Presiden Sukarno

Koran Sulindo – Ungkapan Go To Hell With Your Aid! yang disampaikan Bung Karno untuk Amerika merupakan lambang harga dan jati diri bangsa. Meski baru merdeka dan butuh uang untuk membiayai pembangunan, Bung Karno tak mau bantuan-bantuan itu dikaitkan dengan sikap politik bangsa. Tidak! Sekali-kali tidak!

Sikap bangga sebagai bangsa besar yang tak mau tergantung pada kekuatan asing itu tetap relevan bahkan hingga saat ini.

Dalam autobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno secara gamblang menjelaskan sikapnya tersebut. Berikut kami kutipkan lengkap pandangn Bung Karno tentang ungkapan itu.

———————–

Sekarang tentang ucapanku terhadap Amerika Serikat, “Persetan dengan bantuanmu” – pertama-tama baiklah kujelaskan tentang istilah “bantuan” ini. Aku sangat bersyukur beberapa waktu lalu Amerika memberikan 600 juta dollar untuk membantuku. Tapi Bantuan Amerika itu TIDAK gratis. Ia bukanlah satu hadiah dari seorang ayah yang kaya kepada anak yang melarat. Ini adalah satu pinjaman dan harus dibayar kembali.

Orang Amerika memberi kesan bahwa mereka berkata kepada kami, “Ini saudara kami yang malang dan melarat… ambilah uang ini…. Ini, karena kami mencintai Indonesia.” Ini ucapan seorang yang munafik. Amerika bersikap toleran pada negara-negara Asia yang terbelakang karena dua alasan.

Pertama, kami merupakan pasar yang bagus. Kami membayar kembali dengan memberi bunga. Dan yang kedua, mereka takut kami menjadi komunis. Ia mencoba membeli kesetiaan kami. Ia membagi-bagi hadiah dan banyak, hanya karena ketakutan. Lalu, kalau kami tidak berbuat sesuai yang ia inginkan, ia mencabut kembali pinjaman yang telah diberikan dan memperingatkan, “Tak ada lagi pinjaman, kecuali jika kelakukanmu berubah!” Manuel Quezon dari Filipina pernah berkata, “Lebih baik pergi ke neraka tanpa Amerika daripada pergi ke sorga bersama dia.”

Amerika tidak memberikan bantuan gratis kepada Indonesia. Sesungguhnya kami ingin berdiri di atas kaki sendiri dan tidak menginginkan bantuan gratis, tapi atas segala apa yang telah dilakukan Amerika kami bersyukur. Mereka menolong memberantas malaria di Jawa dan Bali. Mereka mengirim pemuda-pemudi dari Peace Corp. Mereka mengirim kapal Hope, sesungguhpun dokter-dokternya tidak banyak tahu tentang penyakit di Indonesia. Mereka memberikan bantuan teknik dan sejumlah barang seperti jip, radio, dan perlengkapan polisi. Mereka telah memberikan surplus hasil pertanian yang tidak mereka perlukan lagi. Pada waktu kami membangun Pabrik Semen Gresik, mereka melatih para pegawai sehingga ketika pabrik itu beroperasi, orang-orang Indonesia yang terampil mengisi setiap jabatan. Kami menghargai bantuan ini.

Aku tidak meminta Amerika agar memberi kami uang. Mereka pasti ingat, kami telah mengemis sepanjang hidup kami. Kami tidak akan melakukannya lagi. Tapi ada bantuan yang tidak berwujud uang. Apa yang sebenarnya kuinginkan dari Amerika adalah persahabatan. Baiklah, mungkin ia tidak mengerti perjuangan yang sedang kami jalankan. Mungkin ia tidak menyadari bahwa revolusi kami paralel dengan revolusi mereka. Baiklah, Amerika, jangan bantu aku lagi. Jangan coba-coba merebut hatiku lagi. Tetapi juga, jangan coba menghancurkannya. Jangan membuat aku malu di seluruh dunia. Misalnya, ketika engkau membatalkan apa yang engkau sebut sebagai bantun ini.

Alih-alih melakukannya diam-diam, engkau menyiarkan sebagai berita besar di surat-surat kabar. Tidak bolehkan aku melindungi mukaku di tanah airku sendiri? Amerika, tidak dapatkan engkau melakukannya dengan diam-diam? Mengapa para senatormu melakukannya lewat pidato-pidato di muka umum? Jangan permalukan Sukarno di depan umum seperti seorang anak yang tak berguna, dengan menolak memberinya lagi permen sampai dia menjadi anak yang manis. Menghadapi sikap yang seperti itu bagi Sukarno tidak punya pilihan lain kecuali mengatakan, “Persetan dengan bantuanmu!”

Seandainya Amerika dapat mengerti perasaan kami dan ketidaknyamanan kami, dia akan menyadari bahwa lautan dollar takkan dapat merebut hati kami. Apabila Amerika mendikte kepadaku, “Sukarno, kami akan memberi anda seribu juta dollar, asal Anda mengatakan,  persetan politik luar negeri Anda sekarang,” maka aku akan berkata, “Lebih dulu persetan dengan dollar Anda.” Tetapi apabila Amerika menawarkan pinjaman dengan bunga yang wajar tanpa suatu ikatan, dengan badan gemetar karena penuh rasa terima kasih aku akan mencium tangannya. Cina dan Rusia bahkan tidak pernah menggunakan istilah “bantuan” yang menyesatkan itu.

