Ilustrasi (AI/AT)

Catatan Cak AT:

“Lama amat ya antre haji?”
“Sabar, kalau antre BPJS aja bisa enam jam, masa nunggu haji 24 tahun nggak bisa?”

Begitulah kira-kira realitas daftar tunggu haji di Indonesia: mirip antrean minyak goreng saat harga subsidi, tapi dalam versi yang jauh lebih panjang dan lebih religius. Dengan jumlah pendaftar mencapai 5,4 juta orang, sementara kuota tahunan kita hanya 221 ribu jemaah, antrean ini bisa lebih panjang dari episode sinetron Tukang Bubur Naik Haji.

Maka, ketika Selly A Gantina, anggota Komisi VIII DPR, menyuarakan bahwa Indonesia semestinya mendapatkan kuota 245 ribu jemaah —karena jumlah penduduk Muslim kita 245 juta— kedengarannya seperti sebuah solusi instan. Bukankah dengan logika proporsional, mestinya setiap 1 juta Muslim dapat jatah 1.000 kursi haji.

Masalahnya, Saudi Arabia bukan penyedia catering prasmanan yang bisa tinggal ambil piring lalu antre makan. Lantas, kalau kita berasumsi bahwa usulan Selly berhasil (meski ini butuh negosiasi yang lebih alot dari urusan revisi UU seperti punya TNI yang superkilat), bagaimana nasib daftar tunggu kita?

Apa mungkin kita buat, katakanlah, skenario penyelesaian daftar tunggu haji. Mari kita coba bikin tiga skenario:

Pertama, Skenario “Realistis” (kuota tetap di 221 ribu jemaah/tahun):
– Waktu penyelesaian daftar tunggu adalah: 24-25 tahun (asalkan tidak ada pendaftar baru).
– Namun, jika ada 100 ribu pendaftar baru setiap tahun, maka daftar tunggu akan terus bertambah dan sampai kiamat pun tak akan pernah selesai.

Kedua, Skenario “Optimis” (kuota naik menjadi 245 ribu jemaah/tahun):
– Waktu penyelesaian: 22 tahun (lebih cepat 2-3 tahun, lumayan buat cucu yang mau daftar dari sekarang).
– Tapi, tetap ada risiko daftar tunggu bertambah jika pendaftar baru lebih cepat dari kenaikan kuota.

Ketiga, Skenario “Mimpi di Siang Bolong” (atas kemurahan hati Saudi yang super, kuota naik drastis jadi 500 ribu jemaah/tahun):
– Daftar tunggu bisa selesai dalam 10-11 tahun. Lumayan.
– Lagi-lagi tapi. Masih dibutuhkan lobi tingkat tinggi dengan Saudi, bahkan mungkin perlu barter, misalnya: “Kamu kasih kami kuota, kami kasih kamu pasokan tenaga kerja skilled.”

Lantas, apa strategi yang mesti dilakukan pemerintah dan BPKH? Sekarang, mari kita menguraikannya secara konstruktif: kalau memang kita serius mau memangkas antrean haji, apa yang harus dilakukan pemerintahan Prabowo Subianto?

1. Lobi Kuota yang Lebih Serius

– Selain minta tambahan kuota, kita bisa menyarankan sistem rotasi antar-negara. Misalnya, kalau ada negara lain yang tidak menggunakan kuotanya secara maksimal, bisa dialihkan ke kita.
– Perlu diplomasi lebih dari sekadar permintaan normatif —mungkin dengan strategi “Soft Power Haji” seperti peningkatan investasi di sektor infrastruktur Arab Saudi sebagai imbalan.

2. Optimalisasi Haji Khusus dan Furoda

– Haji reguler: antreannya panjang karena subsidinya tinggi (pakai dana haji).
– Haji khusus dan Furoda: lebih mahal tapi lebih cepat, sayangnya regulasi masih belum sepenuhnya mengakomodasi. Jika sistem ini diperbaiki, bisa menjadi solusi bagi yang ingin berangkat lebih cepat dengan biaya mandiri.

3. Pengelolaan Dana Haji yang Lebih Adaptif

– Dana haji saat ini dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dengan sebagian besar diinvestasikan.
– Jika ada tambahan kuota, biaya yang harus ditanggung naik. Misalnya, jika setiap jemaah mendapatkan subsidi sekitar Rp 40 juta, maka untuk tambahan 24 ribu jemaah (dengan kuota 245 ribu), negara harus menyiapkan tambahan Rp 960 miliar per tahun.
– Ini berarti investasi dana haji harus semakin cerdas, menguntungkan, dan berisiko rendah. Jangan sampai malah jadi seperti kasus Jiwasraya.

4. Strategi Non-Haji: Promosi Umrah dan Ibadah Alternatif

– Tidak semua orang bisa haji, tapi umrah bisa menjadi solusi ibadah bagi yang tidak ingin menunggu puluhan tahun.
– Jika umrah bisa dibuat lebih masif dan ekonomis, itu bisa mengurangi tekanan terhadap daftar tunggu haji.

Walhasil, desakan agar kuota haji ditambah memang masuk akal, tapi bukan satu-satunya solusi. Bahkan jika kuota naik 24 ribu jemaah pun per tahun, antrean berangkat haji masih panjang.

Maka, strategi yang lebih komprehensif dibutuhkan, termasuk optimalisasi pengelolaan dana haji, diplomasi yang lebih agresif, serta pemanfaatan alternatif ibadah seperti umrah.

Sementara itu, bagi yang masih dalam antrean haji, mari kita terus menjaga kesehatan dan menabung. Karena kalau daftar sekarang, anak kita mungkin sudah kuliah sebelum kita dapat giliran berangkat.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis