Sosialisme Tiongkok di bawah Mao Tse Tung [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kongres ke-19 Partai Komunis Tiongkok (PKT) pada Oktober lalu kembali menyinggung tentang usaha mempertahankan dan mengembangkan sosialisme berkepribadian Tiongkok. Sebuah diskusi yang diikuti Xi Jinping, Presiden Tiongkok sekaligus Sekjen PKT mengimbau para kader dan anggota untuk belajar tentang perumusan sosialisme yang berkepribadian Tiongkok sudah memasuki era baru.

Kader dan anggota diminta agar belajar tentang ciri khas baru perubahan kontradiksi pokok dalam masyarakat, belajar target baru pembangunan negara modernisasi sosialis, belajar tuntutan baru pembangunan partai, mendorong seluruh anggota partai dan rakyat berbagai etnis untuk bersatu padu, maju terus, mendorong kemajuan sosialisme yang berkepribadian Tiongkok pada era baru.

Sementara itu, di belahan dunia lain, terutama di masa era Presiden Hugo Chavez, ia menamai kebijakan reformisnya sebagai “Sosialisme Abad ke-21”. Ketika berhasil memenangi pemilihan presiden pada 1998, ia menjalankan kebijakan dengan menggunakan uang hasil ekspor minyak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai “misi”seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi. Kebijakannya inilah yang dinamai seperti yang sudah disebutkan.

Kampanye demikian menjadikan sosialisme dengan ciri Tiongkok dan sosialisme versi Chavez itu hampir tidak berbeda dengan sistem kapitalisme. Oleh karenanya, meluruskan istilah-istilah yang sudah kadung popular itu menjadi penting. Selain untuk menegaskan perbedaan prinsip kedua sistem, sosialisme kini menjadi sangat penting untuk dipelajari kembali.

Adalah Pao Yu Ching, seorang profesor emeritus bidang ekonomi dari Marygrove College, Amerika Serikat yang menyebutkan sosialisme bukanlah hanya sebuah konsep abstrak atau tidak berwujud. Akan tetapi, sosialisme adalah sebuah contoh gemilang dari apa yang dapat dicapai ketika klas proletar (buruh) memimpin.

Ia karena itu menekankan, sosialisme bukanlah konsep usang atau gagal. Akan tetapi, kaum kontra-revolusioner atau kaum revisionisme modern merebut kekuasaan dari kaum proletar. “Kami hanya perlu merebut lagi kekuasaan dan kami akan melakukannya,” kata Pao Yu Ching ketika menjadi pembicara dalam peringatan 50 tahun Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) di Amsterdam, Belanda pada tahun lalu.

Apa yang dikatakan Pao Yu Ching bukan tanpa alasan. Sosialisme pernah berjaya di Uni Soviet di bawah Lenin dan dilanjutkan Stalin. Pun konsep yang serupa dipraktikkan di Tiongkok di bawah Mao Zedong hingga 1976. Lalu, apa itu sosialisme? Dalam tulisan berjudul  Rethinking Socialism: What Is Socialist Transition? karya Pao Yu Ching bersama Deng Yuan Hsu menjelaskan, sosialis merupakan periode waktu transisi yang mengubah masyarakat non-komunis ke masyarakat komunis.

Selama masa transisi ini, kata Pao Yu Ching, mengutip kata-kata Lenin, tidak seorang pun tahu apa yang terjadi di masa ini. Bahkan Marx atau kaum marxis tidak pernah mengklaim sudah mengetahui jalan menuju sosialis dengan segala kelengkapannya. Jika ada yang mengklaim demikian, “Itu omong kosong,” tulis Pao Yu Ching dengan mengutip kata-kata Lenin.

