Stalin, Lenin dan Leon Trotsky
Dari kiri ke kanan: Stalin, Lenin dan Leon Trotsky/Istimewa

Koran Sulindo – Setelah Lenin meninggal, rakyat Soviet dan seluruh dunia seharusnya merasa beruntung Soviet berada di bawah kepemimpinan kolektif Partai Bolshevik dengan tokoh utamanya Stalin. Karena keyakinan partai dan Stalin pada kemampuan kelas buruh membangun sosialisme di Uni Soviet akhirnya telah mengubah negeri terbelakang ekonominya menjadi negeri industri yang kuat. Tanpa pembangunan sosialisme, mampukah Uni Soviet mengalahkan fasisme Hitler dan menyelamatkan rakyat negeri-negeri Eropa dari fasisme?

Dengan bubarnya Uni Soviet, ada orang yang berpendapat sosialisme gagal, maka tidak ada gunanya diskusi tentang Lenin, Stalin dan permusuhannya dengan Trotsky. Pendapat ini didasari ketidaktahuan tentang pengkhianatan kaum revisionis modern di dalam Partai Komunis Uni Soviet kepada sosialisme yang dibangun rakyat Soviet di bawah pimpinan Lenin dan Stalin. Kelemahan dan kesalahan dalam pembangunan sosialisme bukannya dikoreksi, tapi malah dibuat makin serius dengan memasukkan ide dan teori revisionis yang akhirnya menghancurkan sendi-sendi struktur ekonomi sosialis. Jadi harus dibedakan periode Uni Soviet sosialis dengan periode kembali ke kapitalisme pimpinan kaum revisionis.

Revolusi Permanen
Dalam pengantar tulisan yang berjudul “1905”, Trotsky menulis bahwa idenya yang kemudian dinamakan teori “revolusi permanen”, berkembang dalam periode antara 9 Januari 1905 dan pemogokan Oktober 1905. Dua poin pokok terdapat dalam “Revolusi Permanen” Trotsky.

Pertama, Revolusi Rusia, walaupun secara langsung berkaitan dengan tujuan borjuis, namun tidak dapat membatasi diri dalam bingkai revolusi borjuis.  Guna menjamin kemenangannya, pelopor proletariat, pada awal kekuasaannya, tidak saja harus  menjebol hubungan feodal, tapi juga kepemilikan borjuis.

Artinya, pertama, Trotsky menolak sifat borjuis demokratis dari Revolusi Rusia untuk mendirikan sebuah republik demokratis, sistem kerja 8 jam dan penyitaan tanah luas milik kaum bangsawan. Trotsky ingin supaya begitu revolusi menang, kaum proletariat langsung menyerang kepemilikan borjuis.

Ini bertentangan dengan Lenin yang menjelaskan dalam Lecture on the Revolution of the 1905 bahwa kekhususan revolusi di Rusia adalah sifat borjuis demokratis dalam isi sosialnya, dan sifat proletar dalam metode perjuangannya. Sifat proletar ditentukan bukan saja karena kaum proletariat yang merupakan kekuatan pelopor yang memimpin revolusi, tapi juga karena senjata perjuangan pokok yang digunakan adalah senjata proletar, yaitu pemogokan. Pemogokan merupakan alat pokok dalam membuat massa bergerak dan gejala yang paling karakteristik dalam kejadian-kejadian yang menentukan.

Kedua, penolakan terhadap sifat borjuis demokratis dari Revolusi Rusia membuat Trotsky meremehkan peran kaum tani dan tidak memandangnya sebagai sekutu pokok Revolusi Rusia. Ketidakpercayaan pada peran revolusioner kaum tani ini membuat Trotsky menentang kediktatoran buruh dan tani dan melompati tahap revolusi borjuis demokratis.

Sebaliknya, Lenin berpendapat: “Jalannya revolusi mengkonfirmasi ketepatan pemikiran kita. Pertama, seluruh tani melawan monarki, melawan tuan tanah, melawan rezim abad menengah (dan sampai sebatas itu ia tetap revolusi borjuis demokratis). Kemudian, tani miskin, semi-proletariat dengan seluruh yang terhisap melawan kapitalisme dan sejauh itu revolusi menjadi revolusi sosialis”.

