Koran Sulindo – Kejaksaan Agung (Kejagung) membuat strategi baru untuk menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Strategi itu antara lain dengan membentuk direktorat baru khusus menangani kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan, gagasan tersebut telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Terlebih, pihaknya telah membahas wacana tersebut secara mendalam.
Prasetyo mengakui, penanganan pelanggaran HAM berat selama ini ditangani Kasubdit eselon tiga. Dengan adanya tambahan khusus direktorat baru, maka diharapkan penanganan pelanggaran HAM lebih fokus dan menyeluruh. Kendati demikian, pihaknya telah menangani kasus-kasus HAM berat selama ini.
Kemauan Politik
Dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Rabu (12/4), sebagian anggota menyoroti penanganan kasus pelanggaran HAM berat yang tak jelas ujungnya. Salah satu anggota Komisi III yang menyoroti kasus pelanggaran HAM berat adalah Masinton Pasaribu.
Ia berharap penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II melalui Pengadilan HAM Adhoc. Akan tetapi, sejak Komnas HAM menyelesaikan penyelidikan atas tragedi itu, Kejagung tampaknya tidak serius menuntaskannya. Bahkan berkas kasus itu bolak-balik antara Kejagung dan Komnas HAM.
Kejagung acap beralasan berkas penyelidikan kasus itu tidak memenuhi syarat. Alasannya kesulitan saksi, dan mendapatkan bukti-bukti. Soal ini Masinton memprotesnya. Apalagi kasus tersebut masih terbilang baru.
“Alasan itu hanya cocok untuk kejahatan pelanggaran HAM berat pada 1965. Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, masih tergolong baru,” kata Masinton di kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (12/4).
Menanggapi pernyataan Masinton itu, Prasetyo mengaku telah berupaya menerobos jalan buntu dengan menggandeng Komnas HAM. Bahkan pertemuan serius telah dilakukan dalam suatu waktu di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat. Tapi, hasil penyelidikan Komnas HAM dipastikan lemah dan tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan melalui proses yudisial.
Soal penjelasan Kejagung ini bukanlah hal baru. Periode sebelumnya, Kejagung juga memberikan alasan serupa. Karena itu, penyelesaian pelanggaran HAM berat bukan lagi pada wilayah hukum, tapi soal kemauan politik dari semua pihak. [KRG]