Tidak ada yang menyangka Bung Hatta akan mundur. Dwi tunggal itu memilih jalan yang berbeda.

Betapa pun perbedaan pilihan berpolitik Soekarno-Hatta tak pernah mencaci secara pribadi. Guntur Soekarnoputra ingat sebuah kejadian, saat hubungan Bung Karno dengan komunis sedang dekat, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI. Pada satu acara mereka mengadakan pembacaan teks proklamasi yang pada alenia pentupnya hanya disebut nama Soekarno, tanpa Hatta.

Saat makan siang dengan ayahnya, Guntur bertanya,“Kok bapak kelihatannya sedang…”

“Sedang apa???” sela Bung Karno. “Sedang marah, hah! Memang aku sedang marah! Bukan, bukan sama kamu, sama pemimpin PKI! Orang boleh benci pada seseorang! Orang boleh dendam pada seseorang! Boleeeh entah apalagi! Kamu tahu? Aku kadang-kadang jedag dengan politiknya Hatta! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta! Tapi menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!” teriak Bung Karno, sambil berdiri  dan meninju meja makan.

Kisah lain lagi saat Guntur mau menikah pada 1968, dan Bung Karno ditahan oleh pemerintah Soeharto. Guntur meminta izin pada Kodam V Jaya agar bapaknya bisa hadir sebagai wali pernikahan anaknya. Permohonan izin itu ditolak. Waktu Guntur menyampaikan kabar penolakan ini, Bung Karno sedang terbaring lunglai di kursi lusuh, di Wisma Yaso. Adegan ini bisa dibaca dalam buku Guntur Soekarnoputra (Bung Karno Bapakku-Kawanku-Guruku; 1978).

“Oh, kau Tok? Bagaimana dengan izin?” tanya Bung Karno.

Guntur hanya menggeleng, sambil menitikkan air mata. Bung Karno mengangguk, lalu mengepalkan tinju ke dadanya, mengisyaratkan agar Guntur tetap tabah.

“Sini kau mendekat…”, bisik Bung Karno. “Minta Pak Hatta…jadi walimu.”

“Mana Pak Hatta mau? Aku nggak berani memintanya, Bapak yakin Pak Hatta mau…?” tanya Guntur.

Bung Karno mengangguk yakin. “Suruh ibumu menyampaikan permintaan Bapak ini padanya.”

Saat disampaikan pesan ini kepada Bu Fatmawati, Ia langsung menelpon Bung Hatta. Dan Bu Fatma mendapat jawaban spontan…”Baiklah, saya bersedia!!”

Dan hubungan unik dua pribadi ini mencapai ujungnya ketika kesehatan Bung Karno sudah memasuki masa kritis. Bung Hatta mengajukan permohonan pada Presiden Soeharto untuk membesuk Bung Karno. Izin didapatkan.

Maka bertemulah kedua proklamator di rumah sakit Gatot Subroto, sebuah pertemuan yang digambarkan oleh Meutia Hatta putri Bung Hatta, secara menyentuh (Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan; 1980).

Berkata lirih Bung Karno kepada Bung Hatta, “Hatta… kau di sini?”.

Seperti diiris-iris hati Bung Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya.

“Ya… bagaimana keadaanmu No..? “, begitu Hatta membalas sapaan lemah Bung Karno dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan, Hatta memegang lembut tangan Bung Karno.

Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya dalam bahasa Belanda, “Bagaimana keadaanmu…”

Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgia perjuangan. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Bung Karno terisak. Hatta pun tak kuasa membendung air matanya. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah-olah takut berpisah. Keduanya bertangis-tangisan. “No…” Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan.

Sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas. Selanjutnya hanya diam, mata keduanya bertatapan. Mereka berbicara melalui bahasa mata.

Pertemuan pada 19 Juni 1970 itu menjadi pertemuan terakhir dwi tunggal itu. Dua hari kemudian Bung Karno wafat. [DS]