Pemerintah negara tiran paling takut sama statistik. Dulu, sebelum pemerintah Gorbachev, orang Rusia tidak pernah menggunakan statistik politik untuk menggambarkan kesengsaraan sejarah mereka. Mereka takut publik mengetahui realitas yang ditampilkan dengan angka-angka statistik. Mereka khawatir atau takut orang lebih mempercayai tampilan data statistik ketimbang narasi omongan.
Selama 1920-an hingga 1980-an, menurut Profesor Harvard, Gary King – ilmuwan di AS pertama yang mulai menggunakan statistik politik — Uni Soviet memblokir akses pembelajaran dan data statistik yang diterbitkan lembaga-lembaga internasional.
Alergi pemimpin-pemimpin Uni Soviet terhadap statistik sungguh luar biasa, namun mereka menikmatinya. Satu sisi rezim Uni Soviet membenci statistik, tapi di sisi lain mereka sering menggunakan statistik sebagai alat propaganda. Pelpornya adalah Stalin. Pemimpin Uni Soviet itu yang pertama menggunakan statistik untuk propaganda mengelabui rakyatnya.
Dia sering memalsukan angka statistik nasional. Misalnya, dia menutupi kematian sekitar sembilan juta orang akibat penindasan yang dilakukan rezimnya. Dia juga menyembunyikan tingkat bunuh diri serta penahanan yang jumlahnya sangat tinggi selama pemerintahannya. Lebih buruk lagi, rezim Stalin sangat tidak menyukai dan melarang orang-orang dan setiap usaha seseorang mengumpulkan statistik. Pemerintah Tirai Besi itu mencegah ilmuwan politik mereka mengakses sumber daya statistik yang keluarkan pihak asing, terutama yang menyangkut data tentang negerinya.
Di akhir tahun 80-an, liberalisasi Gorbachev membawa angin segar bagi statistik. Untuk pertama kalinya, Uni Soviet di bawah kepemimpinan Gorbachev lebih sering menggunakan statistik politik. Namun, periode dimana statistik dapat dipopulerkan tidak berjalan lama. Sebelas tahun kemudian, Vladimir Putin menjadi Presiden Rusia dan dia mengecam keras penggunaan statistik, terutama di media massa.
Nuansa itu diciptakan untuk mendukung propaganda. Masyarakat dibuat tidak melek statistik. Publik berusaha dijauhkan dan dibuat tidak peduli dengan metode analisis statistik. Di sini Putin mendapat banyak manfaat. Antara lain, ketika Rusia menganeksasi Krimea. Untuk membela keputusannya, Putin tak perlu menjelaskan dengan data statistik soal alasan penyerbuan ke Krimea itu. Argumen pembelahannya, cukup dia sampaikan dengan menggunakan cerita sejarah dan sastra, rakyat Rusia pun memakluminya dan diam.
Para jurnalis Rusia juga terjebak dalam nuansa itu. Saat memaparkan peristiwa aneksasi itu, wartawan hanya menyinggung soal moralitas, kebanggaan bangsa, dan sejarah. Misalnya, ada seorang komentator yang berkata, “Kami layak mendapatkan Krimea; Kami adalah sebuah kerajaan dan secara historis kami berhak memilikinya,” atau “Anda lihat, Tolstoy, Pushkin, Mayakovsky, menulis tentang Krimea sebagai wilayah Rusia.”
Padahal, beberapa statistik relevan yang mungkin bisa dijadikan acuan untuk mempengaruhi keputusan politik, misalnya apakah aneksasi mempunyai motif ekonomi atau ambisi geografis. Sebab bagaimanapun saat itu ekonomi Rusia sedang kendor. Pada 2014, PDB per kapita Rusia turun dari 14.125 menjadi 9.325, sementara tingkat kemiskinan meningkat dari 11,2 persen menjadi 13,3 persen hanya dalam satu tahun. Data statistik ini sepenuhnya diabaikan. [Edhy Aruman]