llustrasi: Bung Karno ketika berpidato [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Sekitar puluhan tahun yang lalu, Bung Karno telah memperkenalkan satu istilah baru: Marhaenisme. Terminologi ini diambil dari nama seorang petani kecil di daerah Priangan, yaitu Desa Cigereleng, bagian Bandung Selatan.

Mengapa memakai nama Marhaenisme? Bung Karno memakai nama itu setelah melalui penelitian yang terus-menerus, beliau menemukan bahwa proses pemiskinan rakyat Indonesia adalah akibat adanya satu sistem eksploitasi (penghisapan) yang dilakukan oleh satu kekuatan tertentu terhadap rakyat Indonesia. Dari studinya mengenai sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia, Bung Karno menemukan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan berkuasa di negeri kita, sebagian besar rakyat Indonesia dieksploitisir oleh sistem feodalisme. Kemudian, tatkala penjajah Eropa datang ke negeri kita, maka penindasan atau pengeksploitasian itu dilanjutkan.

Jika raja-raja mengeksploitir rakyat Indonesia dengan sistem feodalisme, maka kaum penjajah mengeksploitir rakyat Indonesia dengan apa yang kita kenal sebagai sistem imperialisme. Sistem imperialisme itu sendiri lahir dari tatanan kapitalisme, yang sejak abad ke-16 mulai berkembang di Eropa. Begitulah hasil yang ditemukan Bung Karno tentang sebab-sebab kemiskinan rakyat Indonesia, melalui studi yang bertahun-tahun tersebut.

Sebagaimana lazimnya, suatu penelitian memerlukan metode analisis. Di sini Bung Karno menggunakan ilmu pengetahuan Marxisme sebagai metode analisa, yang dalam kata-kata Bung Karno disebut “pisau analisa”. Meskipun Bung Karno mempelajari Marxisme hingga dapat menggunakan metode itu untuk menganalisa keadaan yang ada di Indonesia, beliau bukanlah seorang komunis. Sebab ilmu Marxisme yang sudah dipahami Bung Karno itu tidak langsung dilaksanakan di sini. Bung Karno terlebih dahulu mengamati, mempelajari susunan masyarakat, terutama kultur Indonesia, dan membandingkan dengan susunan masyarakat serta kultur masyarakat Eropa, di mana Marxisme itu lahir. Jika di Eropa Marxisme itu melandaskan basis perjuangannya pada kaum proletar, yakni kaum buruh yang tidak memiliki modal, maka di Indonesia Bung Karno menjadikan basisnya pada rakyat Indonesia yang dimelaratkan oleh sistem imperialisme tadi. Mereka yang dimelaratkan oleh sistem imperialisme itu, adalah orang-orang kecil, seperti pedagang dan buruh, tapi yang lebih banyak adalah petani kecil.

Si Marhaen itu sendiri, seperti sering dituturkan oleh Bung Karno (juga diuraikan oleh Cindy Adams dalam bukunya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia) adalah seorang petani kecil yang bernama Marhaen. Menurut Bung Karno, basis kekuatan perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialisme itu, haruslah datang dari mereka yang dimelaratkan oleh sistem tersebut. Semua golongan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia dimelaratkan oleh sistem imperialis tersebut, dan mereka semua itulah yang dirumuskan Bung Karno sebagai Marhaen. Dan Marhaenisme adalah isme-nya kaum Marhaen. Oleh karena itu Marhaenisme merupakan doktrin perjuangan yang menyatukan seluruh potensi rakyat Indonesia yang serba kecil itu, untuk menumbangkan tatanan kapitalisme, yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme.

Perlu saya ulang kembali, bahwa Bung Karno menggunakan Marxisme sebagai pisau analisa untuk membedah problematik sosial. Sedangkan ajaran Marhaenisme yang diutarakan Bung Karno itu berbeda dengan Marxisme, yang menggunakan terminologi proletariat. Dengan kata lain, Marhaenisme dilahirkan dalam suasana agraris, di mana masyarakatnya ditindas, dieksploitir oleh imperialisme. Sedangkan proletariat adalah produk budaya kapitalis, di mana proses industrialisasi yang dimonopoli kaum modal mengeksploitir kaum pekerja. Tegasnya, Marxisme membela kaum pekerja yang dieksploitir kaum modal (kapitalis), sedangkan Marhaenisme membela si Marhaen yang dimiskinkan akibat adanya “pergaulan” yang imperialistik.

Oleh karena itu, jika kaum Marxis menyerukan, “Hai kaum proletar bersatulah, engkau tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali rantai belenggumu!”, maka Bung Karno menyerukan, “Hai seluruh rakyat Indonesia, bersatulah dan berjuanglah untuk memperoleh kemerdekaan!”

