Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih

Ilustrasi: Patung Bung Karno di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta/gbk.id

Koran Sulindo – Tak berlebihan jika dikatakan kolonialisme telah melahirkan Indonesia. Dalam pengertian demikian, Indonesia pascakolonial selalu bergulat dengan ambiguitas yang tak terdamaikan.

Bayang-bayang antikapitalisme, anti-imperialisme sebagai ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme di satu sisi dan keinginan mewujudkan tatanan kehidupan sosial-politik berlandaskan nilai-nilai demokrasi di sisi lain, merupakan salah satu contoh betapa rumitnya kesadaran itu.

Jika ambiguitas itu diterima “begitu saja” pada masa pra kemerdekaan, tetapi tidak mudah mengelolanya pada pascakemerdekaan.Oleh karena itu, ironi dan tragedi justru banyak terjadi pada pascakemerdekaan. Para penggagas nasionalisme seperti Soekarno, Hatta dan sebagainya seolah-olah bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut untuk memperoleh maknanya. Dan itu ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Gagasan inilah yang mengantarkan Soekarno, yang semula dibalut atribut kebesaran, pada “kematiannya”.

Nasib serupa menimpa pada gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, mungkin, pada gagasannya mengenai Pancasila. Harus segera ditambahkan, ‘nasib’ itu tidak hanya milik Soekarno, tetapi juga kawan-kawannya seperti Hatta, Sjahrir, Tan Malaka.

Orang tergoda untuk mengatakan, mereka dan gagasan mereka hanya relevan untuk membebaskan Indonesia dari kekuasaan kolonialisme. Setelah itu, Indonesia seolah-olah merupakan sebuah medan pertarungan baru, yang tak pernah terpikirkan. Pada suatu saat, di zaman Indonesia-merdeka, Soekarno bahkan pernah ingin dilupakan. Buku-bukunya dilarang. Pikiran-pikirannya diharamkan (secara resmi hingga saat ini). Tetapi justru karena itu, Soekarno menjadi penting kembali saat ini, setelah upaya melupakan Soekarno (dan kawan-kawan) mengakibatkan krisis-demi-krisis, yang tak kunjung usai.

Pertanyaan yang muncul, ada apa pada Soekarno? Pada pikiran-pikirannya? Dan pada perilaku politiknya?

Baca Juga : Kebangkitan Nasional dan Perjalanan Bung Karno

***

SOEKARNO, pertama-tama harus ditempatkan pada seting pergerakan kebangsaan, yang muncul dan berkembang jauh sebelum ia merumuskan gagasan-gagasannya dan terjun ke dunia pergerakan.

Dia bukan sang pemula. Usia Soekarno jauh di bawah para perintis awal nasionalisme, seperti Dr Tjipto. Ketika Boedi Oetomo dideklarasikan oleh anak-anak School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (Stovia) pada hari Minggu 20 Mei 1908, usia Soekarno belum genap tujuh tahun. Ketika Boedi Oetomo resmi berpolitik yang mengibarkan proyek pemerdekaan Tanah Air dan keutuhan bangsa, Soekarno masih duduk di bangku Europeesche Lagere School, ELS) sekolah menengah Belanda) di Surabaya.

Ia lahir di Blitar, Jawa Timur, dari sebuah keluarga priayi rendahan. Kedudukan sosial ekonomi orangtuanya hanya agak sedikit lebih baik di atas masyarakat miskin di sekitarnya. Karena itu, ia berkesempatan meneruskan sekolah menengahnya di Surabaya.

Di sana ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, yang dipanggilnya Pak Tjok, yang usianya 21 tahun di atasnya. Ia tahu, Tjokro adalah salah seorang pejuang nasionalisme, salah satu pendiri dan pemimpin Sarekat Islam.

“Pak Tjok adalah pujaanku. Aku muridnya”, katanya, meski belakangan ia agak kecewa, karena Tjokro dinilai tidak mampu memberikan kehangatan langsung pribadinya kepada pribadi Soekarno yang masih dalam pencarian. “Tak seorang pun mencintaiku seperti yang kuidamkan”.

