Soekarno-Hatta, Dwitunggal yang Tak Pernah Tanggal

Soekarno-Hatta/arsip nasional

Selalu ada perang dan damai, tetapi ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan keduanya sudah seperti saudara kandung.

Pertengahan Juni 1970 kondisi kesehatan Soekarno memburuk. “Saya menelpon Bung Hatta untuk pergi bersama-sama menjenguk Bung Karno…Beliau tergelatak lemas di atas tempat tidur, tiada reaksi melihat kedatangan kami. Matanya memandang keatas sudah tak melihat apa-apa. Tangannya tidak lagi dapat digerakkannya, sehingga aku meraihnya untuk bersalaman. Matanya terbuka dan tidak bergerak sedikitpun. Nafas dan detak jantungnya terasa lemah sekali,” tulis Karim Oei dalam bukunya (Mengabdi Agama, Nusa, dan Bangsa; 1982). Karim, anggota Partai Masyumi dan pernah Ketua Majelis Ulama Indonesia adalah karib Bung Karno sejak pengasingan oleh kolonialis Belanda di Bengkulu.

“Setelah kami keluar dari kamarnya,” tulis Karim, “Bung Hatta mengatakan padaku bahwa mungkin tidak ada duanya orang yang telah memberikan seluruh kehidupannya bagi kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia seperti Bung Karno.”

Kisah dari buku lain yang ditulis Peter Kasenda (Hari-hari Terakhir Soekarno; 2012), Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Soekarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.

“Kakak tidak mungkin ke sana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik,” kata Rachmi.

Hatta menoleh pada isterinya dan berkata “Soekarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Soekarno disakiti seperti ini.”

Dua nukilan itu menggambarkan batin Muhamad Hatta pada orang agung yang telah dikenalnya secara fisik selama 38 tahun, dan namanya sering disandingkan dengan namanya itu.

“Soekarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung,” tulis Mavis Rose (Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta; 1991).

Pertemuan Bung Karno dan Bung Hatta terjadi akhir Agustus 1932. Saat itu Hatta baru menyelesaikan studinya di negeri Belanda dan pulang ke Indonesia. Sebelumnya mereka sudah berkenalan nama lewat media dan bahkan sempat berpolemik ramai di Fikiran Rakyat. Keduanya bertemu di Hotel Semarang, Jalan Kebon Jati, Jakarta. Itulah pertemuan fisk pertama dua orang berkarakter hampir bertolak belakang itu, sebelum setahun kemudian masing-masing dibuang ke tempat pengasingan berbeda.

Soekarno adalah seorang solidarity maker yaitu seorang pemimpin yang pandai menarik simpati massa dan menggerakkan mereka untuk tujuan tertentu, sedangkan Hatta adalah seorang administrator ulung dalam penyelenggaraan negara. Keduanya juga berbeda pandangan dalam soal strategi dan orientasi politik. Bung Karno juga menganggap revolusi belum selesai, sedang Bung Hatta menganggap revolusi harus segera diakhiri dan segera melakukan pembangunan.

Setahun sebelum pertemuan di kawasan Tanah Abang itu, Hatta yang menjadi ketua Perhimpunan Indonesia ditangkap dan dipenjara di Casius-straat bersama Nazir Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Dalam peradilan Hatta membuat pembelaan berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). “Lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada dijajah bangsa lain”, adalah kutipan paling sering dicukil adalam pledoi itu. Di tanah air, sekitar 3 tahun terlebih dulu Bung Karno menulis pembelaannya dengan judul “Indonesia Menggugat” dalam peradilan kolonialis. Inilah awal mula istilah Dwitunggal bagi Soekarno-Hatta melekat, bahkan sebelum mereka berdua bertemu.

Mereka berdua kembali bertemu di Jakarta setelah dibebaskan dari pengasingan masing-masing. Soekarno dari Bengkulu dan melalui  jalan darat ke Padang sebelum berlayar ke ibukota. Hatta naik pesawat terbang dari Banda.