Mengapa persatuan seluruh rakyat Indonesia yang dijadikan landasan utama oleh Bung Karno untuk memperjuangkan kemerdekaan? Hal ini berdasarkan pengetahuan Bung Karno pada sejarah pertumbuhan bangsa Indonesia, bahwa berbagai perlawanan yang sifatnya sporadis, terpisah-pisah dan kedaerahan, berhasil dipatahkan oleh Belanda. Di sini tampak bagaimana pentingnya penggunaan analisasi pengetahuan modern untuk melawan imperialisme. Dalam hal ini Bung Karno berhasil melakukan dengan baik, hingga tepat jika beliau menyatakan dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat”.

Mengapa Bung Karno mampu menjadi penyambung lidah rakyat? Kita tahu, Bung Karno selain memahami ilmu pengetahuan modern untuk menyusun kekuatan dan menggunakan kekuatan itu, maka beliau juga memahami sejarah dan sosio-kultural Indonesia. Berbeda dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta yang lama bersekolah di luar negeri, yang menyebabkan pengenalan mereka terhadap sosio-kultural Indonesia agak kurang, maka Bung Karno memahami benar sosio-kultural rakyat Indonesia. Misalnya, Bung Karno memahami background dari apa yang di kalangan rakyat disebut ramalan Joyoboyo, seperti juga beliau mengetahui dengan pasti tamsil Ratu Adil. Apalagi juga Bung Karno menguasai cerita pewayangan. Bahkan, lebih dari itu, juga memahami karakteristik dari rakyat Indonesia. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno mengatakan supaya perjuangan kita hendaknya “memikul dan terpikul oleh natuur”.

Ini berbeda dengan kaum intelektual lain, yang pada masa itu lebih cenderung untuk menguasai ilmu pengetahuan modern (Barat) semata, sementara mereka kurang menguasai sejarah dan sosio-kultural bangsanya sendiri. Akibatnya, banyak pemikiran dari kaum intelektual ini yang kurang dimengerti oleh rakyat. Hal-hal itulah yang menimbulkan kesalahpahaman, baik dalam visi maupun dalam praktik di lapangan. Beruntunglah kita, karena pemikiran rasional yang ada pada Bung Karno bisa bertemu dengan pemikiran rasional Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, dalam paduan yang isi-mengisi, bersuasana ke-Indonesia-an yang khas. Hal itu bisa terwujud karena mereka semua adalah orang-orang yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah Air yang sangat mereka cintai.

Pemikiran Bung Karno yang bertolak dari ilmu pengetahuan modern, yang berpadu dengan karakteristik Indonesia dan mewujud pada satu doktrin perjuangan, menyebabkan saya berpendapat bahwa Soekarno adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Soekarno. Sebab doktrin perjuangan yang diformulasikan Bung Karno itu mencerminkan karakteristik bangsa kita, yang “memikul dan terpikul oleh natuur Indonesia”.

Rasional dan Mitos
Sebagai seorang pejuang dan pemimpin yang rasional, Bung Karno telah berhasil merumuskan satu doktrin perjuangan, yang beliau namakan Marhaenisme. Paham ini nyata mampu menyatukan segenap potensi rakyat Indonesia dalam menumbangkan imperialisme. Dan sebagai pemimpin yang mengenal karakteristik Indonesia, Bung Karno memahami sejarah, kebudayaan dan tradisi masyarakat Indonesia, sehingga dapat menumbuhkan mitos masyarakat, bahwa, “orang cebol hanya seumur jagung datang di Tanah Jawa”. Akan tetapi di luar kepercayaan masyarakat seperti itu, Bung Karno juga melakukan studi ke depan, dan berkesimpulan bahwa bila terjadi perang di Lautan Teduh, kekuatan Jepang tidak sebanding dengan kekuatan lawan-lawannya. Jadi, mitos di kalangan orang Jawa, yang percaya bahwa Jepang hanya tahan seumur jagung, serta perkiraan futuris yang menyimpulkan kekuatan Jepang tidak sebanding dengan lawannya, menyebabkan Bung Karno melakukan siasat, bekerja sama dengan Jepang.

Menurut pendapat kalangan intelektual yang telah menimba pengetahuan dari Barat, mitos atau kepercayaan semacam itu tidak rasional, dan sedikitpun tidak bermanfaat bila kita mempercayai dan menggunakannya. Oleh karena itu, tatkala Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir mengadakan musyawarah tak lama setelah Jepang masuk di Indonesia untuk menyusun siasat menghadapi Jepang, Sutan Sjahrir dan beberapa orang pengikutnya—di antaranya saya—tidak mau bekerja sama dengan Jepang. Kami lebih setuju melakukan perlawanan terhadap Jepang—sebagai penjajah—dengan berjuang di bawah tanah. Berjuang di bawah tanah, dengan sendirinya tidak kelihatan di permukaan dan juga tidak dikenal oleh masyarakat. Akibatnya, dalam kancah perjuangan yang menentukan nasib bangsa itu, Sutan Sjahrir dan kelompoknya kurang dikenal rakyat. Sebaliknya Bung Karno dan Bung Hatta, yang memilih taktik dan siasat bekerja sama dengan Jepang, bukan sekadar dikenal oleh rakyat, malah mereka diakui rakyat sebagai pimpinan. Itu adalah karena kecerdikan Bung Karno dan Bung Hatta dalam memanfaatkan segala sarana yang disediakan Jepang untuk mendidik rakyat, terutama generasi muda, agar memiliki kesadaran berpolitik. Bahkan lebih jauh dari sekadar kesadaran berpolitik, Bung Karno dan Bung Hatta sanggup memanfaatkan fasilitas Jepang itu untuk menggembleng ribuan pemuda Indonesia di bidang keprajuritan, seperti antara lain dilakukan di lingkungan PETA.