Ia merasa, Pak Tjok hanya mengajarkan tentang “apa dan siapa dia”, bukan tentang “apa yang ia ketahui atau tentang apa jadiku kelak”. Kekecewaannya semakin bertambah ketika tokoh-tokoh yang datang ke rumah Pak Tjok pun tak mempedulikan Soekarno. “Mahaputera-mahaputera ini mengacuhkanku, karena aku masih kanak-kanak”. Karena itu ia memilih mengundurkan diri ke dalam “dunia pemikiran”. (Kutipan-kutipan dari Cindy Adam, Bung Karno…)

Usianya baru belasan, ketika ia tenggelam dalam bacaan buku-buku filsafat di perpustakan milik ayahnya, seorang teosof. Aneh, jenis yang digemari adalah jenis buku kerohanian dan “dunia yang lebih kekal”. “Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan aku di sana bertemu dengan orang-orang besar”. “Di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira”.

Di samping membaca filsafat, ia membaca pikiran-pikiran politik Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln, dan JJ Rousseau. Juga Karl Marx, Frederick Engels, Lenin, Voltaire, Danton. Sejauh mana pikiran tokoh-tokoh itu mempengaruhi pikiran-pikirannya, tampak pada periode perkembangan dan kematangannya. Paling tidak, ia mulai menuliskan pemikiran-pemikiran dan mempublikasikan melalui media massa. Konon lebih 500 karangannya dimuat dengan nama-nama samaran: Bima, Srihana, Abdurrahman. Mungkin karena kemajuan intelektualnya ini, ia mulai diajak Pak Tjok mengikuti rapat-rapat partai.

Surabaya awal abad ke-20 tampaknya merupakan antitesis Jakarta. Secara budaya ia lebih terbuka, memungkinkan berkembangnya pikiran-pikiran kerakyatan, sebagai oposisi budaya priayi yang masih berkembang. Masuk akal, jika Sarekat Islam (SI) yang semula lahir sebagai organisasi pedagang di Surakarta, gairahnya lebih tersedot ke Surabaya.

SI lalu berkembang di Surabaya, di tangan Tjokroaminoto yang sangat antidiskriminasi. Soekarno berkembang dari situasi yang sangat dekat dengan sehari-harinya di Surabaya bersama Tjokro. Bukan kebetulan kalau pemikiran kedua orang itu bercorak sosialistis. Tetapi berbeda dengan sosialisme Tjokro yang diinspirasi Islam, Soekarno-mungkin karena bacaan-bacaannya-lebih cenderung ke sosialisme Marxian. Tetapi karena kurang memperoleh pendidikan sistematis mengenai pemikiran “sosialisme”, ia kelak tampil menjadi pemikir sosialis eklektik.

Akan tetapi soal eklektikisme ini bukan hanya milik Soekarno, tetapi milik hampir semua perintis nasionalisme sebelum perang. Dari sekian orang Indonesia yang mengaku dirinya Marxis, relatif sedikit saja yang benar-benar mempelajari dan mengadopsi dasar filosofis teori Marxis. Hanya sedikit di antara mereka yang sungguh-sungguh pernah berlindung langsung dari tulisan Karl Marx. (Mintz, 7)

Baca juga : Nasionalisme-Radikal dan Masa Pasang PNI

Tak diragukan, pembentuk utama corak sosialisme dan nasionalisme Soekarno adalah situasi penjajahan itu sendiri. Pahitnya didiskriminasi, kemiskinan rakyat terjajah, itulah yang menggumpalkan sikap-sikapnya yang jelas-jelas memihak rakyat. Marxisme dan sosialisme, mendapat sambutan karena ada penjelasan dan deskripsi tentang kolonialisme. Bagi umumnya nasionalis Indonesia yang memang membaca karya Marx, karakterisasinya tentang kolonialisme Eropa sebagai “suatu perampokan, perbudakan dan pembunuhan terselubung” mendapat perhatian besar, sama seperti definisi Marxis-Leninis tentang imperialisme.