Pada Agustus 1945 mereka adalah dua nama yang tak bisa dipisahkan dari kemerdekaan Indonesia. Soekarno yang hari itu sedang meriang konon tidak mau membacakan proklamasi tanpa kehadiran Hatta.

Sehari setelah merdeka, Soekarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia.

Meski hampir selalu berbeda pandangan sejak awal, namun hubungan pribadi bapak bangsa itu tetap intim. Hatta sering disebut sebagai pengkritik terkeras Soekarno, bahkan hingga setelah Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956.

Kekompakan mereka berdua mulai  terasa pada sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1947 saat membahas persetujuan Linggarjati. Untuk meratifikasi persetujuan Linggarjati, dibutuhkan persetujuan parlemen. Namun terjadi perdebatan sengit di parlemen yamg mengarah pada perpecahan, hingga akhirnya Hatta membela Soekarno dan berpidato, yang dikenang sebagai pidato Hatta paling emosional. “ Terima persetujuan Linggarjati atau pilih presiden dan wakil presiden lain!”

Sikap tegas itu membuat persetujuan Linggarjati akhirnya diterima oleh KNIP.

Hatta kembali meledak saat pemerintah berniat melaksanakan Perjanjian Roem-Royen. Namun tentara, dipimpin Jenderal Soedirman, menolak perjanjian itu. Situasi mengalami jalan buntu, hingga Sudirman ingin mengundurkan diri. Bung Karno sudah menjelaskan semuanya namun tentara tak bergeming. Bung Hatta meledak tangisnya dan berkata, “Kalau saudara-saudara berhenti, maka lebih dahulu Soekarno-Hatta berhenti, terserah APRI memimpin perjuangan, Soekarno-Hatta akan mengikuti sebagai rakyat.”

Akhirnya Sudirman tak jadi mengundurkan diri dan bersetuju dengan Soekarno-Hatta.

Puncak kekompakan dwi tunggal adalah saat peristiwa Madiun pada September 1948. Pasukan Brigade 29 menyerang Divisi Siliwangi, setelah menguasai kota Madiun. Mereka mendeklarasikan front nasional. Soekarno-Hatta menganggap Musso adalah dalangnya. Maka pada malam 19 September 1948, Bung karno berpidato di radio dan mengajukan dua pilihan: “Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang akan memimpin RI yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun.”

Indonesia pada masa revolusi awal-awal kemerdekaan itu memang penuh intrik politik. Mereka berdua bisa bersatu melewati masa-masa itu hingga pertentangan di sidang kabinet Burhanuddin Harahap. Bung Karno dan Bung Hatta berbeda pendapat mengenai pencalonan KASAD baru.

Sidang kabinet itu dibuka dengan suasana hening. Bung Karno dan Bung Hatta duduk bersama di sebuah kursi panjang. Masing-masing duduk di ujung kiri dan kanan. Diantara mereka tergeletak peci Bung Karno.

Bung Hatta angkat bicara, setelah itu sidang kembali hening. Untuk memecah keheningan itu, Burhanudin Harahap bertanya pada Bung Karno, apakah beliau mau bicara. Dengan wajah emosional, ditatap semua hadirin, Bung Karno muntab. “Sudah saya bilang, saya tidak mau bicara. Saya sudah minta supaya Kepala Staf diundang, supaya saya bisa bicara dengan mereka, sebagai seorang bapak terhadap anak.“

“Apa! Bung Hatta menyela dengan nada yang tinggi. “Bicara sebagai bapak dengan anak?     Tidak bisa! Anak minta maaf dulu, baru kita bisa bicara sebagai bapak dengan anak. Ik spreek net met een rebel! (Saya tidak berbicara dengan pemberontak).”

“Siapa rebel!” balas Bung Karno.

Tak lama setelah peristiwa itu Bung Hatta, pada 20 Juli 1956, menulis surat pada ketua parlemen. “Setelah DPR yang dipilih oleh rakyat mulai bekerja, dan konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden.”