Jelas dalam kata-kata ‘Pertama’ dan ‘kemudian’ tersirat dua periode atau tahap. Yang harus dicatat di sini adalah antara kedua tahap itu tidak ada tembok yang memisahkan. Tahap pertama harus selesai dulu baru bisa melangkah ke tahap berikutnya. Tanpa tahap pertama, yaitu revolusi borjuis demokratis, tidak mungkin masuk ke tahap berikutnya, tahap sosialis. Jadi dalam revolusi di Rusia pun terjadi dua tahap revolusi.

Sikap Lenin dan Trotsky yang bertolak belakang dalam hubungannya dengan kaum tani tercermin lagi dalam penilaian mereka terhadap Revolusi 1905.

Trotsky menganggap Revolusi 1905 telah membuktikan kebenaran teori “Revolusi Permanen-nya”. Berikut kata-katanya: “Kemenangan parsial pemogokan Oktober bagi saya mempunyai arti penting luar biasa dari segi teoritis maupun politik.  Bukan oposisi kaum borjuis liberal, bukan pemberontakan kaum tani yang elemental atau tindakan teroris dari kaum intelektual, tetapi pemogokan  buruh yang untuk pertama kalinya membawa Tsarisme bertekuk lutut. Kepemimpinan revolusioner proletariat mengungkapkan dirinya sebagai fakta tak terbantahkan. Saya merasa bahwa teori revolusi permanen telah berhasil lulus  ujian pertama”. Jelas di sini, Trotsky meremehkan pemberontakan kaum tani.

Sebaliknya, Lenin, dalam On The Two Lines in the Revolution 1915, menulis: “Kelas proletariat maju secara revolusioner, dan memimpin kaum tani demokratis menuju penggulingan monarki dan pemilik tanah. Kecenderungan revolusioner kaum tani dalam arti demokratis dibuktikan pada skala massal oleh semua peristiwa politik besar: pemberontakan petani dari 1905-1906, kerusuhan di tentara pada tahun yang sama, ‘Serikat Tani’ tahun 1905, dan dua Dumas (Parlemen) di mana kaum tani Trudowiks berdiri tidak hanya ‘di sebelah kiri kaum Kadet’, tetapi juga lebih revolusioner daripada kaum intelektual sosial-revolusioner dan kaum Trudowik. Sayangnya, hal ini sering dilupakan, tapi itu tetap merupakan fakta. Baik dalam Dumas Ketiga maupun Keempat, meskipun ada kelemahannya, kaum petani Trudowik menunjukkan bahwa massa petani menentang pemilik tanah.”

Berbeda dengan Trotsky, Lenin bicara tentang “kaum tani demokratis”, “ kecenderungan revolusioner kaum tani”, “ kaum tani .. lebih revolusioner”, “massa tani menentang pemilik tanah”.

Dalam Two Tactics of Social Democracy in the Democratic Revolution (Juni-Juli 1905), Lenin menegaskan bahwa satu-satunya kekuatan yang mampu mencapai kemenangan pasti dalam perjuangan melawan Tsarisme adalah rakyat, yaitu kaum proletariat dan kaum tani. Dan kemenangan yang menentukan itu adalah didirikannya kediktatoran proletariat dan tani revolusioner dan demokratis.

Karena Trotsky sangat meremehkan peran kaum tani, maka sampai sekarang para pengikutnya tidak mengakui kemenangan revolusi nasional demokratik dan pembangunan sosialisme di Tiongkok di bawah pimpinan Mao Tzedong. Mereka memandang Mao hanya sebagai seorang pemimpin borjuis kecil. Lucunya, Tro-sky menyalahkan Stalin yang dianggapnya telah memaksakan revolusi dua tahap kepada para pemimpin revolusi Tiongkok. Padahal Mao sendiri yang berjuang meyakinkan seluruh partai untuk menempuh jalan Perang Rakyat Tahan Lama guna memenangkan revolusi borjuis tipe baru di bawah pimpinan klas proletar dan bersandar pada massa kaum tani revolusioner dan mendirikan kediktatoran demokrasi rakyat yang hakikatnya adalah kediktatoran proletariat dan tani revolusioner.

