Presiden Joko Widodo berdialog dengan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Takjub. Demikian Menteri Keuangan Sri Mulyani memuji paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah Joko Widodo dalam setahun terakhir. Paket kebijakan ekonomi yang disebut meniru resep Dana Moneter Internasional (IMF).

Rasa takjub Sri itu antara lain karena Jokowi menirunya tanpa tekanan. Dan paket kebijakan Jokowi itu nyaris sama dengan resep pemulihan krisis ekonomi yang  disodorkan IMF kepada Presiden Soeharto pada  1997/1998. Celakanya, setelah mengikuti resep itu, ekonomi Indonesia justru kian terpuruk hingga hari ini.

Kendati demikian, Sri tetap takjub dan memujinya. Hanya  karena Jokowi  melakukannya tanpa tekanan dari lembaga pemberi kredit  baik IMF maupun lembaga keuangan internasional lainnya. Benarkah?

Selain pembangunan “Poros Maritim Dunia”, Jokowi juga menetapkan infrastruktur sebagai sebagai salah satu program unggulan. Tidak heran, pada 2017 total alokasi anggaran infrastruktur di Anggaran Pendapatan Belanja Negara mencapai Rp 387,3 triliun.

Di luar itu, pemerintah telah menetapkan kebutuhan dana pembangunan infrastruktur  mencapai sekitar Rp 4.800 triliun hingga 2019. Sedangkan pemerintah hanya memiliki kemampuan sekitar Rp 1.131 triliun. Dengan demikian, ada kekurangan dana yang cukup besar.

Amerika Serikat (AS) yang menjadi salah satu pemenang Perang Dunia II, banyak menjerat berbagai negara dengan utang untuk memulihkan negerinya yang hancur akibat perang. Hingga 2014, dana yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur secara global meningkat tajam mencapai US$ 24,2 miliar atau naik 45 persen dari tahun sebelumnya.

Untuk itu, Bank Dunia lantas membentuk skema Publik Private Partnership (PPP) dengan mengumpulkan pemerintah, lembaga pembangunan dan investor swasta untuk mendanai proyek infrastruktur global. Lalu, lembaga itu kemudian dikenal dengan Global Infrastructure Facilities (GIF)  yang berada di bawah Bank Dunia. Lembaga ini menjadi “persekutuan” negara-negara pemberi kredit, bank pembangunan multilateral dan swasta seperti Citibank, HSBC, DBS Bank, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lain sebagainya untuk bersama-sama membiayai pembangunan infrastruktur lewat skema PPP ke berbagai negara.

Tujuan utamanya adalah pasar yang sedang berkembang (emerging market) dan negara yang dianggap sedang tumbuh (emerging country) seperti kawasan Asia-Pasifik maupun negara-negara seperti Tiongkok, India, Bangladesh, Brasil, Afrika Utara maupun Indonesia yang diperkirakan membutuhkan dana sebesar sekitar US$ 1 triliun untuk lima tahun. Asia-Pasifik menjadi salah satu pusat proyek pembangunan infrastruktur dunia dan hampir 50 persen dana infrastruktur dunia berada di kawasan ini.

Bank Dunia melalui International Finance Coorporation (IFC) pernah menyebutkan, jika Indonesia ingin terus bersaing sebagai negara yang tumbuh secara ekonomi, maka proyek infrastrukur sangat penting sebagai jawaban untuk membuka sumbatan kran investasi yang selama ini menghambat akibat jeleknya infrastruktur di Indonesia. Bersama Bank Dunia, IFC menyalurkan utang sebesar US$ 12 miliar untuk empat tahun. Di luar itu tiap-tiap lembaga tersebut telah menggelontorkan US$ 1 miliar pada tahun ini.  IFC pula yang kemudian memberi modal kepada Jokowi untuk menghimpun dana ke dalam perusahaan pembiayaan infrastruktur bernama PT Sarana Multi Infrastruktur (perusahaan yang juga memperoleh pembiayaan dari dana yang terkumpul dalam BPJS), yang juga akan dikelola Pusat Investasi Pemerintah.

Dengan demikian, bisa dipastikan sumber pembiayaan untuk proyek infrastruktur Indonesia akan terus bertambah. Antara lain, berasal dari Indonesia Infrastructure Fund, Japan Bank For International Cooperation, ADB, Bank Dunia hingga yang terbaru AIIB  siap membiayai proyek infrastruktur yang tersebar di Indonesia.

Kembali kepada Sri Mulayani yang takjub akan reformasi kebijakan ekonomi Jokowi. Ia  menilai reformasi kebijakan Jokowi dalam berbagai  bidang sukses dan sangat disiplin kendati merupakan resep IMF pada 1997/1998. Ia menyebutnya sebagai warisan yang bagus.

“Saya tidak pernah melihat di negara manapun yang lepas dari program IMF, bisa sangat sukses melakukan reformasi kebijakan dengan sangat disiplin. Biasanya banyak negara yang melakukan reformasi kebijakan karena tekanan IMF, karena keuangan negara itu tengah berdarah-darah dan mereka butuh bantuan IMF,” kata Sri seperti dikutip cnnindonesia.com dalam acara International Forum on Economic Development and Public Policy di Nusa Dua, Bali, Kamis  (8/12).

IMF melalui penelitinya yang melawat ke Indonesia pada November lalu, juga memuji kinerja ekonomi Indonesia di bawah Jokowi. Dalam laporan yang dimuat di laman resminya, IMF mencatat keberhasilan kebijakan ekonomi Jokowi antara lain pencabutan subsidi BBM pada 2015, program infastruktur, deregulasi, membuka kran investasi swasta asing maupun dalam negeri dan aturan baru soal penetapan upah minimum. IMF juga mencatat perlunya melanjutkan reformasi struktural untuk mendukung pertumbuhan dan investasi swasta.

Pemerintah Jokowi kenyataannya sangat mendukung skema yang telah ditetapkan itu. Makanya, ia membentuk Komite Percepatan Pembangunan  Infrastruktur Prioritas yang bertugas sebagai  Project Manajemen Office dalam proyek prioritas infrastruktur. Ia juga menjamin ketersediaan tanah bagi investasi infrastruktur sekaligus jaminan atas berbagai investasi  berbagai sektor.

Tidak perlu heran juga, mengapa berbagai paket kebijakan ekonomi Jokowi lalu berisi skema-skema untuk mempermudah investasi dan menjaminnya untuk bisa segera beroperasi di Indonesia. Atas fakta itu, pernyataan Sri Mulyani soal reformasi kebijakan ekonomi Jokowi dikeluarkan tanpa tekanan IMF maupun lembaga keuangan internasional menjadi tidak tepat. Sri akan tetapi benar untuk satu hal, Jokowi memang tidak didikte, namun, memilih mengabdi kepada kepentingan para investor terutama pemodal asing. [KRG]