Yang terjadi di masa transisi sosialis, menurut Pao Yu Ching, massa tahu kekuatan klas yang memimpin, tapi secara konkret dan praktis, semuanya dipelajari berdasarkan pengalaman jutaan orang yang ikut mengambil peran dalam sosialisme. Lantas bagaimana penerapan sosialisme selama masa Uni Soviet di bawah Lenin dan dilanjutkan Stalin serta Tiongkok di bawah Mao Zedong?

Pembangunan Sosialis
Tatiana Lukman dalam bukunya Alternatif menjelaskan, dalam proses pembangunan sebuah sistem ekonomi, politik dan sosial yang sama sekali baru seperti sosialisme tidak bisa terhindarkan adanya perjuangan yang sengit dalam melawan dan menghancurkan semua beban material dan moral, pikiran, adat-istiadat, dan kebiasaan lama yang diwarisi dari sistem lama. Pendeknya perjuangan antara yang lama dan yang baru makan waktu sejarah yang panjang.

Mengutip tulisan Stalin berjudul Economic Problems of Socialism in the USSR, menurut Tatiana, ekonomi sosialis secara bertahap menghilangkan sirkulasi komoditas. Pada masa Stalin, alat-alat produksi bukanlah komoditas. Tujuan produksi sosialis – yang menjadi hukum dasar produksi sosialis – adalah pemenuhan secara maksimal kebutuhan material dan kebudayaan yang terus meningkat dari masyarakat secara keseluruhan.

Kolektivisasi pertanian Uni Soviet di bawah Stalin [Foto: Istimewa]
Kolektivisasi pertanian Uni Soviet di bawah Stalin [Foto: Istimewa]

Seperti Tatiana, Pao Yu Ching mengatakan, tujuan produksi di bawah sosialisme untuk menghasilkan produk yang bernilai sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, hubungan produksinya berubah dari produksi komoditas menjadi non-komoditas. Berbeda secara prinsip dalam hubungan produksi di bawah kapitalisme yang mengejar keuntungan dari penghisapan terhadap kaum buruh. Inilah yang disebut sebagai nilai lebih. Apalagi alat-alat produksi dikuasai oleh pemilik modal.

Sementara pembangunan sosialis Tiongkok di bawah Mao bersandar penuh kepada dukungan masif dan sukarela dari penduduk desa. Mengutip karya profesor emeritus dari Belanda Wertheim berjudul Lasting Significance of the Mao Model for Third World Countries, dalam buku Tatiana disebutkan, strategi yang diterapkan Mao merupakan kelanjutan dari sebuah revolusi sosial yang berhasil manakala kaum tani telah ambil bagian secara aktif atau setidaknya didukung oleh satu pemerintah yang berakar kuat pada kaum tani nasional.

Model perkembangan sosialis Mao bertumpu pada dua prinsip yaitu prinsip berdikari dan prinsip memenuhi kebutuhan manusia sebagai tujuan dari perkembangan. Ide yang sebetulnya tidak asing di Indonesia dan pernah diperkenalkan pada masa Soekarno. Soal prinsip berdikari, menurut Pao Yu Ching, memiliki dua dimensi. Pertama, perkembangan ekonomi harus bersandar kepada pembiayaan dalam negeri yang bersumber dari mobilisasi seluruh sumber-sumbernya sendiri. Kedua, model sosialis Mao adalah memenuhi kebutuhan rakyat sebagai tujuan perkembangan.

Dari sini menjadi jelas apa yang terjadi di Tiongkok dan Venezuela hari ini jauh dari apa yang disebut sebagai sosialisme. Kendati secara politik negara-negara Dunia Ketiga telah merdeka, tidak serta merta membuat mereka merdeka dalam membangun ekonomi nasionalnya. Ekonomi dunia hari ini masih dicengkram imperialisme. Dan seperti kesimpulan Wertheim, hanya negara yang kuat (didukung klas proletar) yang dapat melawan provokasi kuat dan serangan mendadak kekuasaan asing. Sosialisme karena itu bukanlah utopis melainkan sebuah keniscayaan. [Kristian Ginting]