Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen? (Bagian 1)

Dari kiri ke kanan: Stalin, Lenin dan Leon Trotsky/Istimewa

Koran Sulindo – Dalam tulisan berjudul Batu Ujian Sejarah Siapa yang Benar, Stalin atau Trotsky? Satu Pemandangan Berhubungan dengan Perang Rusia-Jerman pada 1941, Bung Karno bicara tentang permusuhan antara Stalin dan Trotsky. Pertentangan ide antara keduanya yang diangkat Bung Karno adalah sosialisme di satu negeri atau revolusi permanen.

Pada 22 Juni 1941, operasi Barbarossa dilancarkan Hitler untuk menaklukkan Uni Soviet. Jerman menamakannya serangan kilat (Blitzkrieg), dengan harapan dapat menghancurkan kekuasaan proletar pertama di dunia dalam waktu singkat.

Bung Karno bertaruh, kalau Rusia menang, Stalin mendapat satu plus, kalau kalah, satu minus buat Stalin. Kita semua, termasuk Bung Karno, tahu, Perang Dunia II dimenangkan rakyat dan Tentara Merah Uni Soviet. Berarti Stalin dapat satu plus. Dan siapa yang dapat satu minus? Trotsky, bukan?

Dalam literatur politik, media komunikasi borjuis dan Barat, pada umumnya, Stalin dihadapkan dengan Trotsky. Troskyisme dianggap sebagai antidote dari Stalinisme yang “menakutkan” dan “kejam”. Trotsky, pahlawan dan pemimpin besar revolusi kedua setelah Lenin, sedangkan Stalin, “diktator” dan “pembunuh” jutaan rakyat.

Latar belakang keluarga Trotsky memang berbeda jauh dengan Stalin. Orang tua Trotsky, tani kaya, yang memungkinkannya mendapat pendidikan sekolah di Odessa. Sedangkan ayah Stalin, tukang sepatu, buta huruf dan berasal dari keluarga tani-hamba. Begitu juga ibunya. Asal keluarga, latar belakang ekonomi dan kebudayaan ini membuat kaum akademis dan intelektual borjuis skeptis, tidak percaya akan kemampuan otak Stalin sebagai seorang teoritikus dan pemimpin. Mereka menghina dan merendahkan Stalin berdasarkan kepada apa yang ditulis Trotsky: “Wawasan politik Stalin terbatas, perangkat teorinya primitif… Empirisme kental mendominasi pikirannya, sama sekali tidak punya imajinasi kreatif.”

Bakat Trotsky dalam menggunakan penanya digunakan pengikutnya sebagai argumentasi untuk menunjukkan keunggulannya dibanding dengan Stalin. Prosa Trotsky yang gemilang mencerminkan kecerdasannya, begitu pendapat mereka. Sedangkan gaya Stalin dianggap berat dan tidak berharmoni. Dari situ disimpulkan, dalam pertarungannya dengan Trotsky, Stalin tidak bisa berada di pihak yang benar. Seolah-olah pendirian teguh dalam ilmu Marxis-Leninis adalah soal bakat dalam sastra.

Saking tidak percayanya pada kapasitas intelektual Stalin, Isaac Deutscher, penulis Stalin: A Political Biography ketika menyinggung karya Stalin Marxisme dan Masalah Nasional, mengungkapkan: “Mungkin Lenin yang memberi sinopsis, argumentasi pokok dan kesimpulannya. Bukharin mungkin membantu dia dengan mencarikan buku-buku dan kutipan yang ia butuhkan. Hampir dapat dipastikan the old man (maksudnya Lenin) yang membersihkan keganjilan-keganjilan dalam gaya bahasa dan logika yang memenuhi tulisan aslinya.” Deutscher akan tetapi tidak pernah menyebut sumber informasinya.

Sebaliknya, dalam surat kepada Maxim Gorky yang ditulis antara 15 dan 25 Februari 1913, Lenin menulis: “Mengenai nasionalisme, saya setuju sepenuhnya dengan Anda bahwa kita harus menanggapi masalah ini dengan lebih serius. Di antara kita ada orang Georgia yang mengagumkan, yang duduk dan menulis sebuah artikel besar untuk Proveshcheniye. Untuk tulisan itu dia telah mengumpulkan semua bahan dari Austria dan bahan-bahan lainnya.”

