Sebuah studi terbaru menunjukkan peningkatan jumlah mikroplastik pada otak manusia mencapai 50% dalam 8 tahun terakhir.
Melansir dari jurnal ilmiah yang diterbitkan di situs Nature Medicine, tim ilmuwan kesehatan dari Universitas New Mexico menganalisis sampel jaringan hati, ginjal, dan otak dari 20-28 orang yang meninggal pada tahun 2016 dan 2024.
Hasilnya, konsentrasi mikroplastik pada jaringan hati dan ginjal dari tahun 2024 masing-masing sebesar 433 dan 404 mikrogram.
Jumlah mikroplastik yang ditemukan pada jaringan otak jauh lebih tinggi, yaitu 3.345 mikrogram pada sampel tahun 2016 dan 4.917 mikrogram pada sampel tahun 2024.
Sampel otak dari pasien yang meninggal dengan diagnosis demensia mengandung mikroplastik jauh lebih besar dibandingkan jaringan otak normal. Selain itu, semua sampel otak yang digunakan berasal dari frontal cortex, yaitu bagian otak yang berfungsi mengatur kinerja tugas motorik, pemahaman, logika, pemikiran abstrak, dan kreativitas.
Temuan mikroplastik pada jaringan hati, ginjal, dan otak tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ras, etnis, atau penyebab kematian. Waktu kematian, yaitu 2016 dan 2024, merupakan faktor signifikan.
Sebagian besar mikroplastik yang ditemukan tampak seperti pecahan atau serpihan kecil. Jenisnya adalah polietilena (PE), yang banyak digunakan untuk berbagai produk mulai dari bungkus makanan bening dan kantong belanja hingga botol deterjen dan tangki bahan bakar mobil.
Untuk memperluas temuan ini, tim ilmuwan juga menganalisis jaringan otak dari rentang tahun 1997-2013 di beberapa lokasi di Amerika Serikat. Analisis mengungkapkan tingkat mikroplastik yang lebih rendah pada sampel tersebut, yaitu sebesar 1.254 mikrogram.
Penumpukan mikroplastik pada jaringan otak dapat menyumbat pembuluh darah. Hal itu diungkapkan oleh tim ilmuwan dari Akademi Penelitian Ilmu Lingkungan China di Beijing, setelah mereka menganalisis pergerakan mikroplastik di dalam otak tikus secara real time.
Meski penyumbatan akibat mikroplastik dibersihkan dalam waktu satu bulan, dan sebagian besar perilaku kognitif pada tikus kembali normal, para peneliti menyebut adanya kaitan dengan masalah neurologis seperti depresi dan kecemasan, serta meningkatnya risiko stroke dan penyakit kardiovaskular.
Belum diketahui apakah akibat yang sama dapat terjadi pada otak manusia, mengingat terdapat perbedaan signifikan dalam sistem imun dan ukuran pembuluh darah.
Akan tetapi, tikus dan manusia memiliki gen, anatomi, dan fisiologi yang hampir sama. Hasil dari kedua penelitian ini lantas menjadi kekhawatiran yang nyata. [BP]