jambi. Pasukan Belanda yang terbagi dua kelompok itu mengepung dari dua jurusan. Mereka ingin menyergap sekelompok orang yang sudah lama masuk dalam daftar pencarian alias buronan. Tanpa menunggu lama, pasukan Belanda itu pun melepaskan tembakan.

Pertempuran pun pecah. Kelompok yang disergap itu merupakan pasukan gerilya Sultan Thaha Saifuddin yang puluhan tahun berlawan terhadap kekuasaan kolonial. Tak ingin menyerah begitu saja, pasukan Sultan Thaha melakukan perlawanan. Baku tembak antara pasukan Belanda dan Sultan Thaha berlangsung sekitar dua jam.

Pasukan Sultan Thaha terdesak. Sultan Thaha yang tadinya tidur terbangun mendengar suara tembakan itu. Ia spontan bergerak. Dikawal dua hulubalangnya, Sultan Thaha segera melompat ke arena pertempuran. Ia tak lagi ingat dengan bedilnya. Bersenjatakan keris di tangan, Sultan Thaha melompat ke tengah kepungan musuh.

Dalam pertempuran sengit itu, Sultan Thaha tak henti-hentinya meneriakkan takbir. Akan tetapi, Sultan Thaha terjebak di tanah yang berlumpur. Kakinya terbenam. Karena itu, serangan musuh yang begitu cepat justru tak bisa dielakkan. Tembakan pasukan Belanda mengenai tiga orang yang salah satunya Sultan Thaha. Seketika ia jatuh ke tanah bersimbah darah. Ia tewas dengan semangat berlawan pantang menyerah kepada Belanda.

Lalu siapa sebenarnya Sultan Thaha?

Dalam Sultan Thaha Syaifuddin karya Masjkuri, sosok ini lahir di Keraton Tanah Pilih, Kampung Gedang, Jambi pada pertengahan 1816. Di masa kecilnya, ia dipanggil dengan sebutan Raden Thaha Ningrat. Ayahnya merupakan Sultan Muhammad Fakhruddin, Raja Kesultanan Jambi. Sosok ini dikenal sebagai Sultan yang saleh dan punya jasa besar terhadap pengembangan Islam di Jambi.

Sejak kecil Raden Thaha, tulis Masjkuri, telah memperlihatkan tanda-tanda kecerdasan dan ketangkasan. Meski keturunan kerajaan, Thaha disebut suka bergaul dengn rakyat pada umumnya. Ia sosok yang dinilai sebagai orang yang rendah hati. Thaha mendapat didikan ajaran agama Islam dari ayahnya sehingga ia tumbuh sebagai anak yang taat beribadah.

Thaha, kata Masjkuri, meresapi pelajaran tauhid ke dalam jiwanya. Ia percaya bahwa Allah berkuasa atas langit dan bumi. Dari ketaatan dan kepercayaannya itu, timbullah sifat-sifat Thaha yang luar biasa: berani dan ulet dalam menghadapi segala macam pekerjaan. Di samping ayahnya, nilai-nilai Islam yang dianut Thaha juga terpengaruh dari ibunya yang merupakan keturunan wanita Arab yang kuat keislamannya.

Sebagian menyebutkan ibu Thaha merupakan keturunan Siti Maryam. Ada pula yang menyebutkan keturunan Siti Fatimah anak Syah Bafadal Magatsari Jambi. Selain ilmu Islam, Thaha sejak kecil juga telah mendapat gemblengan keterampilan dan ilmu bela diri. Keterampilan itu antara lain berlatih menunggang kuda, menembak, memanah dari kuda yang sedang berlari, kesenian dan lain sebagainya.

Karena kecerdasannya itu, Sultan Thaha dengan mudah mengecap semua pelajaran yang diajarkan guru-gurunya. Kendati demikian, Sultan Thaha, kata Masjkuri, masih belum puas. Ia ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ia karena itu meninggalkan Jambi dan berangkat ke Aceh. Di sana Sultan Thaha tinggal selama dua tahun. Setelah melewati dua tahun, Sultan Thaha kembali ke Jambi.