Poin pokok kedua dalam Revolusi Permanennya Trotsky adalah bahwa kontradiksi antara pemerintahan kaum buruh dengan mayoritas besar kaum tani di sebuah negeri terbelakang hanya dapat diselesaikan pada skala internasional, dalam sebuah revolusi proletar sedunia. Itulah alasan Trotsky mengapa Revolusi Rusia harus mencampakkan batas-batas dari revolusi borjuis demokratis yang sempit dan batas negara nasionalnya. Artinya, dengan sadar harus berusaha supaya Revolusi Rusia menjadi pengantar dari revolusi dunia.

Jelas Trotsky menggantungkan kesinambungan dan nasib Revolusi Rusia pada revolusi proletar dunia. Tanpa revolusi dunia, revolusi dan pembangunan sosialisme di Rusia, bagi Trotsky, tidak mungkin. Maka itu kaum Trotskis tidak mengakui sosialisme yang dibangun rakyat Soviet di bawah pimpinan Stalin.

Pesimisme Trotsky ini berakar pada 1) penolakannya pada teori Lenin tentang perkembangan kapitalisme tak merata dan “mata rantai terlemah”; 2) penolakannya pada peran dan posisi kaum tani sebagai sekutu kaum buruh; 3) penolakannya pada dialektika materialis yang melihat kontradiksi internal sebagai faktor pokok dalam perkembangan hal ihwal. Bukannya tidak penting faktor eksternal, namun ia hanya dapat mempengaruhi perkembangan hal ihwal melalui faktor internal. Fakta sejarah menunjukkan kaum Bolshevik mampu menyelesaikan kontradiksi antara kaum buruh dan kaum tani tanpa menunggu meletusnya revolusi proletar dunia.

Lenin menganggap teori “revolusi permanennya” Trotsky “meminjam dari Bolshevik seruannya untuk melancarkan perjuangan revolusioner proletar yang teguh dan  perebutan kekuasaan politik oleh proletariat. Sementara itu, dari Menshevik ia meminjam “penolakan” terhadap peran kaum tani.

Sikap Trotsky yang meremehkan kaum tani tercermin dalam Results And Prospects yang ia tulis tahun 1906: “Sifat primitif dan borjuis kecil dari kaum tani, pandangan dunianya yang sempit, dan terisolasinya tani dari hubungan dan kesetiaan politik dunia, akan menciptakan kesulitan luar biasa untuk pengkonsolidasian kebijakan revolusioner kelas proletariat yang berkuasa”.

Selanjutnya, “Sikap acuh tak acuh kaum tani, kepasifan politiknya, dan lebih-lebih lagi perla-wanan aktif lapisan atas tani, tidak bisa tidak akan mempengaruhi  sebagian in-telektual dan borjuis kecil perkotaan.…Dengan demikian, semakin tegas dan je-las kebijakan kelas proletar yang berkuasa, semakin sempit dan semakin lemah dasar di mana ia berpijak. Semua ini sangat mungkin dan bahkan tak terelakkan”.

Dalam perebutan kekuasaan, Trotsky mengutamakan peran kaum proletariat. Agitasi, pengorganisasian dan emansipasi kaum tani dilakukan kelas proletariat setelah kekuasaan ada di tangannya. Sebaliknya, Lenin menganggap mobilisasi revolusioner  kaum tani adalah syarat bagi kemenangan revolusi. Trotsky menganggap kaum tani bergabung dengan kaum proletariat karena tidak ada jalan lain, artinya terpaksa, tanpa mengetahui atau sadar akan kepentingannya sendiri, sama seperti ketika kaum tani mendukung rezim borjuis.

Bagi Trotsky tidak mungkin konsesi diberikan kepada kaum tani untuk menjamin agar kontradiksi antara kaum tani dan kaum proletar tetap bersifat tidak antagonis. Karena ia tidak membedakan tahap demokratis dengan tahap sosialis. Ia menganggap transisi ke tahap sosialis berarti konflik antara klas buruh dan kaum tani yang hanya dapat diselesaikan melalui revousi dunia. Ini jelas posisi anti-Leninis.