Beberapa tahun yang lalu aku mengajukan pinjaman ke Amerika Serikat. Bukan hadiah. Aku merasa sebagai seorang keluarga yang lapar sedang menangis tersedu-sedu di muka pintu seorang paman yang kaya. Sementara perundingan berlarut-larut sampai tiga tahun. Waktu itu kami berada dalam kesulitan yang sangat. Cina menawarkan. Negara-negara lain menawarkan. Tapi masih saja aku menunggu. Masih saja aku mengharapkan keluarnya sinar persahabatan dari dewi Columbia, itu perempuan yang menggairahkan yang telah kucoba memikatnya dalam pikiranku semenjak kanak-kanakku. Tapi, uluran tangan yang ditunggu tak pernah datang.

Akhirnya, aku meminta pada Krushchev pinjaman seratus juta. Hari sangat dingin, tetapi dia keluar juga dari Kremlin menuju jalan, untuk memelukku, menyambutku dengan kata-kata yang ramah dan dia sendiri mengiringi aku masuk. Tidak ada perundingan yang lama dan dingin. Orang-orang bidang keuangan dengan hati-hati menentukan bunga untuk pembayaran kembali dan tenggang waktunya. Dua menit kemudian setiap orang mengucapkan, “Da” dan selesailah semua. Mereka juga tidak mendikte tentang bagaimana seharusnya sikap kami di masa mendatang.

Selama dua tahun aku pernah mencoba membeli mobil Ford dengan potongan harga. Aku tidak keberatan dengan mobil yang berumur satu tahun. Mobil yang kuinginkan itu tidak pernah kuperoleh. Tanpa kuminta Moskow mengirimkan sebuah mobil Rusia secara gratis. Mengapa aku tidak boleh bersikap ramah kepadanya? Rusia baik kepadaku. Aku berbuat bodoh bila aku berpaling dari Rusia, karena ia memberi begitu banyak.

Blok komunis memberi hadiah sebuah monument sebagai kenangan atas perjuangan kami. Sebaliknya mereka yang menamakan diri dunia bebas itu tidak memberi apa-apa. Padahal kami adalah bangsa yang berkembang berdasarkan simbol-simbol. Kami menginginkan pemberian seperti itu. Itu akan menunjukkan kami memiliki arti hebat sekali pada Barat pada tingkat emosional. Kami masih menunggu apakah ada negara bara Barat yang menunjukkan sikap yang sungguh baik selain dari keramahan yang bertujuan memaksa kami menempuh jalannya dan bukan “jalan lain”.

Dunia Barat, mengapa kalian tidak bisa menujukkan simpati kalian kepada kami? Menunjukkan bahwa kalia sedikit menyukai kami? Kenapa kalian menendang tulang-kering kami dan bukan menepuk bahu kami…sekali saja?!

Kepada mendia Eric Johnson, pemimpin perusahaan film Amerika, pernah kutanyakan mengenai sebuah film dari United Artist yang berjudul Broken Arrow, kisah percintaan seorang gadis India dengan perwira Amerika. “Kenapa gadis Indian itu harus mati di akhir cerita? Kenapa mereka tidak menjadikan sepasang merpati yang berbahagia? Apakah Anda tidak mengira bahwa kami tersinggung oleh kelicikan di layar putih yang terlalu jelas itu? Perbedaan warna kulit yang Anda anut membangkitkan rasa jijik orang Asia! Sampai-sampai di dalam film Anda memperlihatkan kerendahan dari bangsa kulit berwarna.”

Jawab Johnson, “Bisnis film adalah bisnis untuk mencari uang. Orang-orang yang berasal dari bagian selatan akan memboikot film ini, bila orang kulit putih dan gadis kulit coklat akhirnya hidup bahagia di masyarakat.”

Film seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan solidaritas antar bangsa di dunia, bukan untuk menghancurkannya. Inilah cara yang murah untuk menunjukkan keramahan kepada kami. Tanpa dollar. Sekadar membuat film yang menunjukkan Amerika menyukai kami. Ternyata di dunia khayalan pun, Amerika membuat kami terpecah-belah.

Secara pribadi, aku menyukai Amerika dan para pembuat undang-undangnya. Aku bertemu dengan senator Rayburn di kantornya dan aku senang padanya. Begitu pula Fullbright, yang kutahu adalah orang yang baik. Aku ingin mereka menyukaiku, tetapi Sukarno sebagai tokoh politik berbeda dengan Sukarno sebagai seorang manusia. Pernah di Flores, seekor kalajengkin merangkak ke arahku. Aku tidak berusaha membunuhnya. Sebaliknya aku berdoa, “Ya Tuhan, jangan biarkan hewan yang merupakan pencerminan yang sempurna dari ciptaan-Mu, menggigitku.”