Ketika ingin pulang ke Jambi, maka oleh Sultan Aceh diadakanlah upacara pelepasan yang ditandai dengan memberi gelar Syaifuddin kepada Sultan Thaha. Syaifuddin, kata Masjkur, berasal dari bahasa Arab yang berarti “Pedang Agama”. Sultan Aceh bermaksud agar Sultan Thaha kelak menjadi tokoh yang senantias berjuang untuk membela kepentingan agama.

VOC dan Kesultanan Jambi
Pada 1615 Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) alias Kompeni Belanda tiba di Jambi. Pada waktu itu Kerajaan Jambi dipimpin oleh Sultan Abdul Kahar. Setahun tiba di sana, Belanda mendirikan kantor dagangnya di Muara Kumpeh. Dan Sultan Abdul Khaar menyetujuinya. Dalam perjalanannya Belanda semakin mendominasi baik dalam perdagangan maupun kekuasaan politik.

Secara perlahan, Belanda menanamkan pengaruhnya dan ikut campur dalam pemerintahan kesultanan di sana. Tindakan Belanda dengan sistem monopoli perdagangan itu justru menimbulkan ketidaksukaan dari rakyat. Juga karena ingin menanamkan kekuasaannya di Jambi. Tindakan-tindakan Belanda itu menimbulkan kebencian yang luar biasa dari rakyat yang dipimpin Sultan.

Di masa pemerintahan Sultan Abdul Khahar ini ada beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan Belanda. Dalam hal Kesultanan Johor (Malaka), misalnya, yang ketika itu menginginkan Tungkal menjadi bagian dari wilayahnya. Tentu saja Sultan Abdul Khahar menolaknya. Akan tetapi, Kesultanan Johor justru meminta pihak VOC sebagai mediator dalam masalah itu. Kesultanan Johor lantas menggandeng VOC untuk mengantisipasi serangan dari Sultan Abdul Khahar yang bersekutu dengan Palembang serta Mataram.

Atas kerja sama itu, Belanda menuduh Sultan Abdul Khahar bersekutu dengan Palembang dan Mataram untuk melawannya. Pada 1643, Sultan Abdul Khahar wafat. Ia kemudian digantikan putranya yang kemudian dikenal sebagai Sultan Abdul Jalil. Di masa ini, Sultan Abdul Jalil menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akan tetapi, perjanjian itu justru digunakan Belanda sebagai pembenaran untuk mencampuri urusan politik, ekonomi dan pemerintahan Kesultanan Jambi.

Bahkan Belanda mulai bertindak brutal. Mereka mulai memeras rakyat. Sejak resmi memerintah Kesultanan Jambi, Sultan Abdul Jalil hanya berkuasa lebih dari dua dekade. Pada 1665, Sultan Abdul Jalil wafat dan kemudian digantikan Sultan Sri Ingalogo. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo, Kesultanan Jambi terlibat perang dengan Kesultanan Johor. Kesultanan Jambi yang dibantu VOC berhasil memenangi pertempuran.

Akan tetapi, bantuan dari VOC itu tidak gratis. Sebagai gantinya, VOC meminta Sultan Sri Ingalogo menandatangani perjanjian-perjanjian yang menguntungkan perusahaan multinasional pertama di dunia itu. Terutama dalam hal monopoli perdagangan lada. Juga dalam hal penjualan kain dan opium. Karena tindakan Belanda yang mulai menindas, perlawanan rakyat mulai muncul. Beberapa tahun setelah peristiwa perang Kesultanan Jambi dan Johor, rakyat Jambi menyerang kantor dagang VOC.

Dalam peristiwa itu, Kepala Dagang VOC Sybrandt Swart tewas. VOC tidak terima dengan peristiwa itu. Dan menuduh Sultan Sri Ingalogo terlibat dalam peristiwa itu. Belanda pun menangkap Sultan Sri Ingalogo lalu diasingkan ke Batavia dan selanjutnya diasingkan lagi ke Pulau Banda. Semestinya penggantinya adalah Pangeran Raden Julut. Namun, Belanda dengan politik pecah belahnya justru memilih Kiai Gedeh sebagai Sultan Jambi yang baru menggantikan Sultan Sri Ingalogo.

