Sukarno dan Lahirnya Sinema Indonesia

Buku Sinema pada Masa Soekarno/dkj.or.id

Koran Sulindo – Buku tentang sejarah sinema Indonesia sejak awal hingga jatuhnya kekuasaan Presiden Sukarno ini ditulis seolah novel.

Sulawesi Selatan circa 1960-an dalam era pemberontakan Kahar Muzakkar. Tanete Pong Masak masih berusia sekitar 7 tahun saat pertamakali menonton film. “Film Si Pincang, diputarnya di kuburan. Saya terkejut sekali. Film itu seperti ini,” kata Tanete dalam bedah buku yang ditulis berdasar disertasinya, “Sinema Pada Masa Soekarno”, di Kineforum TIM, Jakarta, pertengahan bulan lalu.

Film itu dibawa ABRI yang didatangkan dari Jawa untuk meredam pemberontakan itu. “Saya sangat terpesona. Saya lalu berjanji akan menulis film Indonesia, menelitinya. Itulah hidup saya,” katanya.

Namun baru pada 1980-an pengajar di Universitas Atmajaya Jakarta itu mendapatkan jalan menetapi janjinya. Tahun itu ia menuntut ilmu di Perancis. Penelitiannya baru rampung sekitar 13 tahun kemudian, melalui proses yang sulit karena terbatasnya data sinema Indonesia.

Selain bedah buku juga diputar film-film Indonesia yang dibuat pada masa kepemimpinan Sukarno, antara lain Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950), Enam Djam di Djogdja (Usmar Ismail, 1951), Embun (D. Djajakusuma, 1951), Lewat Djam Malam (Usmar Ismail, 1954), Pedjuang (Usmar Ismail, 1960), dan Pagar Kawat Berduri (Asrul Sani, 1961).

Buku ke-39 FFTV-IKJ Press setebal 467 halaman ini membicarakan semua film yang pernah dibuat orang Indonesia sejak film pertama hingga film terakhir pada masa kekuasaan Presiden Sukarno pada 1967. Ditulis berdasar riset yang mendalam, dengan data yang melimpah dan lengkap yang masih ada di Indonesia, Perancis, dan Belanda, dan dengan gaya penulisan yang ringan.

Disertasi dalam bidang sejarah sosial dan sinema ini dibawah bimbingan Denys Lombard, Indonesianis utama di Perancis, dan dipertahankan di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales/ Universitas Paris 7).

“Saya seperti membaca novel. Lancar dan mudah. Buku ini lengkap, semua ada,” kata budayawan Seno Gumira Adjidarma, dalam acara itu.

Menurut Seno, jika buku pendiri Sinematek Misbach Yusa Biran ( Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa; 2009) memberi tulang pada riwayat sinema Indonesia, maka buku Tanete ini adalah dagingnya.

Menurut buku ini, film fiksi pertama yang diadopsi di Indonesia dibuat oleh G. Kruger dan Heuveldorp dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1927. Dalam rentang 1900-1949, ranah perfilman Indonesia didominasi oleh orang Barat, Tionghoa, kemudian Jepang. Baru setelah kemerdekaan muncul tokoh-tokoh perfilman Indonesia, seperti Titin Sumarni, Bambang Hermanto, dan Bambang Irawan.

Film-film yang diproduksi seniman-seniman Lekra tak bisa lagi dinikmati, mungkin  karena dimusnahkan saat pergantian ke rezim Soeharto pada 1967. Tanete mengaku di Eropa pun dia tak mampu menemukan film-film produksi Lekra itu.

Selain tentang sinema Indonesia, buku ini tentu saja juga membahas Bung Karno, seorang maniak film yang sudah menonton film-film Holywood sejak usia 7 tahun.

Dalam autobiografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams, (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1965), ditulis Sukarno kecil yang sinefil film Amerika itu menggemari film-film Mary Pickford, Tom Mix, Eddy Polo, Fatty arbuckle, Beverly Baine, dan Francis X, Bushman.

Setiap bungkus rokok Westminster keluaran Inggris, yang berisi gambar seorang bintang sebagai hadiah, telaten dikumpulkannya.

“Aku mengumpulkan bungkus-bungkus rokok yang sudah terbuang dan menempelkan pahlawan-pahlawan yang kupuja itu di dinding,” kata Sukarno, “Aku menjaga kumpulan ini dengan nyawaku. Ini adalah harta milikku sendiri yang pertama.”

Menurut Tanete, sebagai seorang pengagum bintang Hollywood, Sukarno kecil  menyisihkan uangnya untuk menonton film walaupun membeli tiket termurah. “Sukarno duduk di belakang layar, sehingga harus membaca teks secara terbalik. Dia menyebut dirinya pencinta berat film Amerika.

Sebagai Presiden Indonesia, saat mengadakan kunjungan resmi yang pertama ke Amerika Serikat, Sukarno secara khusus datang ke Hollywood. Dalam pidatonya, Sukarno memuji para pemimpin Hollywood, dan menyebut mereka sebagai orang radikal dan revolusioner yang telah mempercepat perkembangan politik di Timur.

Presiden Sukarno sendiri, kata Tanete, pernah mengkritik  sinema Indonesia tidak menarik. Tanete, yang menonton ratusan film untuk kepentingan disertasinya ini, menilai memang banyak film saat itu yang dibuat asal jadi. Dengan kualitas gambar, suara, serta skenarionya yang sangat buruk. Akibatnya, film-film nasional saat itu lebih banyak diputar di bioskop-bioskop kelas C dan D.

Sutradara Misbach Yusa Biran menulis dalam biografinya bahwa selesai Kongres I Persatuan Artis Film Indonesia pada 1956, sejumlah aktor, aktris, dan sutradara melakukan unjuk rasa di Dewan Perwakilan Rakyat dan membacakan rekomendasi di depan Presiden Sukarno. Reaksi Bung Karno: “Film Indonesia tidak laku karena mutunya rendah dan tidak berbudaya.”

Misbach lupa bahwa pada 1950 Bung Karno sudah mengumpulkan insan film Indonesia yang terbaik saat itu, dan menyeru membuat film bermutu. Usmar Ismail kala itu membuat Darah dan Doa, yang hari pertama pengambilan gambarnya kini ditahbiskan sebagai hari Film Nasional. Film itu diakui sebagai sinema pertama murni produksi orang Indonesia. Dan mungkin satu satunya film di dunia yang premier-nya dilakukan di Istana Negara. [Didit Sidarta]