Pada Soekarno, gagasan marxisme dan sosialisme telah menggumpal di dalam dirinya dalam tiga tema: anti-elitisme, anti-imperialisme dan antikolonialisme. Anti-elitisme Soekarno terlihat pada kritiknya yang tajam terhadap ideologi priayi yang masih kental di tubuh Boedi Oetomo. “Para intelektual harus memikirkan nasib rakyat”, katanya. Kelak tiga tema pemikirannya, dirumuskan kembali secara cemerlang dalam “Nasionalisme Marhaenistis”. Soekarno semakin jelas berpaham nasionalisme primordial. Soedjatmoko menyebutnya nasionalisme Jacobin.

***

SURABAYA menggoreskan bekas yang mendalam, mungkin juga kegalauan di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya ia menyaksikan sebuah degup pergerakan kebangsaan, yang digerakkan oleh aliran-aliran utama Islam dan komunisme. Pengalaman ini kelak sangat mempengaruhi pemikirannya.

Pada periode tahun 1916-1921, Sarekat Islam yang mencapai tahap kematangannya, sangat bersifat inklusif, mewadahi berbagai pandangan politik, dari pan-Islamis konservatif, hingga marxisme radikal. SI pernah membuktikan bahwa gerakan ini mampu mengatasi keanekaragaman isme-isme. Pada saatnya, pemimpin SI, Tjokroaminoto-pria kelahiran Madiun itu-mampu memobilisasi kesadaran rakyat, yang terdiri kaum miskin yang terjajah, hingga ia dianggap penjelmaan Ratu Adil. Karena sikap pribadinya yang menentang diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial, ia juga sering disebut “Gatutkoco Sarekat Islam”. (Noer, 122)

Ia berhasil mengantar SI sebagai partai politik terbesar pertama yang mampu menarik massa ratusan ribu anggota yang penuh semangat.

Ketika pada tahun 1921 Soekarno meninggalkan Kota Surabaya yang dijulukinya “dapur nasionalisme” itu, di dalam tubuh SI telah terbelah menjadi dua, setelah sebelumnya terjadi pergumulan yang sangat keras, antara kaum Islam yang dibakar semangat pan-Islamisme seperti Moeis dan Salim, dengan kaum Marxis yang terobsesi dengan kemenangan Jepang atas Rusia. Semaun adalah salah satunya. Semula tarikan Semaun tampaknya berpengaruh dalam SI.

Pada kongres ketiga, tahun 1918 di Surabaya, SI menyepakati “pemogokan buruh yang teratur untuk memperbaiki nasib, mencari keadilan dan melawan perbuatan sewenang-wenang… (dan) akan memajukan ikhtiar kaum buruh buat memperbaiki nasib, mencari keadilan dan melawan perbuatan sewenang-wenang itu”. Partai bahkan akan membantu pemogokan-pemogokan itu. Pada kongres tahun berikutnya, ditegaskan lebih rinci mengenai tata cara mogok. Tidak hanya itu, pemimpin-pemimpin Sarekat Islam juga bergabung pada serikat-serikat kerja yang ada untuk memberikan dukungannya. Tjokroaminoto, Moeis, Salim kemudian juga memberikan bantuan dalam kepemimpinan pergerakan buruh. (Noer, 135)

Akan tetapi pada bulan Mei 1920, sayap kiri SI membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Komunis Indonesia. Anggota-anggotanya dibiarkan memiliki keanggotaan ganda di PKI dan di SI, dengan tujuan mengontrol SI dari dalam. Sebelum berdirinya PKI, para pemimpin komunis membentuk serikat-serikat kerja di cabang-cabang SI. Sehingga PKI mampu membangun pengikut-pengikut yang substansial, terutama lewat serikat-serikat kerja. PKI mengorganisasi kaum buruh untuk melakukan pemogokan, dan menggiring mereka menuju konfrontasi dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, SI sendiri semakin menekankan watak Islamnya.