Ketika untuk pertama kali dibentuk Komisariat (kementerian) Inspektorat Buruh pada 1919, Stalin diangkat sebagai komisaris. Pada Kongres Partai Komunis Seluruh Rusia (Bolshevik) XI, April 1922, Preobrazhensky, pengikut Trotsky terkemuka, mengkritik Lenin karena menunjuk Stalin untuk memimpin dua komisariat.

Lenin menjawab dengan pedas: “Sangat sulit sekali mengerjakan ini; kita kekurangan orang! Tapi Preobrazhensky datang dan tanpa pikir panjang berkata, Stalin bertanggung jawab di dua komisariat. Siapa di antara kita yang tidak berdosa dalam hal ini? Siapa yang tidak mengambil beberapa tugas sekaligus? Kalau tidak, bagaimana kita menanganinya? Apa yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan situasi yang ada sekarang di Komisariat Rakyat untuk Urusan Nasionalitas; untuk menangani semua masalah Turkestan, Caucasia dan masalah lain? Semua ini adalah masalah politik! Dan harus diselesaikan. Ini adalah masalah yang telah menjadi perhatian negara-negara Eropa selama ratusan tahun, dan hanya sejumlah sangat kecil sekali yang telah diselesaikan dalam republik demokratis. Kita sedang membereskan masalah itu; dan kita membutuhkan seseorang yang dapat ditemui para wakil dari tiap bangsa untuk mendiskusikan kesulitan mereka sampai masalah sekecil-kecilnya. Di mana kita dapat menemukan orang seperti itu? Saya pikir Kawan Preobrazhensky tidak bisa menyarankan calon yang lebih baik daripada Kawan Stalin.”

Berkaitan dengan usul Lenin untuk melancarkan pemberontakan bersenjata, terdapat notulen rapat Komite Sentral, 10 Oktober 1917, yang dihadiri 12 orang: Lenin, Zinoviev, Kamenev, Stalin, Trotsky, Sverdlov, Uritsky, Dzerzhinsky, Kollontai, Bubnov, Sokolnikov dan Lomov. Dalam pemungutan suara untuk menyetujui atau menolak resolusi Lenin itu, 10 orang menyetujui dan 2 orang menolak, yaitu Zinoviev dan Kamenev.

Karena mayoritas menerima maka diputuskan untuk segera melakukan pekerjaan praktis mengorganisasi pemberontakan. Dalam rapat itu juga dipilih sebuah pusat untuk memimpin pemberontakan dari sudut politik. Pusat politik itu dinamakan Politbiro yang terdiri atas Lenin, Zinoviev, Stalin, Kamenev, Trotsky, Sokolnikov dan Bubnov.

Kemudian, dalam rapat Komite Sentral berikutnya, 16 Oktober 1917, hadir anggota Komite Sentral, ditambah wakil-wakil dari komite Petrograd, organisasi militer, komite pabrik, serikat buruh dan buruh kereta api. Di samping anggota Komite Sentral, hadir Krylenko, Shotman, Kalinin, Volodarsky, Shlyapnikov, Lacis dan lain-lainnya. Semuanya ada 25 orang.

Masalah pemberontakan dibahas dari segi praktis organisasi. Resolusi Lenin disetujui oleh mayoritas 20 orang, 2 yang menolak dan 3 abstain. Dibentuk sebuah badan untuk memimpin pemberontakan dari segi organisasi. Badan itu beranggotakan 5 orang: Sverdlov, Stalin, Dzerzhinsky, Bubnov, dan Uritsky. Tidak tercantum nama Trotsky. Justru Stalin dan Bubnov yang merangkap tanggung jawab di bidang politik dan juga organisasi. Aneh betul, kok orang yang dianggap “rendah” kemampuannya, malah diberi tanggung jawab dobel!

Sosialisme di Satu Negeri
Mengapa kemenangan dan pembangunan sosialisme di satu negeri bukan sebuah utopia seperti yang dipropagandakan kaum revisionis dan Trotskis? Yang menemukan dasar teori dari gagasan ini adalah Lenin, bukan Stalin. Kematian Lenin pada 1924, telah meletakkan tanggung jawab dan tugas berat pembangunan sosialisme di pundak Stalin. Oleh karena itu, Stalin selalu diidentifikasi atau dilekatkan dengan ide “Sosialisme di Satu Negeri”. Memang jauh lebih mudah menyerang dan mensatanisasi Stalin, terutama setelah dedengkot revisionis Soviet, Khrushchov menyerang dan memfitnahnya. Prestise dan kewibawaan Lenin sebagai pemimpin revolusi sosialis dan pendiri kekuasaan kelas buruh pertama di dunia agak melindunginya dari serangan langsung kaum Trotskis dan kaum revisionis.