Marx dan Engels pernah bicara tentang revolusi permanen. Pada 1850, mereka menunjukkan bahwa  tugas partai buruh revolusioner di negeri-negeri Eropa adalah meneruskan dan membawa revolusi demokratis borjuis ke tahap berikutnya. Revolusi permanen yang dimaksud adalah tidak menghentikan revolusi di tengah jalan seperti yang diinginkan kaum borjuasi demokratis dan borjuis kecil. Kaum proletar menghendaki dihapuskannya kepemilikan pribadi atas alat produksi, bukan hanya perubahan dalam kepemilikan pribadi. Kelas proletar tidak hanya ingin mencegah penajaman kontradiksi kelas, tapi menghapus kelas-kelas; bukan hanya memperbaiki masyarakat yang ada, melainkan membangun sebuah masyarakat baru, yaitu sosialisme.

Lenin juga bicara tentang ‘revolusi permanen’. Berikut kata-katanya: “Sesuai dengan kekuatan kita, yaitu kekuatan proletariat yang sadar dan terorganisir, dari revolusi demokratik kita akan segera mulai masuk ke revolusi sosialis. Kita mendukung revolusi permanen. Kita tidak akan berhenti di tengah jalan. . . . Tanpa tergelincir ke dalam petualangan, tanpa memungkiri kesadaran ilmiah kita, tanpa mengejar popularitas murah, kita bisa dan benar-benar mengatakan satu hal saja. Yaitu dengan seluruh kekuatan kita, kita akan membantu seluruh kaum tani untuk melaksanakan revolusi demokratis, supaya kami, partai proletariat, dengan lebih mudah dimungkinkan untuk, secepat mungkin, melangkah dan menangani tugas baru yang lebih tinggi, revolusi sosialis”.

Marx, Engels dan Lenin bicara tentang revolusi permanen dalam arti kelas proletar akan membawa revolusi demokratis borjuis ke tahap revolusi sosialis. Dan sikap Lenin terhadap kaum tani jelas, yaitu mendukung mereka dalam revolusi demokratis dan dengan demikian memudahkan kaum proletar maju ke revolusi sosialis. Oleh karena itu kediktatoran yang dibangun pada tahap revolusi demokratis borjuis bukan kediktatoran proletar, melainkan kediktatoran demokratik buruh dan tani.

Trotsky menentang formulasi “kediktatoran demokratik proletariat dan tani”, karena ia melihat kekurangannya dalam menjawab: kelas mana yang akan berkuasa dan memegang kediktatoran?

Sungguh aneh sekali. Trotsky  yang oleh pengikut dan pemujanya dianggap pemikir ulung yang tanpa kehadirannya Revolusi Oktober tak akan dapat dilancarkan dengan sukses, tidak mengerti kelas mana yang akan berkuasa dan memegang kediktatoran dalam “kediktatoran demokratik proletariat dan tani”.

Padahal dalam Two Tactics of Social Democracy in the Democratic Revolution (Juni-Juli 1905), Lenin sudah menjelaskan: “Kita bermaksud memimpin (kalau revolusi besar Rusia membuat kemajuan) tidak saja kaum proletariat yang diorganisasi oleh Partai Sosial Demokrat, tapi juga kaum borjuis kecil ini, yang mampu berjalan berdampingan dengan kita”.

Sampai sekarang para pengikut Trotsky masih percaya akan meletusnya pada suatu hari, revolusi sosialis di seluruh dunia. Kepercayaan membuta ini disaksikan Harry Powell (seorang Marxis Inggris), Februari 2017, yang hadir dalam peluncuran buku Neil Faulkner yang mengaku sendiri sebagai pengikut Trotsky. Pada akhir pertemuan, Faulkner dengan berapi-api berkata bahwa sosialisme hanya dapat tercipta di skala dunia. Bertolak pada Revolusi Permanen, Faulkner menyatakan bahwa kemenangan proletar di sebuah negeri akan dengan cepat meluas ke seluruh dunia sehingga kemenangan sosialisme dapat terjamin. Para hadirin pengikut Trotsky bertepuk tangan menyambut.

Harry Powell mengaku terkejut menyaksikan pengikut Trotsky betul-betul percaya pada skenario apokaliptik yang membayangkan sebuah revolusi sosialis meletus hampir bersamaan waktunya di skala dunia. Ini dinamakan juga “teori big bang sosialisme”.  [Tatiana Lukman]