Di bawah arahan Agus Salim, dalam Kongres SI pada tahun 1921 di Surabaya, SI melarang anggotanya menjadi anggota partai politik lain, sebagai usaha untuk melindungi watak Islamnya.

Tjokroaminoto sendiri masih di tahanan ketika kongres berlangsung. Menurut Salim, penetrasi dasar-dasar bukan Islam yang selama ini masuk dalam lingkungan partai, telah melemahkan partai. “(Kita) tidak perlu mencari isme-isme lain yang akan mengobati penyakit pergerakan. Obatnya ada di dalam asasnya sendiri, asas yang lama dan kekal, yang tidak dapat dimubahkan orang, sungguhpun sedunia memusuhi dengan permusuhan. Asas itu ialah Islam”. Kebijakan ini membuat SI merosot sebagai suatu kekuatan politik. SI bahkan tidak saja kehilangan sayapnya yang radikal, bahkan sayap kanan Islamis, satu demi satu meninggalkan SI.

Organisasi Muslim berdiri bernama Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 di Surabaya, melengkapi Muhammadiyah yang berdiri 15 tahun sebelumnya di Yogyakarta. Tokoh-tokoh kedua organisasi ini, semula pendukung kuat Sarekat Islam.

Bandung segera menjadi daya tarik baru bagi Soekarno yang selalu gelisah itu. Ia menamatkan Technische Hoge School (THS) dan dilantik menjadi insinyur pada 25 Mei 1926. Di sini ia bertemu dengan tokoh Islam modernis dari Persatuan Islam, A Hassan. Di sini pula, konon, ia bertemu dengan petani kecil bernama Marhaen yang kelak dijadikan ikon ‘ajaran-ajaran’ populis-nya. Ia terjun ke dunia politik secara total, pertama dengan ikut mendirikan Algemene Studie Club Bandung, tahun 1926, dan setahun kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia.

Pemikiran nasionalisme Soekarno tampak lebih menemukan bentuknya. Menurut Soekarno, “nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukan nasionalisme ke-Barat-an”, bahwa istilah itu tidak ada hubungannya dengan chauvinisme ataupun dengan “nasionalisme yang serang menyerang”.

Mengenai marhaeinisme nasionalistis, Soekarno mengatakan “banyak di antara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan:

“Jempol sekali jikalau negeri kita bisa seperti negeri Jepang atau negeri Amerika atau negeri Inggris! Armadanya ditakuti dunia, kotanya haibat-haibat, bank-banknya meliputi dunia, benderanya kelihatan di mana-mana! … Kaum nasionalis yang demikian itu lupa, bahwa barang-barang yang haibat itu adalah hasil kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri ini adalah tertindas… Mereka hanyalah ingin Indonesia-Merdeka sahaja sebagai maksud yang penghabisan”. (Di Bawah Bendera Revolusi)

Pergulatannya yang tak selalu manis dengan isme-isme, tak membuatnya kehilangan optimismenya untuk mempersatukan gerakan-gerakan kebangsaan. Perpecahan dalam tubuh SI mungkin membuatnya berpikir keras untuk mencari jalan mempersatukan dua ideologi yang saling bertentangan itu.

Pada Majalah Indonesia Muda edisi pertama, kedua dan ketiga, yang diterbitkan ASC, Soekarno menulis Nasionalisme, Islam dan Marxisme, suatu uraian yang paling jelas tentang pokok-pokok pikiran Soekarno, bahwa gerakan-gerakan Islam, Marxis dan Nasionalis di Indonesia berasal dari suatu dasar yang sama, yaitu hasrat kebangsaan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme. Soekarno, jelas sekali mengimbau tiga kekuatan ideologi politik itu harus bersatu dalam menghadapi musuh bersama.