Tidak ada yang menyangka Bung Hatta akan mundur. Dwi tunggal itu memilih jalan yang berbeda.

Betapa pun perbedaan pilihan berpolitik Soekarno-Hatta tak pernah mencaci secara pribadi. Guntur Soekarnoputra ingat sebuah kejadian, saat hubungan Bung Karno dengan komunis sedang dekat, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI. Pada satu acara mereka mengadakan pembacaan teks proklamasi yang pada alenia pentupnya hanya disebut nama Soekarno, tanpa Hatta.

Saat makan siang dengan ayahnya, Guntur bertanya,“Kok bapak kelihatannya sedang…”

“Sedang apa???” sela Bung Karno. “Sedang marah, hah! Memang aku sedang marah! Bukan, bukan sama kamu, sama pemimpin PKI! Orang boleh benci pada seseorang! Orang boleh dendam pada seseorang! Boleeeh entah apalagi! Kamu tahu? Aku kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta! Tapi menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!” teriak Bung Karno, sambil berdiri  dan meninju meja makan.

Kisah lain lagi saat Guntur mau menikah pada 1968, dan Bung Karno ditahan oleh pemerintah Soeharto. Guntur meminta izin pada Kodam V Jaya agar bapaknya bisa hadir sebagai wali pernikahan anaknya. Permohonan izin itu ditolak. Waktu Guntur menyampaikan kabar penolakan ini, Bung Karno sedang terbaring lunglai di kursi lusuh, di Wisma Yaso. Adegan ini bisa dibaca dalam buku Guntur Soekarnoputra (Bung Karno Bapakku-Kawanku-Guruku; 1978).

“Oh, kau Tok? Bagaimana dengan izin?” tanya Bung Karno.

Guntur hanya menggeleng, sambil menitikkan air mata. Bung Karno mengangguk, lalu mengepalkan tinju ke dadanya, mengisyaratkan agar Guntur tetap tabah.

“Sini kau mendekat…”, bisik Bung Karno. “Minta Pak Hatta…jadi walimu.”

“Mana Pak Hatta mau? Aku nggak berani memintanya, Bapak yakin Pak Hatta mau…?” tanya Guntur.

Bung Karno mengangguk yakin. “Suruh ibumu menyampaikan permintaan Bapak ini padanya.”

Saat disampaikan pesan ini kepada Bu Fatmawati, Ia langsung menelpon Bung Hatta. Dan Bu Fatma mendapat jawaban spontan…”Baiklah, saya bersedia!!”

Dan hubungan unik dua pribadi ini mencapai ujungnya ketika kesehatan Bung Karno sudah memasuki masa kritis. Bung Hatta mengajukan permohonan pada Presiden Soeharto untuk membesuk Bung Karno. Izin didapatkan.

Maka bertemulah kedua proklamator di rumah sakit Gatot Subroto, sebuah pertemuan yang digambarkan oleh Meutia Hatta putri Bung Hatta, secara menyentuh (Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan; 1980).

Berkata lirih Bung Karno kepada Bung Hatta, “Hatta… kau di sini?”.

Seperti diiris-iris hati Bung Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya.

“Ya… bagaimana keadaanmu No..? “, begitu Hatta membalas sapaan lemah Bung Karno dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan, Hatta memegang lembut tangan Bung Karno.

Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya dalam bahasa Belanda, “Bagaimana keadaanmu…”

Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgia perjuangan. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Bung Karno terisak. Hatta pun tak kuasa membendung air matanya. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah-olah takut berpisah. Keduanya bertangis-tangisan. “No…” Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan.

Sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas. Selanjutnya hanya diam, mata keduanya bertatapan. Mereka berbicara melalui bahasa mata.

Pertemuan pada 19 Juni 1970 itu menjadi pertemuan terakhir dwi tunggal itu. Dua hari kemudian Bung Karno wafat. [DS]