SOEKARNO pernah menulis tentang dirinya sendiri untuk surat kabar di mana ia menjadi redaktur. Pada 1941 itu, ia mulai membantu di koran “Pemandangan”. Di awal-awal usianya memasuki 40-an tahun itu Bung Karno menulis sedikit narsis, ”Sukarno, oleh…Sukarno sendiri.’
“Ada orang yang mengatakan Sukarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Sukarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri…Kini saya menjadi pembantu tetap dari ‘Pemandangan’, dan oleh karena artikel-artikel saya nanti tentu akan membawa corak jiwa Sukarno, maka baiklah saya tuturkan kepada Tuan, betapakah … Sukarno itu. Apakah Sukarno itu ? Nasionaliskah ? Islam-kah ? Marxis-kah ? Pembaca-pembaca, Sukarno adalah …campuran dari semua isme itu!”
Tulisan itu berakar pada pemikirannya sejak 1926 yang dimuat di mingguan Suluh Indonesia Muda yang bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”. Dan setelah itu, hingga berpuncak 16 tahun kemudian Bung Karno mulai menemukan sosialisme.
Istilah sosialisme, sosialisme Indonesia, dan masjarakat sosialis Indonesia, bergema terus sejak tahun itu dalam pidato-pidato Bung Karno.
Ia tak membedakan sosialisme a la Indonesia atau Sosialisme Indonesia. “Dan amanat penderitaan Rakjat ini djelas : suatu masjarakat jang adil dan makmur, masjarakat jang dengan perkataan modern ialah masjarakat sosialis. Sosialis a la Indonesia, sosialis menurut kepribadian Indonesia, sosialis Indonesia”.
Dan apakah sosialime menurut Bung Karno? “Satu masjarakat jang adil dan makmur, satu masjarakat jang tiap2 warga negara dapat hidup sedjahtera didalamnja, …………… satu masjarakat jang memberikan kemakmuran kepada seluruh rakjat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.”
Dalam sebuah pidato di sidang MPRS pada 1963, Bung Karno mengatakan: “Jangan dikira sosialisme itu bisa diadakan dengan teror, dengan membakar mobil. Tidak! Kita harus berusaha menyusun alam, yang dinamakan alam sosialisme. Kita juga tidak bisa sekonyong-konyong memohon Ya Allah, Ya Rabbi, minta diturunkan sosialisme supaya gema ripah lohjinawi, tata tentrem kerta-raharja. Innallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bianfusihim, Allah tidak akan mengubah nasibmu, sebelum engkau sendiri mengubah nasibmu.”
Sebenarnya, konsep sosialisme Bung Karno paling jelas terdapat dalam bukunya, “SARINAH—Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia”, yang dicetak ulang pada 1963. Buku itu adalah rangkuman kuliah Bung Karno kepada pemimpin pergerakan wanita Indonesia, di Istana Negara Yogyakarta, pada 1946.
“Saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis buku ini. Justru oleh karena saya mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat sampai di masyarakat sosialis itu,” tulis Bung Karno.
Menurutnya, sosialisme bukan saja satu sistem masyarakat, namun juga teori, ilmu, tuntunan-perjoangan, dan cara berfikir.
“Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, — meski sosialisme yang ‘okjektif’ sekalipun! – tetapi kita harus memfahami teori sosialisme, memfahami cara berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme!”
Setelah melakukan dekrit pada 1959, Bung Karno menjadikan Manipol/USDEK sebagai Konsep Sosialisme Indonesia.
Dalam amanatnya pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961, yang kemudian dibukukan dan diberi judul “Resopim, Revolusi-Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional”, Bung Karno menegaskan tiap-tiap kegiatan harus berdasarkan atas Konsep Sosial yang jelas, yaitu Konsep Manipol/USDEK, Konsep Sosialisme Indonesia.
Namun Bung Karno kemudian diturunkan sebagai presiden dan wafat pada 1970. Ia tak sempat mewujudkan sosialisme yang ia cita-citakan. [DAS]
* Tulisan ini pertama dimuat pada November 2017