Catatan Cak AT:
Jika Anda pernah merasa hidup ini seperti sebuah novel distopia, jangan salahkan imajinasi Anda. Ketika di artikel kemarin saya menyebut istilah “Pemilu Angsa Hitam”, itu mengacu pada dunia politik Amerika, khususnya Pilpres 2024, yang telah menjelma menjadi pertunjukan absurd seolah karya penulis novel ilmiah kelewat kreatif.
Ya, Black Swan Election (Pemilu Angsa Hitam), istilah yang digunakan tim kampanye Donald Trump untuk menggambarkan pemilu penuh kejutan, drama, dan keanehan tak terduga. Black Swan Election mengacu pada pemilu yang hasilnya luar biasa mengejutkan, penuh kejadian langka yang sulit diprediksi, tetapi berdampak besar.
Konsep ini terinspirasi dari buku The Black Swan karya Nassim Nicholas Taleb, yang menjelaskan peristiwa-peristiwa langka dengan dampak besar, yang baru terlihat masuk akal setelah terjadi. Pemilu 2024 di AS adalah perwujudan nyata konsep ini, di mana drama politik mengalahkan skenario film thriller.
Mari kita mulai dengan daftar kejadian luar biasa di pemilu ini: dua percobaan pembunuhan terhadap Trump, calon presiden petahana Biden yang mundur di tengah perlombaan, penggantian kandidat dengan Kamala Harris tanpa pemungutan suara, dan calon lain yang menghadapi tumpukan dakwaan kriminal sebesar koleksi perangko.
Lalu, apa hasil akhirnya? Donald Trump menang —lagi. Jika ini adalah episode serial TV, mungkin kita akan mengeluh bahwa alurnya terlalu tidak masuk akal. Tapi inilah kenyataan politik Amerika. Chris LaCivita dan Tony Fabrizio, duo arsitek kampanye Trump, justru baru menyadari situasi dan menyebutkan istilah Black Swan Election seusai pemilu.
Dalam wawancara di Politico, keduanya membandingkan kampanye mereka dengan bercocok tanam. Tanah mereka adalah ketidakpuasan rakyat akibat inflasi tinggi, kekacauan di perbatasan, dan presiden yang tidak populer. Mereka menyemai ketidakpuasan ini dengan strategi sederhana namun efektif.
Sebaliknya, tim Kamala Harris terlihat seperti petani yang kebingungan di ladang, mencoba “semua jenis pupuk” tanpa tahu yang mana yang betul-betul bekerja. Tim Harris merilis 162 iklan dalam seminggu terakhir kampanye —sebuah upaya maraton yang berakhir dengan kebingungan pesan.
Bandingkan dengan Trump, yang hanya menggunakan dua iklan tetapi fokus pada satu narasi kuat: “Saya tahu bagaimana menyelesaikan sesuatu.” Ironisnya, sebagai hasil akhir, Harris kalah. Namun, dia tidak kalah karena kekurangan modal atau perhatian media, tetapi justru karena surplus kebingungan strategi.
Dalam The Black Swan, Nassim menjelaskan bahwa kejadian tak terduga bisa dimanfaatkan jika Anda mampu mengenali tanda-tanda awalnya, menciptakan fleksibilitas, dan memanfaatkan momentum. Dalam konteks pemilu, strategi Black Swan adalah tentang menciptakan peluang dari ketidakpastian dan kekacauan.
Pertama, politisi perlu membaca ketidakpuasan publik sebagai aset politik. Ketidakpuasan adalah ladang subur bagi politikus cerdas. Trump dan timnya memahami bahwa di tengah inflasi tinggi dan krisis imigrasi, warga lebih butuh solusi konkret daripada retorika canggih. Pesan yang fokus dan relevan —”Saya tahu bagaimana menyelesaikan sesuatu”— menjadi benih kemenangan.
Kedua, menurut strategi Black Swan, hindari over-komunikasi yang berlebihan. Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan, sederhana adalah strategi ampuh. Tim Harris membanjiri udara dengan 162 iklan tanpa narasi kohesif, sementara Trump hanya butuh dua iklan yang berbicara langsung kepada kebutuhan rakyat. Less is more.
Ketiga, manfaatkan krisis sebagai katalisator. Setiap krisis adalah peluang tersembunyi. Bagi Trump, dakwaan kriminal menjadi panggung untuk memposisikan dirinya sebagai “korban sistem.” Dia membalikkan krisis menjadi kekuatan, mengemas dirinya sebagai sosok yang melawan kemapanan (establishment).
Keempat, Anda perlu menggunakan hoaks dengan cerdas (dan berhati-hati). Hoaks adalah pedang bermata dua, tetapi di tangan yang terampil, ia bisa menjadi senjata ampuh. Tim Trump menggunakan narasi kontroversial untuk memobilisasi emosi, namun tetap dalam batas yang tidak terlalu menjauhkan simpati publik.
Nassim juga menekankan pentingnya fleksibilitas dalam menghadapi perubahan. Tim Trump tidak hanya merespons krisis, tetapi juga siap mengubah arah sesuai kebutuhan. Sementara itu, tim Harris terlalu terpaku pada strategi awal mereka, sehingga gagal membaca perubahan dinamika politik.
Mengapa strategi ini relevan untuk Indonesia? Karena Pemilu 2024 (dan mungkin 2029) adalah arena yang penuh ketidakpastian. Dengan pemilih muda yang mendominasi, maraknya hoaks di media sosial, dan polarisasi politik yang semakin tajam, strategi Black Swan menjadi alat yang tak ternilai. Lebih dari itu, penghapusan syarat ambang batas 20% sungguh sebuah ketidakpastian.
Di sini, para politisi harus belajar: Fokus pada isu yang relevan, bukan janji yang muluk-muluk; Gunakan narasi sederhana yang menyentuh kebutuhan rakyat; Manfaatkan media sosial untuk menciptakan momentum, tetapi jangan terjebak dalam kebisingan; Bersiaplah menghadapi krisis dengan fleksibilitas, bukan defensif.
Sebagaimana Nassim mengingatkan, kejutan adalah bagian dari kehidupan. Tapi bagi yang cerdas, kejutan bukan ancaman, melainkan peluang emas.
Jadi, untuk para kandidat Pemilu 2029, jangan takut menjadi pemain Black Swan. Tetapi, jika semua orang jadi angsa hitam, siapa yang tersisa untuk mengejutkan?
Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis