Ilustrasi gejala klinis Covid-19/merdeka.com

Koran Sulindo – Menjadi pasien Covid-19 akhir tahun lalu akan menjadi pengalaman yang sulit saya lupakan. Bukan saja karena ini baru tetapi ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi Covid-19 ini. Selain virus Covid-19 ini begitu cepat menyebar, ia juga cepat sekali bermutasi sehingga agak menyulitkan para pakar kesehatan mengendalikannya.

Munculnya vaksinasi pada awal tahun ini di berbagai belahan dunia memberi harapan baru bahwa kita manusia bisa melewati pandemi ini dengan baik dan selamat. Berbagai negara berlomba mencari atau menciptakan vaksin bahkan obat untuk bisa mengendalikan wabah Covid-19 ini.

Di Indonesia, wabah Covid-19 terus meningkat. Data terbaru menunjukkan jumlah kasus Covi-19 di Indonesia telah melebih satu juta kasus. Begitu pun dalam hal kasus aktif, Indonesia disebut menjadi negara tertinggi di Asia. Pada saat bersamaan proses vaksin terhadap tenaga kesehatan terus berlanjut. Data terbaru menunjukkan jumlah orang yang divaksin lebih dari 500 ribu orang.

Kasus Covid-19 di Indonesia ini memang menarik untuk diamati. Soalnya, karena pertambahan kasus aktif itu membuat rumah sakit kita menjadi penuh. Tetapi, saya meyakini rumah sakit penuh bukan karena orang-orang yang terinfeksi perlu perawatan intensif. Saya punya pengalaman bahwa orang yang terinfeksi tanpa gejala, gejala ringan dan gejala sedang juga dirawat secara intensif di rumah sakit. Kondisi itu saya kira ikut membuat rumah sakit menjadi penuh.

Lalu, panderita Covid-19 seperti apa yang perlu mendapat perawatan di rumah sakit? Merujuk kepada Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Kementerian Kesehatan status klinis pasien itu terdiri atas tanpa gejala; sakit ringan; sakit sedang; sakit berat; dan sakit kritis. Lalu, penanganan untuk tiap-tiap status klinis ini sebenarnya berbeda-beda.

Untuk pasien tanpa gejala, misalnya, merujuk Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Kementerian Kesehatan pada prinsipnya tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Pasien hanya perlu menjalankan isolasi selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang telah dipersiapkan pemerintah. Dan setelah 10 hari, pasien diwajibkan untu cek ke fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Sementara untuk pasien gejala ringan penanganannya juga sama dengan pasien tanpa gejala. Tidak perlu rawat inap. Wajib menjalani isolasi minimal selama 10 hari sejak muncul gejala, ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Isolasi bisa dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah. Pasien sakit ringan dapat diberikan pengobatan simptomatik. Juga harus diberikan informasi mengenai gejala dan tanda perburukan yang mungkin terjadi dan nomor kontak petugas kesehatan yang bisa dihubungi apabila sewaktu-waktu gejala tersebut muncul.

Sedangkan, untuk pasien dengan gejala sedang dan ringan dengan penyakit bawaan diminta menjalani perawatan di rumah sakit. Perawatan ini dilakukan untuk mendapatkan pengobatan terhadap gejala yang ada dan juga memudahkan pemantauan oleh petugas kesehatan. Ini dilakukan sampai gejala hilang dan bila sudah dinilai memenuhi kriteria, maka pasien akan dipulangkan dari rumah sakit.

Dari beberapa status klinis ini kita mendapatkan beberapa hal. Pertama, tes RT-PCR dengan metode usap hanya dibutuhkan pada awal saja untuk diagnosis. Kedua, untuk beberapa status klinis seperti tanpa gejala dan ringan tidak diperlukan rawat inap di rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit kita pun benar-benar efektif disiapkan untuk pasien yang memang butuh rawat inap.

Terakhir, tes RT-PCR dengan metode usap tidak diperlukan untuk evaluasi terhadap pasien tanpa gejala, ringan dan sedang. Jadi, tidak semua pasien yang terkonfirmasi Covid-19 harus rawat inap di rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit kita tidak penuh dengan pasien yang sebenarnya bisa isolasi secara mandiri. [Kristian Ginting]