Presiden Soekarno mencium Sukmawati,sebelum berangkat mengunjungi Tokyo, Jepang. 19 November 1962, Jakarta, Indonesia/© Bettmann/CORBIS

Koran Sulindo – Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri masih menyimpan kenangan pahit masa-masa sekitar 50 tahun lalu. Perempuan kelahiran Jakarta, 26 Oktober 1951 itu masih berusia 14 tahun ketika ia bangun pada suatu pagi dan tak bisa berangkat ke sekolah. Di sekitar istana banyak tentara yang berjaga. Ia mengintai ke teras, ada seorang tentara berkumis berpakaian dinas lapangan (DPL) yang tak dikenalnya. Ada juga truk tentara di taman belakang.

Hari itu 1 Oktober 1965. Bung Karno tak ada di istana. Siangnya baru Sukmawati berjumpa bapaknya di lapangan udara Halim Perdanakusumah. Presiden Republik Indonesia itu hanya berkaos oblong dengan pantalon, dan tak berpici.

“Baru kali ini aku melihat ekspresi wajah Bapak seperti saat itu. Terlihat ada suatu “shock” dan kesedihan dalam jiwanya,” tulis Sukmawati dalam bukunya, “Creeping Coup d’etat Mayjen Suharto”.

Bung Karno terlihat sedih, kehilangan harapan.

“Wajahnya kusut hari itu,” kata Sukmawati, saat berkunjung ke kantor Koran Sulindo, akhir pekan lalu. Padahal sewaktu pulang sehabis peristiwa granat di Perguruan Cikini, 30 November 1957, kata Sukma, Bung Karno tetap berwajah tenang, walau lengannya terluka.

Setelah Peristiwa 30 September 1965 itu, Sukmawati, Rachmawati, dan Guruh sementara harus tinggal di Bandung, lalu ke Istana Cipanas. Baru setelah 11 Maret 1966 ia kembali ke Istana negara di Jakarta. Setiap pagi jam 6 ia berangkat sekolah, mencium bapaknya yang selalu sedang duduk di kursi rotannya, di teras belakang Istana Merdeka. Setiap hari pukul 5 pagi Bung Karno selalu sudah duduk di kursi itu. Hanya setelah penyerahan Supersemar Letjen Soeharto sudah berkantor di Guest House istana,  tempat yang dibangun Bung Karno untuk menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy.

Tak menunggu lama, setelah pidato Bung Karno Pelengkap Nawaksara ditolak MPRS lalu Letjen Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden RI pada 12 Maret 1967. Hanya dalam seminggu Bung Karno dan keluarganya harus meninggalkan istana.

Sukmawati lahir dan besar di istana itu. Limabelas tahun ia tinggal di sana. Ia mau tak mau pindah ke rumah ibunya di Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru, sementara Bung Karno di paviliun Istana Bogor.

Pada Maret 1968, Soeharto dilantik menjadi presiden. Bung Karno pindah ke rumahnya di Jalan Batu Tulis Bogor. Ia dilarang keluar rumah, dan beberapa kali diperiksa oleh TNI AD. Sejak ada pemeriksaan itu Bung Karno terlihat berbeda.

“Suatu hari ketika aku duduk berdua dengan bapak di ruang duduk, tiba-tiba bapak menangis tersedu-sedu tanpa kata,” tulis Sukmawati dalam buku tipis yang terbit pada 2011 itu.

Baru kali itu Sukmawati melihat bapaknya menangis di hadapannya.

Lambat laun Bung Karno semakin enggan berjalan-jalan keliling taman dan memilih berbaring di sofa.

Pada 1969 Bung Karno dipindah ke Wisma Yaso (kini Museum TNI AD) di Jalan Gatot Subroto Jakarta. Ginjal Bung Karno saat itu tinggal hanya satu. Wajahnya terlihat agak membengkak, gemuk tidak sehat. Untuk mengisi waktu ia bermain kartu 21 berjam-jam seperti biasanya. Jika lelah atau mengantuk, ia lebih suka berbaring di sofa hingga tertidur. Begitulah rutinitasnya sehari-hari.

Suatu hari Sukma berkunjung Ke Wisma Yaso, duduk berdua dengan bapaknya. Bung Karno menangis terisak-isak seraya berkata lirih, ”Kenapa Bapak dibeginikan oleh bangsa sendiri?”