Kepemimpinan Sultan Kiai Gedeh ini pro kepada Belanda. Pendirian Sultan Kiai Gede itu mendapat penolakan dari saudara-saudaranya yaitu Pangeran Raden Julut dan Kiai Singa Patih. Pangeran Raden Julut lantas mendirikan pemerintahan tandingan di Mangunjayo, Muara Tebo. Ia bergelar Sri Maharaja Batu atau Sunan Suto Ingalogo dan Kiai Singa Patih mendirikan pemerintahannya di Bukit Serpeh dengan Gelar Sunan Abdurrahman.

Pada 1696 Sultan Kiai Gedeh wafat lalu digantikan putranya bergelar Sultan Muhamad Syah. Di awal pemerintahannya, Sultan Muhammad Syah tidak cocok dengan Belanda. Ia bahkan berani menutup kantor dagang VOC di Muara Kumpeh. Namun, pada 1707, ia mengadakan hubungan lagi dengan Belanda. Pada masa Sultan Muhamad Syah, Sultan Suto Ingalogo kembali ke Jambi dan berhasil mendapatkan posisinya sebagai Sultan Jambi. Belanda tentu saja tidak senang dengan itu.

Dengan berbagai tipu muslihat dan strategi liciknya, Belanda menangkap Sultan Suto Ingologo dan membuangnya ke Batavia. Lalu, Belanda kembali mendudukkan Sultan Muhammad Syah sebagai Sultan Jambi. Sultan Muhammad Syah memimpin Jambi hingga pada 1740. Ketika ia wafat, penggantinya merupakan putra dari Sultan Suto Ingalogo (Raden Juhut) yang bergelar Sultan Istra Ingalogo. Dalam kepemimpinannya, Sultan Istra Ingalogo tidak suka terhadap Belanda terutama karena perlakuan mereka terhadap orang tuanya.

Sultan Istra Ingalogo lantas mengusir Belanda dari Jambi dan menutup kantor dagang VOC di Muara Kampeh pada 1742. Ia berkuasa hingga wafat pada 1770. Penggantinya adalah Sultan Anom Sri lngalogo yang juga disebut sebagai Sultan Achmad Zainuddin. Di masanya, ia berhasil menengahi konflik antar-kampung di Kerinci. Juga pada masanya hubungan Kesultanan Jambi dengan VOC putus. Ia juga memasukkan kaum ulama sebagai unsur yudikatif dalam pemerintahan Kesultanan Jambi.

Sultan Anom Sri Ingalogo wafat pada 1790. Penggantinya adalah Sultan Ratu Sri Ingalogo. Pada masa kepemimpinan Sultan Ratu Sri Ingalogo peristiwa penting yang terjadi adalah pembubaran VOC pada 1799 dan menyerahkan semua tanggung jawabnya kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pada masa itu, Jambi tidak diduduki Belanda. Pada 1812, Sultan Ratu Sri Ingalogo ini wafat. Penggantinya adalah Raden Danting Sultan Muhamad Mahidin yang bergelar Sultan Agung Sri Ingalogo.

Pada masa kepemimpinan Sultan Agung Sri Ingalogo, Kesultanan Palembang berperang melawan Belanda dan Jambi mengirimkan bantuan tentara ke Palembang untuk melawan serangan Belanda. Ia wafat pada 1883 dan digantikan oleh putranya bernama Raden Muhamad yang bergelar Sultan Muhamad Fakhruddin yang juga digelari dengan Sultan Keramat. Sosok ini ayahanda dari Sultan Thaha.

Di masa pemerintahan Sultan Muhammad Fakhruddin ini pula berbagai perjanjian dengan Belanda ditandatangani. Pasalnya, ia terkepung ketika bertempur dengan pasukan Belanda di Rawas, Palembang. Berawal dari pantai timur Kesultanan Jambi pada 1833 diduduki bajak laut yang berpusat di muara Sungai Batanghari. Angkatan laut Belanda mengusir bajak laut tersebut dan meminta konsesi kepada Sultan Muhammad Fakhrudin. Permintaan itu tidak pernah mendapat tanggapan.