Memang taktik dan siasat untuk bekerja sama dengan Jepang itu membuat pihak musuh (Barat) menganggap Bung Karno dan para pemimpin lain dalam “PUTERA” (Pusat Tenaga Rakyat) adalah boneka Jepang. Tuduhan seperti itu sebenarnya tidak sehina dibanding dengan kenyataan yang diperoleh bangsa Indonesia. Sebab dengan taktik dan siasat tadi, Bung Karno berhasil menyiapkan beberapa persyaratan yang demikian vital untuk menyongsong perjuangan kemerdekaan. Dan memang, kenyataan membuktikan bahwa ramalan dengan tamsil “orang cebol hanya seumur jagung menguasai tanah Jawa” menjadi peristiwa yang konkret pada tahun 1945, setelah Amerika Serikat, yang tergabung dalam pasukan Sekutu, menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tidak pernah diduga, bahwa Amerika akan menjatuhkan bom atom di Jepang. Bagaimanapun, ledakan bom atom itu telah menyebabkan Kaisar Hirohito mengeluarkan pengumuman, menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Pengumuman penyerahan yang demikian tiba-tiba itu telah menyebabkan keterkejutan pada balatentara Jepang terutama di Indonesia. Setelah Kaisar Hirohito mengumumkan penyerahan itu pada tanggal 15 Agustus 1945, pihak Sekutu menetapkan bahwa pasukan Inggris akan mengurusi pelaksanaan penyerahan Jepang itu di Indonesia. Ini membuka vacuum of power, kekosongan kekuasaan di Indonesia, karena pasukan Inggris yang terdekat dengan Indonesia berada di India atau Australia, hingga diperlukan waktu lebih dari satu bulan untuk mengirimkannya ke wilayah Indonesia.

Suasana vakum kekuasaan lebih satu bulan itu dengan amat efisien dimanfaatkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam persiapan dan pelaksanaan proklamasi itu, Bung Karno-Bung Hatta dibantu sepenuhnya oleh semua potensi yang ikut berjuang waktu itu, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi.

Hari-hari pertama dari berdirinya negara Republik Indonesia itu, diwarnai dengan suasana dinamika perjuangan yang demikian tinggi. Berbagai aksi pemuda bermunculan di mana-mana, termasuk penghimpunan senjata dan penyusunan pasukan, dan juga penghimpunan massa. Salah satu diantaranya adalah rapat raksasa di lapangan Ikada (lapangan Monumen Nasional sekarang) di mana pemuda mendesak Soekarno-Hatta secepatnya mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Malah para pemuda demikian bersemangat, mendesak Bung Karno-Bung Hatta agar dengan kekerasan mengambil kekuasaan formal dari Jepang.

Ternyata Bung Karno mampu menyalurkan semangat pemuda tanpa harus menimbulkan konflik yang tidak perlu dengan Jepang. Beliau datang dan tampil berpidato di lapangan Ikada, di depan ratusan ribu massa yang semangatnya nyaris tak terkendali. Bung Karno minta supaya rakyat mendukung dan taat kepada Pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk itu. Dan sebagai konsekuensi untuk mentaati pemerintah, Bung Karno menyuruh massa dengan tenang kembali ke rumah masing-masing. Hanya beberapa kalimat saja yang diucapkan oleh Bung Karno, tetapi nyatanya rakyat mematuhi perintah Bung Karno.

Namun, kebijaksanaan Bung Karno untuk menghindari konflik dengan tentara Jepang yang masih menguasai senjata seperti itu mengundang prasangka dari kalangan generasi muda. Ada yang menuduh, Bung Karno tidak revolusioner menghadapi Jepang. Namun belakangan baru kita ketahui, bahwa menurut Bung Karno, pasukan Jepang yang sudah kalah perang itu tidak perlu dihadapi dengan aksi kekerasan. Pasukan itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena semangatnya sudah loyo. Sikap dan kebijaksanaan Bung Karno seperti itulah yang mampu menuntun perjuangan Indonesia ke masa selanjutnya. [Soebadio Sastrosatomo, disalin dari buku Bung Karno Dalam Pergulatan Pemikiran]