Tetapi dalam politik aku tidak bisa mengusir musuh dengan doa seperti itu. Ketika aku tahu bahwaa Amerika dan Inggris bermaksud menjatuhkanku, aku harus berbuat yang terbaik bagi diriku dan negeriku. Dan ketika Washington mengibas-ibaskan dompetnya padaku dan mencibirku bahwa aku menentangnya karena bersahabat dengan Cina, aku tidak punya pilihan lain kecuali berteriak kembali, “Apakah aku tidak cukup dewasa untuk memilih kawanku sendiri tanpa mengikuti kemauanmu? Cina dan Indonesia telah menjadi tetangga yang baik selama beradab-abad. Jangan coba-coba melakukan campur tangan dalam hidup orang lain!”

Sikap Amerika selalu dikaitkan dengan langkah yang harus diambilnya terhadap Belanda, Inggri dan kekuatan imperialis lainnya. Ia tak ubahnya seperti pemain sirkus yang meniti di atas tali, selalu mencari keseimbangan.  Negara-negara yang baru merdeka tidak mampu menangkap semangat anti-penjajahan yang pernah di simbolkan oleh bendera Amerika, Star and Stripes. Sinarnya makin lama makin kabu. Seandainya aku berada dalam posisi Amerika Serikat, aku akan berkata, “Dunia, lihatlah kemari, sebagai anak-anak dari Washington dan Lincoln kami tidak bisa mendukung kolonialisme dalam segala bentuknya.”

Cukup dengan pernyataan yang singkat dan lembut, kami akan merasa bahagia. Adalah kebijakan Amarika, bukan kebijakan kami, yang dari tahun ke tahun mendorong Indonesia dan Negara-negara Asia-Afrika pergi ke arah lain.

Apakah Amerika pernah berpikir, mengapa rakyat Asia-Afrika marah kepadanya? Lihat Zanzibar. Zanzibar membenci Amerika. Apakah hak Amerika untuk campur tangan di sana? Zanzibar bukan wilayahnya. Lihat juga Kamboja.  Sihanouk meludah kalau dia menyebut Amerika. Seratus ribu rakyat Kamboja berkumpul kalau Pangeran Norodom Sihanouk berpidato, jadi dia memiliki pengaruh terhadap rakyatnya. Amerika Serikta tidak bisa menganggap rendah seorang pemimpin hanya karena dia orang Asia. Dan apa yang menjadi sebab orang kecil ini tak mau percaya pada Amerika? Tidakkan karena rakyatnya merasa dihantam oleh intevensi dan subversi CIA?

Kenapa Amerika tidak berhenti memaki-maki dunia dan sebaliknya melakukan intropeksi terhadap politiknya sendiri serta memikirkan kenapa 61 negara yang meliputi dua ribu juta manusia coklat, hitam dan kuning, mengutuknya? Orang kulit putih yang merasa superior seharusnya tidak lagi menganggap rendah kami. Negara-negara Asia dan Afrika yang berpolitik bebas adalah kekuatan masa depan. Secara sendiri-sendiri kami bukan kekuatan besar, tapi dengan bersatu kami menjadi kekuatan yang sangat kuat.

Negara-negara Asia-Afrika memandang pada Indonesia. Banyak yang mengadopsi filsafat Pancasila kami. Mereka menghargai pendirian kami yang kukuh. Kami telah mengubah hati kami yang lembek dengan semangat banteng yang terluka dan mereka melihat kami tidak gentar kepad apapun juga. Ketika aku menentang Washington, Zanzibar datang kepadaku. Guinea datang kepadaku. Pemimpin mereka menyatakan, “Selalu kami kuatir tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan Amerika. Tetapi Anda telah membuka mata kami. Rasa percaya diri kami telah kembali. Anda telah membuat kami merasa jantang lagi. Kami sekarang akan bangkit untuk mempertahankan hak kami.”

Hubungan internasional adalah hubungan kemanusiaan. Aku menyadari bahwa Amerika dan Indonesia telah berada dalam satu suasana aksi, reaksi dan kontra aksi, dan bahwa emosi dan ketegangan telah menjerumuskan hubungan itu buruk selamanya.Aku harus jujur. Seandainya ada pertanyaan, siapa yang memulai caci maki antara Sukarno dan Washington, aku harus mengakui bahwa Sukarnolah yang memulai. Tapi ingatlah, Sukarno adalah tukang teriak. Ia mudah tersinggung. Kalau dia marah, dia berteriak menggeledek. Tapi dia melakukannya kepada orang-orang yang dicintainya. Aku ingin sekali memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Aku pernah menjali percintaan dengan seorang gadis yang telah melukai perasaanku. Bagiku tidak ada yang aneh dalam hal ini. Dan situasinya menunjukkan kemiripan dalam pikiranku.

Kalau bukan karena Sukarno, Indonesia mungkin sudah lama memutuskan hubungan diplomatiknya dan merapatkan barisan melawan Amerika Serikat. Rakyatku terpaksa menahan marahnya karena Sukarno menerima orang Amerika dengan hangat, karena dia memiliki kawan-kawan pribadi yang akrab orang Amerika dank arena dia masih suka berkunjung ke negeri itu.

(TGU)