Suara tongkat di hari keempat (AI/Sulindo)

Keluarga Wirawan baru saja pindah ke rumah baru mereka di pinggiran kota. Rumah itu besar, dengan halaman yang luas dan dikelilingi pohon-pohon tinggi. Sebenarnya, ini bukan pertama kali mereka pindah rumah; ini adalah kali ketiga.

Namun, mereka tidak pernah pindah ke luar kota, hanya berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Ayah, Ibu, Naya, dan Hengki sangat antusias menyambut kehidupan baru mereka di lingkungan yang terlihat begitu tenang. Kebetulan, Naya dan Hengki sedang libur sekolah. Mereka berharap bisa memulai babak baru yang lebih cerah setelah beberapa tahun tinggal di rumah lama. Rumah ini dipilih karena lokasinya yang dekat dengan sekolah Naya dan Hengki, sehingga mereka tidak perlu pindah sekolah seperti sebelumnya.

Namun, Naya, yang memiliki kemampuan merasakan hal-hal yang tidak kasat mata, merasa ada sesuatu yang janggal dengan rumah ini. Sejak pindah ke rumah baru, ia kerap merasakan kehadiran makhluk tak terlihat. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal mistis setiap kali berpindah rumah.

Begitu tiba, ia langsung merasakan aura yang berbeda di setiap sudut, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Meski begitu, Naya tidak terlalu mempedulikannya. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Yang membuatnya bersyukur adalah bahwa kemampuannya hanya sebatas mendengar dan merasakan, belum pernah melihat sosok makhluk gaib secara langsung.

Setelah seharian mengatur barang-barang dan beristirahat, mereka memutuskan berkeliling di sekitar rumah, menikmati udara sore yang sejuk. Setelah itu, mereka kembali ke rumah dan bersiap tidur. Rumah yang luas itu begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang menyusup ke dalam ruangan.

Malam pun tiba. Naya, yang merasa lelah, tertidur di kamarnya. Namun, beberapa jam kemudian, ia terbangun oleh suara ketukan tongkat yang pelan dan berat di ruang tengah. Suara itu terdengar seperti seseorang yang berjalan dengan tongkat, berulang-ulang. Naya mengernyitkan dahi dan menoleh ke arah pintu kamarnya.

“Pasti hanya perasaanku saja,” pikirnya. Ia menarik selimut lebih tinggi dan mencoba kembali tidur.

Malam berikutnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih dekat. Selain suara tongkat yang bergerak, terdengar pula suara lembut seorang wanita yang meminta tolong, namun hanya samar-samar.

“Tolong… tolong saya…”

Suara itu datang dari ruang tengah. Naya terbangun dengan cepat. Kali ini, ia merasa benar-benar terganggu. Ia duduk di ranjang, matanya mencari sumber suara. Namun, ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar, tidak ada apa-apa. Ruangan itu gelap, hanya ada kursi dan meja yang sunyi. Tidak ada orang. Bahkan, tongkat yang tadi terdengar pun tidak ada.

“Pasti hanya halusinasi,” pikirnya, meski suara itu masih terngiang di telinganya. Ia kembali ke kamarnya, berusaha tidur meskipun ketakutan mulai menghinggapinya.

Malam ketiga datang dengan gangguan yang sama. Suara tongkat terdengar pada jam yang sama—sekitar pukul satu dini hari. Kali ini, Naya tak bisa menahan diri. Ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah dengan hati-hati menuju kamar orang tuanya. Ia mengetuk pintu dan membangunkan mereka.

“Ibu, Ayah, ada suara tongkat lagi,” kata Naya dengan suara gemetar. “Tiga malam berturut-turut… aku nggak bisa tidur tenang.”

Ibu hanya menggelengkan kepala, merasa sudah terlalu sering mendengar keluhan Naya.

“Sudah, Naya. Tidur lagi, itu cuma perasaanmu saja. Jangan terlalu dipikirkan.”

Naya pun kembali ke kamarnya, merasa tak ada yang mengerti apa yang ia alami.

Malam keempat tiba, dan anehnya, suara tongkat itu tidak terdengar lagi. Naya mulai merasa lega, berpikir bahwa semua hanyalah halusinasi. Namun, ketegangan yang sudah mengendap membuatnya memutuskan untuk tidur di kamar adiknya, Hengki, yang bersebelahan dengan kamarnya. Tanpa alasan yang jelas, ia ingin berada dekat dengan Hengki yang masih berumur 10 tahun, sementara Naya sendiri berusia 17 tahun.

Saat ia memasuki kamar Hengki, jantungnya serasa berhenti. Di lantai, tergeletak sebuah kepala anak kecil yang terpisah dari tubuhnya. Naya terkejut, mulutnya terbuka lebar, dan tanpa sadar ia menjerit keras. Sesuatu yang paling ia takutkan akhirnya terjadi—ia kini bisa melihat, bukan hanya mendengar atau merasakan. Seketika kepalanya berputar, tubuhnya lemas, dan ia jatuh pingsan.

Hengki ikut berteriak, membuat Ayah dan Ibu bergegas menghampiri mereka. Ayah segera mengangkat Naya dan membawanya kembali ke kamar. Setelah beberapa saat, Naya akhirnya sadar. Dengan tubuh gemetar, ia menceritakan semua yang ia lihat.

“Ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah ini,” katanya dengan suara lemah.

Gangguan tidak berhenti sampai di situ. Hilangnya suara tongkat di malam keempat bukanlah akhir, melainkan permulaan dari ketakutan yang lebih besar. Malam berikutnya, saat Naya mencoba ke kamar mandi belakang rumah dekat dapur, ia melihat sosok wanita berkelebat di cermin. Perasaan takutnya semakin menjadi-jadi. Ia pun menceritakan semuanya kepada Ayah dan Ibu, mengatakan bahwa ia tidak tahan lagi tinggal di rumah itu.