Ketika Sultan Muhammad Fakhruddin terkepung di Palembang itu, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Michiels memaksanya menandatangani perjanjian Korte Verkelaring pada 4 November 1833 di Sungai Baung. Poin dari perjanjian itu, Kesultanan Jambi di bawah perlindungan dan dikuasai Belanda serta berhak membuat pertahanan di daerah Jambi bila perlu. Sejak itu, Belanda lantas menduduki Muara Kumpeh. Sultan Muhammad Fakhruddin wafat pada 1841 dan digantikan oleh saudaranya yang bergelar Sultan Abdurahman Nasruddin.

Di masa pemerintahan Sultan Abdurahman Nasruddin ini Raden Thaha Ningrat menjabat sebagai Pangeran Ratu dengan sebutan Pangeran Ratu Jayaningrat. Pada 1851, Pangeran Ratu Jayaningrat mengadakan hubungan dagang dengan Amerika Serikat lewat kapal Flirt di bawah pimpinan Walter Gibson. Niatnya secara bersama-sama mengusir Belanda dari Jambi. Pada masa ini pula Kesultanan Jambi banyak mengirimkan bantuan kepada bangsawan-bangsawan Palembang untuk melawan Belanda.

Menolak Belanda
Sultan Abdurahman Nasruddin wafat pada 1855. Penggantinya adalah Pangeran Ratu Jayaningrat alias Sultan Thaha Syaifuddin. Ia merupakan Sultan Jambi terakhir. Pada waktu dinobatkan sebagai Sultan Jambi, Sultan Thaha secara terang-terangan menolak kekuasaan Belanda dan tidak mau mengadakan perundingan apapun dengan mereka. Sikap ini diambil Sultan Thaha sebagai bentuk kecintaannya kepada rakyat. Ia tidak rela rakyatnya menderita di bawah kesewenang-wenangan Belanda.

Sikap itu ia tunjukkan dalam suatu hari ketika seorang utusan Belanda hendak menghadap dirinya. Sultan Thaha menolak untuk bertemu utusan Belanda itu. Ia menyuruh perdana menteri yang menerimanya. Bahkan setelah utusan Belanda itu pergi, ia meminta kepada bawahannya untuk membersihkan atau menyiram jalan yang dilalui orang Belanda tersebut sambil dibacakan surat Yasin.

Seperti itulah kebencian Sultan Thaha terhadap penjajah Belanda. Cerita lain sebagai gambaran kebenciannya terhadap Belanda, Sultan Thaha pernah memerintahkan agar harta kerajaan dimasukkan ke dalam suatu kolam ke dalam Sungai Pasir. Tujuannya agar harta itu tidak jatuh ke tangan Belanda. Dari cerita salah satu putrinya, harta kerajaan itu diperkiraan masih ada hingga sekarang hanya orang-orang tidak berani membongkar kolam tersebut karena dianggap keramat.

Di masanya pulalah perlawanan rakyat terhadap Belanda berlangsung secara sengit. Karena semua sikap Sultan Thaha itu, Belanda pun meradang. Mereka berupaya mendongkel kekuasaan Sultan Thaha. Juga berkali-kali ingin menangkapnya dan mengasingkannya ke Batavia. Ancaman demi ancaman itu sama sekali tidak dihiraukan Sultan Thaha. Bahkan ia menyiapkan pasukannya untuk menyerang Belanda berbekal pedang, lembing dan senapan-senapan yang berhasil dirampas dari tentara Belanda.

Begitulah ingatan kaum kolonialis terhadap perjuangan gigih Sultan Thaha. Pejuang Islam yang sepanjang hidupnya berlawan terhadap imperialisme Belanda yang ingin menancapkan kekuasaannya di Jambi. Ia menunaikan janji yang pernah diucapkannya: akan mati mempertahankan tanahnya hingga tetesan darah penghabisan. Dini hari 27 April 1904 itu menjadi saksi sejarah keteguhan Sultan Thaha berlawan terhadap Belanda. Dalam usia 88 tahun dan berjuang nyaris 50 tahun, ia gugur sebagai pejuang dan pahlawan rakyat. [Kristian Ginting]