Suap PLTU Riau: Salah Satu Orang Terkaya Indonesia itu Dihukum 2 Tahun 8 Bulan Penjara

Johannes Kotjo/liputan6.com

Koran Sulindo – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman penjara selama 2 tahun 8 bulan penjara Johannes B. Kotjo. Pemilik perusahaan Blackgold Natural Resources Ltd itu juga dihukum membayar denda sebesar Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan.

“Johanes Budisutrisno Kotjo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama,” kata hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kemayoran Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018), seperti dikutip pantau.com.

Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa pada persidangan 21 November lalu yang meminta Kotjo dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa menyatakan akan pikir-pikir selama 7 hari.

Dalam persidangan hari ini, majelis hakim menilai pengusaha berusia 67 tahun itu terbukti secara sah dan meyakinkan memberikan suap sebesar Rp 4,75 miliar kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih. Uang itu diberikan agar Eni membantu Blackgold mendapatkan proyek pembangunan PLTU Riau-1.

Hakim mengatakan perbuatan Kotjo telah menambah daftar panjang anggota DPR yang terlibat masalah pidana.

Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Johannes Kotjo merupakan satu dari tiga tersangka dalam perkara suap proyek PLTU Riau-1 ini. Tersangka lainnya adalah mantan wakil ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih, dan; mantan sekjen Partai Golkar, Idrus Marham.

Bertahap

Uang suap itu diberikan Kotjo kepada Eni secara bertahap. Pada 18 Desember 2017, dia memberikan uang senilai Rp2 milar. Kemudian, pada 14 Maret 2018, Kotjo kembali memberikan uang kepada Eni sebesar Rp 2 miliar. Kotjo kembali memberikan uang sebanyak Rp 250 juta pada 3 Juli 2018. Selanjutnya, Kotjo memberikan  Rp10 milar kepada Eni untuk keperluan suaminya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tumenggung.

Pada 13 Juli 2018, Kotjo kembali memberikan uang jepada Eni senilai Rp 500 juta. Pada hari itulah, KPK mengamankan Eni di rumah dinas Idrus Marham—yang ketika itu menjabat menteri sosial—di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan.

Dari pertimbangan jaksa penuntut umum, pada sidang 21 November 2018 lalu, uang yang diminta Eni sebanyak Rp 2 miliar diperuntukan munaslub Golkar.

Majelis hakim mengabulkan permohonan penasihat hukum Johannes Budisutrisno Kotjo yang meminta pembukaan blokir empat rekening Kotjo. Keputusan itu disampaikan majelis hakim sebelum membacakan vonis perkara Kotjo, memberi suap Rp 4,750 miliar kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham terkait proyek PLTU Riau-1.

Majelis hakim juga mengabulkan permohonan Kotjo untuk membuka sejumlah rekening yang diblokir KPK.

“Mengabulkan permohonan penasihat hukum terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo berkaitan dengan pencabutan pemblokiran di dalam rekening-rekening terdakwa. Memerintahkan penuntut umum KPK untuk mengajukan permohonan kepada Bank BCA agar bank tersebut mencabut pemblokiran terhadap rekening BCA tersebut,” kata hakim Lukas.

Menurut majelis hakim, sebanyak 4 rekening yang diblokir oleh bank atas permintaan KPK tidak memiliki kaitan dengan kasus suap. Sesuai ketentuan, permohonan pembukaan blokir harus diajukan oleh KPK kepada pihak bank.

Latar Belakang

Kotjo mengetahui adanya proyek itu sekitar tahun 2015. Melalui PT Samantaka, anak perusahaan BNR, ia mengirimkan surat ke PT PLN Persero atas keinginannya ikut serta mengerjakan proyek tersebut. Namun surat itu tak kunjung mendapat respon.

Ia kemudian mengambil jalan pintas dengan menemui Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dan menceritakan permasalahannya. Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih yang menjabat di Komisi VII DPR mendampingi Kotjo memfasilitasi pertemuan dengan Sofyan Basir, Direktur PT PLN Persero.

Setelah beberapa pertemuan antara Kotjo, Sofyan Basir, Eni disepakati perusahaan Kotjo ikut serta menggarap proyek PLTU Riau 1 bersamaan dengan anak perusahaan PLN Persero Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI).

Kotjo kemudian menggaet perusahaan asal China, CHEC Ltd (Huading) sebagai investornya. Dalam kesepakatan Kotjo dan Chec menyatakan Kotjo akan mendapat komitmen fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta. Adapun nilai proyek itu sendiri sebesar USD 900 juta.

Dari komitmen fee yang ia terima, rencananya akan diteruskan lagi kepada sejumlah pihak di antaranya kepada Setya Novanto USD 6 juta, Andreas Rinaldi USD 6 juta, Rickard Phillip Cecile, selaku CEO PT BNR, USD 3.125.000, Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara USD 1 juta, Intekhab Khan selaku Chairman BNR, USD 1 juta untuk James Rijanto, Direktur PT Samantaka Batubara, USD 1 juta.

Sementara Eni Saragih masuk ke dalam pihak-pihak lain yang akan mendapat komitmen fee dari Kotjo. Pihak-pihak lain disebutkan mendapat 3,5 persen atau sekitar USD 875 ribu.

Siapa Kotjo?