Kemenangan Sosialisme di satu negeri dimungkinkan karena terdapat kondisi materialnya, bukan karena angan-angan atau keinginan subjektif Lenin atau Stalin. Syarat materialnya adalah zaman di mana kita hidup sekarang: yaitu zaman imperialisme sebagai tingkat tertinggi dari kapitalisme. Lima ciri imperialisme sudah disinggung dalam tulisan Lenin Bersama Kita (Bagian I).

Di samping itu, Lenin juga mengungkapkan teori perkembangan kapitalisme yang tak seimbang atau tidak merata. Artinya: 1) perkembangan yang tidak tetap dan tidak teratur di berbagai negeri dalam hubungannya dengan negeri lain. Ini menyebabkan pergeseran dalam posisi satu atau beberapa negara di pasar dunia (satu atau beberapa negara ditendang keluar dan kedudukannya digantikan oleh negara lain); 2) konflik-konflik militer menyebabkan terjadinya secara periodik pembagian kembali dunia yang sudah terbagi; 3) peruncingan dan semakin dalamnya kontradiksi dan konflik di kalangan negara-negara imperialis melemahkan dunia imperialis; 4) pelemahan dunia imperialis melahirkan kemungkinan penjebolannya di mata rantainya yang terlemah, artinya di satu atau beberapa negeri terbelakang, oleh kaum buruh dan kelas pekerja lainnya. Dan ini sudah terbukti dengan kemenangan Revolusi Oktober 1917, Revolusi Tiongkok 1949, Vietnam, Korea Utara dan Kuba 1959.

Ketika mencetuskan Revolusi Oktober 1917, Partai Bolshevik menganggap revolusi itu bukan hanya sebuah sinyal dan titik tolak bagi revolusi sosialis di Eropa Barat. Pertama, ia adalah sebuah basis untuk perkembangan pergerakan revolusioner dunia. Kedua, ia membuka sebuah periode dari kapitalisme menuju sosialisme di Uni Soviet.

Bahkan jauh sebelum meletusnya Revolusi Oktober 1917, pada bulan September 1905, Lenin sudah menulis: “Dari revolusi demokratis kita akan segera mulai masuk ke revolusi sosialis, sesuai dan sejauh kekuatan kita yaitu, kekuatan proletariat yang terorganisasi dan dengan kesadaran kelasnya.” Di sini jelas kelihatan, pertama, antara tahap revolusi demokratis dan tahap revolusi sosialis tidak ada jurang yang memisahkan. Ia merupakan sebuah proses di mana satu tahap selesai, segera dimulai tahap selanjutnya. Kedua, jelas karakter sosialis dari revolusi Rusia. Lenin sama sekali tidak berpikir atau punya rencana untuk menghentikan revolusi Rusia, ketika sudah menyelesaikan tahap revolusi demokratisnya. Dengan demikian, tidak ada keraguan bahwa Lenin ketika itu sudah berpendapat bahwa sosialisme akan dan harus dibangun di Rusia.

Dalam beberapa tulisan setelah 1905, Lenin menunjukkan keyakinannya tentang “Sosialisme di Satu Negeri”. Berikut kata-katanya pada bulan Agustus, 1915, dalam On the Slogan of The United Europe: “… sebagai sebuah slogan yang terpisah, slogan Negara Serikat Dunia sulit untuk dikatakan benar. Pertama, karena ia digabungkan dengan sosialisme; kedua, karena ia dapat disalahtafsirkan bahwa kemenangan sosialisme di satu negeri tidak mungkin, dan juga dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai hubungan satu negeri yang begitu dengan negeri-negeri lain”. Lenin melanjutkan: “Perkembangan ekonomi dan politik tidak merata adalah hukum mutlak dalam kapitalisme. Oleh karena itu, kemenangan sosialisme dimungkinkan, pertama di beberapa atau bahkan di satu negeri kapitalis saja”.

Ketika bicara dalam rapat pleno Soviet Moskow, pada 1922, Lenin berkata: “Sosialisme tidak lagi merupakan masalah masa depan yang jauh, atau sebuah gambaran abstrak, atau sebuah simbol. Kita masukkan sosialisme ke dalam kehidupan sehari-hari dan di sini kita harus menemukan jalan kita. Ini adalah tugas kita sekarang, tugas zaman kita. Izinkan saya menutup dengan menyatakan keyakinan, walaupun tugas ini sulit dan baru, dibandingkan dengan tugas kita sebelumnya, tak peduli berapa banyak kesulitan, kita semua—tidak dalam satu hari, tapi dalam jangka beberapa tahun—kita semua bersama-sama akan menunaikannya, apapun yang terjadi, sehingga NEP (New Economic Policy) Rusia akan menjadi Rusia sosialis”.