Akhirnya, mereka memutuskan meminta bantuan. Meskipun mereka beragama Kristen, Ayah dan Ibu memilih pergi ke pesantren di Jawa Barat untuk bertemu seorang ustadz. Sesampainya di sana, Naya diminta menjelaskan pengalamannya. Ustadz tersebut memberikan dua botol air mawar yang telah didoakan dan meminta mereka menyebarkannya di tempat-tempat yang dianggap menjadi pusat gangguan.

Namun, gangguan tidak berhenti. Saat Naya mandi setelah perjalanan jauh dari pesantren itu, ia menemukan gumpalan daging menyerupai isi perut ikan di saluran pembuangan air. Rasa muaknya atas kejanggalan yang di alaminya bercampur dengan kemarahan. Ia menuntut keluarganya untuk meninggalkan rumah ini. Namun, Ayah dan Ibu justru memintanya bersabar dan mencoba berdamai dengan situasi tersebut.

Di hari ketujuh, pagi-pagi saat sarapan, suasana meja makan terasa tegang. Naya duduk dengan ekspresi campur aduk, kesal, marah, takut, semua bercampur menjadi satu. Baru satu suap nasi masuk ke mulutnya, tiba-tiba ibunya berbicara dengan nada lirih, seolah mengungkapkan sesuatu yang telah lama dipendam.

“Maaf, Naya, atas kegaduhan ini,” ucap Ibu, suaranya terdengar memelas.

Naya spontan menghentikan kunyahannya. Ia menatap ibunya dengan dahi berkerut, merasa ada sesuatu yang disembunyikan selama ini. Lebih mengejutkan lagi, Ayah tetap diam, seolah sudah mengetahui segalanya sejak awal. Perasaan tidak enak mulai menjalar di tubuh Naya.

“Maaf untuk apa?” tanyanya dengan nada ketus.

Ibu menghela napas, lalu menatap Naya dengan raut bersalah.

“Sebenarnya, rumah ini dulunya adalah sebuah klinik anak autis. Konon, ada seorang anak autis yang dibunuh dan dikubur di sini, tepat di bawah lantai rumah ini. Sebelum itu, rumah ini milik seorang kakek tua yang tinggal sendirian. Kakek itu meninggal setelah terjatuh di ruang tengah, saat berjalan menuju kamar mandi. Suara tongkat yang kamu dengar setiap malam itu… adalah suara kakek itu, Naya”

Darah Naya serasa membeku. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri, seolah hawa dingin menyusup ke dalam tubuhnya.

“Dari mana Ibu tahu semua ini?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Dari pemilik rumah yang menyewakan rumah ini, awalnya ibu kira kamu akan terbiasa dengan hal mistis karena kamu sering mengalaminya” Lanjut ibu sambil menatap Naya dengan tatapan rasa bersalah.

“Lalu… sosok wanita yang aku lihat itu… Ibu juga tahu?” Ibu terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk pelan.

“Suara wanita yang memanggil-manggil minta tolong… yang menunjukkan wujudnya padamu…” Ibu berhenti sejenak, menatap Naya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Dia adalah pembantu nenekmu yang sudah meninggal. Dia tertabrak mobil saat perjalanan pulang dari pasar.”

Naya membelalakkan mata. Jantungnya berdegup lebih kencang.

“Kenapa dia ada di sini, Bu? Bukankah dia bekerja untuk Nenek?” Ibu menatap piringnya sendiri, seperti enggan mengungkapkan lebih banyak.

“Dulu, Ibu sering memberi pakaian dan makanan untuknya. Dia juga sering memasak untuk Ibu. Entah kenapa, dia selalu mengikuti Ibu ke mana pun pindah… mungkin masih merasa ingin membantu. Ibu tidak pernah bercerita karena takut membuatmu dan Hengki ketakutan.” Hening.

Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di antara mereka. Naya dan Hengki saling bertukar pandang. Hengki, yang selama ini tidak banyak bicara, tampak semakin terdiam. Naya sendiri merasa dikhianati, merasa ibunya telah menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya.

“Jadi… suara-suara yang selalu aku dengar di rumah-rumah sebelumnya…” Naya menggigit bibirnya, berusaha mengendalikan perasaan takut yang mulai menjalari tubuhnya.

“Itu juga suara dia?” Ibu mengangguk pelan.

“Dia yang merawatmu saat kamu masih bayi namun meninggal saat kamu berumur 3 tahun.” Naya menggenggam sendoknya erat-erat. Kepalanya terasa berat, pikirannya kacau. Selama ini, ia berusaha menormalkan apa yang ia alami, menganggap semua yang ia dengar hanyalah bagian dari hidupnya. Namun, kenyataan yang terungkap hari ini membuatnya merasa semakin terjebak dalam dunia yang tidak bisa ia mengerti.

“Lalu kenapa dia meminta tolong padaku, Bu?” tanya Naya akhirnya, suaranya hampir berbisik.

Ibu menggeleng pelan. “Ibu tidak tahu, Naya… Jasadnya sudah dimakamkan di kampung halamannya. Tapi entah mengapa, arwahnya masih mengikuti Ibu… masih ada di sekitar kita.”

Naya merasa sesak. Makanan di hadapannya kini terasa hambar. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. Sementara itu, Hengki tetap diam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Akhirnya, keluarga Wirawan memutuskan untuk mencoba berdamai dengan kenyataan ini. Mereka tidak mencoba mengusir atau melawan arwah-arwah yang ada. Namun, kedamaian itu hanya berlangsung sesaat. Hingga kini, keluarga Wirawan konon masih terus berpindah-pindah rumah, seolah terus dibayangi oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Hidup harus terus berlanjut..
[UN]