Siapakah Johannes Budisutrisno Kotjo?

Menurut keterangan KPK, Johannes merupakan salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.

Pada tahun 2016, Johannes masuk dalam daftar 150 orang terkaya versi majalah Globe Asia. Johannes berada para urutan ke 117. Seperti dikutip dari TheFreeLibrary.com, Johannes merupakan pemilik perusahaan tekstil APAC Group.

Pada era 1990-an, Johannes menjadi relasi bisnis Bambang Trihatmojo, anak dari Presiden kedua RI Soeharto.

Tercatat pada April 2007 APAC Group berpartisipasi dalam program restrukturisasi yang dicanangkan oleh pemerintah. APAC Group terdiri dari 20 perusahaan. Selain industri tekstil dan garmen, APAC juga beroperasi di area bisnis lainnya antara lain, investasi, pembangkit listrik, perdagangan umum dan real estate.

Sementara itu, dikutip dari Litbang Kompas, pria kelahiran Semarang 10 Juni 1951 itu pernah ditetapkan Kejaksaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan Mark-Up pengambilalihan dan penyelesaian utang (restrukturisasi) Kanindotex Grup, pada 2001. Ia dinilai tidak melaksanakan syarat resrukturisasi.

Pada kasus Kanindotex di atas, ia berusaha menyeret keluarga William Soeryadjaya satu persatu ke pengadilan di Indonesia.

Seperti dikutip gatra.com, padahal di Singapura dia kalah berperkara dengan Edwin Soeryadjaya. Ia dituntut oleh Edwin– salah satu anak William Soeryadjaya yang kini duduk sebagai komisaris di Astra Internasional– untuk membayar sejumlah uang setelah ditagih selama kurang lebih setahun. Tapi Kotjo menggugat balik Edwin dan perusahaannya pada Pengadilan Tinggi Singapura.

Hakim Judith Prakash menolak gugatan balik tersebut bahkan menghukum Kotjo untuk melunasi tagihan dari Edwin. Kotjo harus membayar kepada Edwin Sin.$ 0.20 (duapuluh sen dolar Singapura) kali 38 juta lembar saham atau total US$ 7,6 juta. Uang itu adalah kelebihan uang pembayaran saham yang sudah dikeluarkan oleh Edwin.

Di dalam pertimbangannya, hakim Judith Prakash, mencela sikap Kotjo di pengadilan Singapura sering tidak konsisten. Jawaban-jawabannya sangat tidak logis dan sangat lemah serta menyembunyikan fakta penting di dalam pernyataan sumpahnya.

Interupsinya yang berulang kali di pengadilan menjadi semacam peringatan diri-sendiri untuk memperoleh kepercayaan dari hakim terhadap gugatan baliknya tersebut.

Gagal berperkara dengan Edwin di Pengadilan Singapura, Kotjo berusaha menyeret kakak Edwin, yakni Edward Soeryadjaya, di Pengadilan Negeri Jakarta.

Terdapat 3 kasus gugatan Kotjo dengan keluarga Soeryadjaja.

Pertama, Kotjo melalui PT Jakarta Depot Satelit yang dimilikinya menggugat PT VDH Teguh Sakti -bekas salah satu perusahaan milik Kotjo yang kini berada dalam penguasaan dan kepemilikan Edward. Kotjo menuntut ganti rugi dalam pembangunan salah satu proyek vital Pertamina yang tertunda, yaitu proyek Jakarta Depot Satelit. Kotjo tidak puas karena upayanya untuk menyita saham-saham milik VDH Teguh Sakti pada PT Van der Horst Indonesia gagal.

Pada kasus kedua, Kotjo mencoba mempengaruhi Bank Victoria International Tbk. (Bank Victoria) untuk mengklaim pencairan deposito dan rekening milik PT Van der Horst Indonesia Tbk (VDHI) pada Bank Victoria. Bank Victoria pun akhirnya mengajukan permohonan sekestrasi (penitipan sementara) deposito milik VDHI pada PN Jakarta Pusat. Kotjo sekali lagi tersandung, dan gagal karena pada akhirnya Bank Victoria mencabut permohonan sekestrasi tersebut dan mencairkan dana milik VDHI.

Dalam perkara ini, salah seorang direksi Bank Victoria, yakni Didit Widjayanto ditahan polisi dan sempat mendekan beberapa hari di dalam tahanan Polda Metro Jaya.

Tidak jera setelah dua kali tersandung anaknya, kini Kotjo berusaha menyeret kepala keluarga yakni William Soeryadjaya ke Pengadilan Negeri Surabaya. Selaku Komisaris Utama PT Bhuwanatala Indah Permai Lokakencana (PT BIP Lokakencana), Kotjo menggugat William Soeryadjaya, bos PT Darmo Satelit Town ke PN Surabaya berkaitan dengan jual-beli tanah 7,7 ha di Jl. Mayjen Sungkono Surabaya seharga Rp 90 miliar. Padahal, menurut Kotjo, harga tanah tersebut Rp 119 miliar.

Kotjo hanya memiliki saham 36 persen PT BIP Lokakencana, sedangkan keluarga William Soeryadjaya memiliki saham 64 persen. Penjualan tanah kepada Wenas Panwel itu seharusnya, menurut Kotjo dilakukan, namun ini tidak dilakukan. [DAS]