Mungkin saja merupakan suatu kebetulan, tulisan Soekarno itu terbit bersamaan dengan aksi faksi revolusioner dalam PKI yang melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial di Jawa Barat, pada November 1926. Eksperimen pemberontakan yang tampaknya tidak direncanakan dengan baik itu, berakhir menjadi petaka bagi PKI. Untuk pertama kalinya, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan ribuan anggotanya dipenjarakan atau dibuang ke Digul. Mungkin saja, Soekarno tahu PKI ternyata tidak memiliki organisasi dan kekuatan yang cukup untuk melaksanakan rencananya secara baik. Tetapi, sejauh ini ia tak bereaksi negatif atas peristiwa ini.

Sikap Soekarno ini sama dengan sikap Hatta, yang memimpin Perhimpunan Indonesia di Belanda, juga tidak bereaksi negatif atas radikalisme PKI itu. Bahkan Hatta marah, ketika alumni PI di Bandung-yang merancang membuat partai baru-menolak orang PKI untuk menjadi anggotanya, dengan alasan Pemerintah Belanda sedang melancarkan tekanan-tekanan keras kepada PKI. Ada kemungkinan, tekanan itu juga akan dilancarkan kepada organisasi-organisasi yang menerima PKI sebagai anggota. Pada 2 Juni 1926, Hatta menulis surat kepada Sudjadi,

“Kami yang ada di sini (di Belanda) … sedang berusaha membentuk suatu blok nasionalis yang berintikan kaum nasionalis radikal yang kuat, termasuk orang komunis. Kerja sama dengan orang komunis tidak ada bahayanya; malahan sebaliknya, asal kita tidak melengahkan dasar-dasar ideologi kita sendiri, akan bertambah kuat membentuk blok nasionalis”. (Ingleson, 17)

Bagi Hatta, kerja sama itu mudah karena kaum komunis mempunyai tujuan yang sama, yakni Kemerdekaan Indonesia. “Saya melihat, bahwa orang komunis Indonesia sebenarnya orang nasionalis yang tersembunyi”, tulis Hatta. Sejauh mereka mengikuti pola perjuangan kelas seperti teman-temannya di Eropa, maka, kata Hatta, mereka sama dengan kita. “Apakah mereka kelak akan tetap menjadi komunis setelah kemerdekaan nanti, marilah kita tunggu”. (Ibid, 18)

***

SEPERTI umumnya pemimpin revolusi sezamannya, Soekarno mengorganisasikan pikirannya dengan lebih dahulu belajar “menamai” dunianya. Bagi Soekarno sama sekali bukan imajiner, ketika ia menamai dunianya dengan ‘Indonesia’, sebagai kulminasi terbaik yang diangan-angankan oleh orang mengenai Tanah Air selama masa kolonial. Ia mengenal lebih dari batas-batas tanah kelahirannya, Jawa. Ia bertemu dengan kaum muda dari Sumatera, Minahasa, Makassar. Apalagi ia pernah mengalami pembuangan di Bangka, dan Ende. Pasti pula ia mendengar cerita mengenai Digoel, tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir. Begitu pula, ketika ia menamai gagasannya dengan Marhaenisme, yang, katanya, marxisme yang dipraktikkan di Indonesia. Bentuk ‘terapan’ marxisme ini adalah program yang kandungannya ingin diwujudkan melalui koalisi faksi nasionalis, agama dan komunis. Ia memastikan posisinya dalam tiga kekuatan itu, dengan segala pertaruhannya.

Akan banyak harimau mati karena belangnya. Dan Soekarno mati karena gagasannya. Era pascakolonial, Soekarno tetap berpegang pada gagasan yang dikembangkan di Bandung, yang ingin mempersatukan isme-isme besar: nasionalisme, Islam, dan komunisme. Untuk yang kedua kalinya, ia menyaksikan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melawan pemerintah, pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan ribuan anggotanya dipenjarakan, dibunuh atau dibuang. Soekarno di-impeach karena dianggap tidak bisa mempertanggungjawabkan gagasannya.