Kesehatan Soekarno memburuk memasuki 1970. Maklum, tubuh tua, hanya dengan satu ginjal, dan tak mendapatkan perawatan kesehatan semestinya. Dari awal Juni 1970 itu, Bung Karno tidak mau makan nasi, hanya mau makan buah saja. Pada pertengahan Juni, Bung Karno dibawa ke RS Pusat Angkatan Darat, dalam keadaan pingsan sejak dari Wisma Yaso. Di rumah sakit itu Bapak Bangsa itu koma.

Pada 21 Juni 1970, Sukmawati dan saudara-saudaranya diberitahu harus kumpul di RSPAD karena bapaknya dalam keadaan kritis.

“Kami semua berdiri mengelilingi tempat tidur dengan menatap ke bapak, terdengar suara isak tangis, sedangkan aku terdiam haru. Kemudian…tiga kali Bapak menarik napas panjang…lalu hening.”

Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu wafat.

Pada hari itu juga jenazah Bung Karno disemayamkan di Wisma Yaso, dalam peti yang sederhana dan agak kekecilan untuk ukuran badannya yang gemuk.

Jenazah Bung Karno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, tak sesuai wasiat almarhum yang menginginkan dikebumikan di Bogor, di tanah Priangan yang jelita. Soekarno pernah berpesan kepada salah satu istrinya, Hartini, teman-temannya, dan juga tercatat dalam buku autobiografinya yang disusun Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1966): “Dimakamkan di tanah Priangan yang sejuk nyaman, berlembah bergunung dan subur, di mana pertama kali bertemu dengan Marhaen…”

Menurut mantan Kapolri, Hoegeng Iman Santoso, ketika jasad Bung Karno sudah sampai di makam Blitar, pengantar jenazah terakhir masih ada di Wlingi, sekitar 11 kilometer dari kota itu.

Sejak itu hingga 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM) setempat.

Film Soekarno

Itulah bagian terbagus yang hendak ditampilkan Sukmawati beberapa tahun terakhir ini. Belakangan ini anak keempat Bung Karno dan Fatmawati itu berkeliling kemana-mana menawarkan filmnya. Di Amerika Serikat, seorang produser setempat bersedia dengan biaya sekitar US$ 100 juta (sekitar Rp 1,3 triliun). Seorang produser negeri Tirai Bambu menawarkan harga yang jauh lebih murah. Namun semua masih terbentur keuangan.

Sukmawati sudah membuat skenario itu bertahun lalu. Dalam mimpinya film tentang Soekarno sejak lahir hingga meninggalnya itu harus dibuat serius dan digagas untuk sekualitas Piala Oscar. “Seperti film Gandhi,” kata Sukmawati.

Gandhi adalah film produksi 1982 kerjasama Inggris-India, dibesut sutradara Richard Attenborough, dibintangi Ben Kingsley, dan memenangkan banyak Oscar.

Menurut Sukmawati, film-film biopik tentang Soekarno yang pernah diproduksi belum bisa mewakili sosok proklamator itu secara baik dan utuh.

Sukmawati sudah berkunjung ke Presiden Joko Widodo, ke pemilik perusahaan Grup Lippo, ke pemilik perusahaan Trans TV, dan seterusnya. Tapi naskah film Soekarno itu masih belum dilirik orang.

Selain soal itu, ada soal lebih berat yang harus dihadapi jika film itu kelak diproduksi: banyak arsip tentang Bung Karno yang tidak ada atau sudah lenyap. Misalnya peristiwa pertemuan Bung Karno dengan Mao Tze Thung, pemimpin Republik Rakyat China.

“Arsipnya nggak ada,” kata Sukmawati.

Naskah pidato Bung Karno pun tak semua bisa dikumpulkan lengkap. Arsip Negara RI (ANRI) di situs internetnya hanya menggelar 14 pidato Bung Karno yang bisa diakses publik. Padahal, jika dihitung sejak pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 hingga Pidato Pelengkap Nawaksara, jumlah pidato Bung Karno pasti ratusan.

Film yang digagas untuk generasi muda sekarang itu mungkin juga harus ceriwis menjelaskan banyak hal tentang Soekarno. Pada masa pemerintahan Orde Baru nyaris tak ada ruang secelah apapun untuk menampilkan Soekarno. Sosok Bung Karno nyaris terlupakan, atau dibikin hilang, di mata generasi muda yang lahir di masa Orba dan setelahnya.

“Mungkin juga istilah Marhaenisme harus diganti Soekarnoisme,” kata Ketua Umum PNI Marhaenisme itu.

Masih panjang jalan untuk melahirkan film utuh tentang Bapak Bangsa itu. Dan Sukmawati masih terus berkeliling menawarkan mimpinya. [Didit Sidarta]