Tidakkah jelas Lenin-lah yang mengajukan ide dan teori “Sosialisme di Satu Negeri”? Stalin hanya meneruskan pembangunan sosialisme yang sudah dimulai di bawah pimpinan Lenin dan membelanya di hadapan serangan dan pesimisme kaum Trotksis dan oposisi lainnya.

Sudah tentu meletusnya revolusi sosialis di negeri-negeri kapitalis yang lebih maju perkembangannya, seperti Jerman, Prancis dan Inggris, akan membantu pembangunan sosialisme di Rusia. Tapi, sampai Lenin meninggal, itu tidak terjadi. Apakah kita mengharapkan Stalin berhenti di tengah jalan, meninggalkan usaha mewujudkan sosialisme dan kembali lagi ke kapitalisme? Seperti kata Stalin: “Apakah kita harus hidup tanpa arti, tenggelam dalam kontradiksi kita sendiri dan membusuk, sementara menunggu datangnya revolusi dunia”?

Menghadapi kaum oposisi pimpinan Trotsky, Zinoviev dan Kamenev yang tidak percaya sosialisme dapat dibangun di Rusia dengan bersandar kepada kekuatannya sendiri, Stalin berkata bahwa partai hanya punya dua pilihan. Pertama, membangun sosialisme walaupun terdapat kondisi keterbelakangan ekonomi di Rusia. Pilihan ini berarti tugas partai adalah tetap memegang kekuasaan dan memimpin pembangunan sosialisme. Kedua, kalau partai merasa tidak mampu mengatasi kaum borjuasi dan membangun sosialisme dengan bersandar kepada kekuatannya sendiri, tanpa dukungan kemenangan revolusi di negeri lain, maka partai harus dengan jujur mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada kekuatan politik lain. Karena, menurut Stalin, sebuah partai kelas buruh tidak berhak menipu kelasnya.

Sebaliknya, ini kata-kata Trotsky: “Selain keterbelakangan yang diwarisi dari masa lalu, kelemahan ekonomi Soviet terletak pada isolasi pasca-revolusioner sekarang ini, yaitu, ketidakmampuannya untuk mendapatkan akses ke sumber daya ekonomi dunia, tidak hanya pada basis sosialis tapi bahkan pada basis kapitalis, yaitu, dalam bentuk kredit internasional normal dan ‘pembiayaan’ pada umumnya, yang memainkan peran sangat menentukan bagi negeri-negeri terbelakang”.

Lebih lanjut Trotsky menegaskan, “Stalin membawa-bawa hukum perkembangan tidak merata, bukannya untuk memprediksi perebutan kekuasaan oleh kaum proletar di sebuah negeri terbelakang tepat pada waktunya, tetapi, (setelah itu dilakukan pada tahun 1924), untuk memaksakan tugas membangun sebuah masyarakat sosialis nasional kepada kaum proletariat yang sudah menang. Namun, justru di sinilah hukum perkembangan yang tidak merata tidak dapat diterapkan, karena ia tidak menggantikan dan juga tidak menghapuskan hukum-hukum ekonomi dunia; sebaliknya, ia (‘hukum perkembangan tidak merata’) tersubordinasi kepadanya (‘ekonomi dunia’).

Trotsky melihat keterbelakangan ekonomi Rusia, tidak adanya kredit lembaga internasional, tidak terjadinya revolusi di negeri-negeri Eropa, sebagai halangan yang tak akan bisa diatasi oleh kaum buruh dan rakyat pekerja Rusia. Di samping itu, Trotsky menentang teori Lenin tentang perkembangan tidak merata sebagai sifat absolut dari kapitalisme dan dengan sendirinya juga menentang teori “mata rantai terlemah” yang memungkinkan menangnya revolusi sosialis di satu negeri.

Dengan kata lain, Trotsky tidak percaya kepada kemampuan Partai Bolshevik, tidak percaya kepada kekuatan kelas buruh dan rakyat pekerja Rusia sebagai faktor internal dari pembangunan sosialisme. Trotsky menitik beratkan pada faktor eksternal. Lantas di mana kepandaian Trotsky dalam menerapkan dialektika? [Tatiana Lukman]