Sejak semula, Soekarno menggagas nasionalisme yang primordialistis. Ia mengidentifikasi Indonesia-nya sebagai keniscayaan dari proses historis yang panjang. “Indonesia” bukan identitas yang baru. Kolonialisme-lah yang mengubur identitas itu. Nasionalisme mengemban tugas mengartikulasikan identitas itu kembali. Corak pemikiran itu kurang menyadari ancaman tersembunyi dari watak yang melekat pada “negara”, betapapun negara itu dianggap antitesis negara kolonial.

Perjalanan Soekarno selanjutnya diwarnai kegamangannya melihat rumitnya kenyataan negara yang impersonal, tanpa hati, dan begitu mudahnya menjadi alat kaum elite memaksakan kepentingan ekonomi-politiknya. Soekarno, karena lebih berpikir mengenai “bangsa” (nation building) ketimbang soal state. Padahal guru Marx wanti-wanti sejak lama soal yang satu ini.

Maka, begitu proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, negara baru lahir, Soekarno yang didaulat menjadi presidennya, terhenyak dari dua sisi. Pada sisi pertama, ia melihat Belanda sama sekali tidak mau kehilangan bekas jajahan mereka begitu saja. Dengan segala upaya, ia menguasai kembali kota-kota utama, dan berusaha memecah-belah perlawanan dengan membentuk negara-negara kecil, suatu negara federal terdiri dari enam negara dan sembilan daerah istimewa. Tidak hanya itu, Belanda pun masih menguasai ekonomi Indonesia hingga tahun 1954. Sembilan puluh persen modal yang ditanam dalam usaha perkebunan adalah modal Belanda.

Di tengah situasi itu, Soekarno mendapatkan kenyataan pahit lain. Kawan-kawannya sesama perintis pembebasan, membangkitkan pemberontakan-pemberontakan lokal dengan menolak tunduk kepada pemerintah pusat. Kartosuwiryo mendirikan negara Islam “Darul Islam”, Kahar Muzakkar mengupayakan hal yang sama di tanah Bugis, Daud Beureuh memimpin gerakan otonomi, juga mengikuti Kartosuwiryo.

Himpitan-himpitan itu membuat Soekarno secara internasional berada di kubu “anti-imperialis”. Ia mengundang negara-negara Asia-Afrika menyelenggarakan konferensi besar di Bandung (1955). Di dalam negeri, ia mengubah politiknya tampak secara drastis hanya mengandalkan dukungan unsur-unsur radikal, menghapus sistem parlementer dan terutama menasionalisasi sebagian besar kekayaan asing. Ia, terutama, melihat kelompok militer-yang tak pernah ia perhitungkan-mengingini sistem politik yang lebih pro-Barat. Sistem pemerintahan yang baru itu menempatkan dirinya sebagai pusat kekuasaan. Dan sejarah berikutnya menyaksikan pertarungan antara Soekarno yang nasionalistik dan militer yang pro-Barat. Pertarungan dimenangkan militer.

Ketika seratus tahun yang lalu, sedikit anak bangsa menggeliat menggagas identitas nasional mereka, mungkin tak terbayangkan krisis demi krisis akan menimpa bangsa ini. Justru ketika kemerdekaan politik diraih. Hak menentukan nasib sendiri terpenuhi. Bentang Tanah Air “bak untaian zamrud” telah bersatu di bawah satuan administrasi bernama Republik Indonesia. Lengkap dengan Merah Putih, burung garuda dan lagu kebangsaan yang penuh semangat.

Apa lagi yang tersisa dari ‘imajinasi’ para perintis nasionalisme di awal abad yang lalu? Tepat di sini kita memperingati 100 tahun hari jadi Soekarno, salah seorang penggagas nasionalisme, sekaligus yang ‘ditakdirkan’ menjadi pelaksana gagasan-gagasannya sendiri.

Akan tetapi, kini kita menyaksikan sebuah bangsa yang letih. Orang ragu pada penyelesaian krisis, karena sejarah pertarungan politik saat ini ternyata masih berputar pada sumbu yang sama. [M. Imam Azis]. Disalin dari Seratus Tahun Soekarno, Kompas, Edisi Khusus, 1 Juni 2001.