Strategi Pemerintah Kembali Menaikkan Harga Sawit

Perkebunan sawit di Indonesia. Foto: Forbil Institute

PENURUNAN harga sawit telah berbulan bulan menjadi keresahan dari para petani terutama petani mandiri. Mereka mengeluhkan anjloknya harga tandan buah segar yang tidak kunjung membaik semenjak bulan April 2022.

Tercatat semenjak April, harga TBS terus mengalami fluktuasi dan penurunan yang signifikan. Harga TBS di Sebakis, Kabupaten Nunukan misalnya pada April yang berkisar Rp 3,2 juta/ton anjlok menjadi Rp 2,7 juta, penurunan harga terus terjadi hingga Idul Fitri 2022. Harga TBS saat itu menyentuh Rp 1,2 juta perton.

Ketua Kelompok Tani Sebakis, Sahir Tamrin mengatakan jika penurunan harga TBS yang terus terjadi telah menyebabkan berbagai masalah. Mulai dari penolakan pembelian dari pabrik pengolahan terdekat hingga tekornya para petani untuk sekedar memanen dan menjual TBS mereka ke pabrik pengolahan lain yang letaknya lebih jauh.
“Dalam 14 hari ini, harga TBS di sini hanya 500 ribu per ton, padahal sebelumnya masih Rp 1,2 juta. Sudah sebulan kami tidak panen karena dampak anjloknya harga TBS sangat terasa” ujar dia.

Sahir juga menyebutkan jika mayoritas petani di Nunukan adalah petani mandiri. Sehingga mereka kesulitan, karena sesuai dengan Permentan Pasal 4 Tahun 2018 yang menyebutkan jika PKS hanya menerima petani plasma dan kemitraan.

“hal ini membuat perusahaan PKS terdekat tidak lagi menerima atau menampung buah dari kami, sedangkan jika menjual ke perusahaan lain maka lokasinya lebih jauh dan ongkosnya juga tidak sesuai dengan harga sawit saat ini” ujar dia.

Menurut Sahir, jika para petani menjual TBSnya ke perusahaan lain, maka mereka harus membayar lagi ongkos kapal LCT sejumlah Rp 600.000 per ton. Selain itu masih ada biaya panen sebesar Rp 200.000 dan ongkos melansir Rp 100.000.

Situasi yang sama terjadi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Petani kepala sawit hanya bisa menjual TBS-nya seharga Rp 800 per kilogram kepada penampung. Padahal, sebelumnya mereka masih bisa menjual TBS dengan harga Rp 1.800 per kilogram.

Akibatnya petani tidak bisa menutup biaya sewaktu panen. Ketika panen, petani harus membayar pemanen, biaya tersebut belum termasuk dalam biaya perawatan rutin yang mesti mereka keluarkan.

Harga di tetangga lebih menggiurkan

Menurut Sahir, pemerintah harus segera menemukan solusi atas anjloknya harga TBS tersebut. Jika pemerintah kabupaten tidak menuruti keinginan kami untuk menemukan solusi, maka tolong ijinkan untuk kami menjual sawit kami ke Malaysia. Di sana harganya masih RM 1360 atau sekitar Rp 5 juta”

Perbedaan harga yang timpang antara Indonesia dan Malaysia membuat petani sawit di sekitar perbatasan seperti di Kalimantan Timur maupun Kalimantan Utara beramai-ramai menjual tandan sawit mereka ke Malaysia.

Seperti terekam dalam sebuah instagram dari @majeliskopi08 pada Sabtu (2/7). Akun tersebut terlihat memposting deretan truk mengangangkut sawit yang sedang berhenti.

“Kita mau bawa buah ke Malaysia, kita bawa hari ini 30 ton, soalnya harga buah di Indonesia seperti kata-kata Indra Kenz ‘Wah murah banget’,”ujar seoarang pria dalam video tersebut.

Larangan ekspor CPO akibat melonjaknya harga minyak goreng memang ditengarai memicu anjloknya harga sawit di Indonesia. Namun setelah larangan ekspor CPO dicabut pemerintah, harga sawit belum juga membaik. Hal ini diakibatkan masih menumpuknya stok CPO membuat pabrik enggan menerima TBS dari petani.

Percepatan dan pelonggaran ekspor untuk dongkrak harga

Menyikapi anjloknya harga sawit, pemerintah melalui Menko bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan kemudian mengambil langkah melalui instruksi kepada kementerian/lembaga yang terkait agar mendukung upaya peningkatan harga minyak sawit mentah atau CPO.

Langkah tersebut menurutnya agar menguntungkan bagi masyarakat, petani dan pengusaha.

Politisi senior Golkar tersebut menyatakan jika pemerintah berencana mendongkrak harga CPO dengan menaikan B30 menjadi B35/B40 di semester kedua. Kenaikan tersebut akan diterapkan secara fleksibel melihat bagaimana pasokan dan perkembangan harga CPO.

Luhut berharap seluruh kementerian, BPDP-KS dan Pertamina untuk segera melakukan kajian terhadap kebijakan tersebut agar dapat membantu menstabilkan harga sawit di pasar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengungkapkan jika rencana uji jalan kendaraan dengan bahan bakar biodiesel campuran sawit 40% akan dimulai Juli dan akan memerlukan waktu hingga lima bulan ke depan.

Di sisi lain, Luhut telah minta Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan untuk mempercepat realisasi ekspor minyak mentah dan bahan baku minyak goreng Indonesia.

Hal tersebut dilakukan selain untuk mendorong kenaikan harga TBS di petani, juga diakibatkan karena tangki-tangki penampungan minyak sawit yang akan kembali penuh dalam waktu dekat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut dalam rapat evaluasi kebijakan pengendalian minyak goreng pada Jumat (1/7).

“Saya minta Kemendag untuk meningkatkan pengali ekspor menjadi tujuh kali ekspor sejak 1 Juli dengan tujuan utama menaikkan harga TBS di petani secara Signifikan” ujar Luhut dalam keterangannya.

Menurut Luhut, Pemerintah saat ini tengah berupaya untuk menemukan keseimbangan antara target hulu maupun hilir dalam pengendalian harga minyak goreng.

“harga minyak goreng telah mencapai Rp 14.000 perliter di Jawa dan Bali, sehingga kebijakan hulu dapat dapat direlaksasi dengan hati-hati untuk mempercepat ekspor dan memperbaiki harga tandan sawit di tingkat petani”kata Luhut.

Pada Juli, alokasi ekspor mencapai 3,41 juta ton dengan program transisi dan percepatan. Hal tesrebut dilakukan untuk memberikan kepastian untuk dunia usaha dalam hal ekspor terutama dengan program transisi yang akan dapat digunakan dalam beberapa bulan ke depan.

Dengan dibukanya ekspor, Kementerian Perdagangan memprediksi harga TBS akan kembali mencapai angka diatas Rp 2.500,- per kilogram. [WID]