Koran Sulindo – Sejak semula, Soekarno sadar betul bahwa revolusi bangsa Indonesia sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang terbenam di alam feodalisme ratusan tahun lamanya.
Itu harus mencakup revolusi politik dalam lingkup nasional dan revolusi sosial.
Revolusi politik bertujuan mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme untuk mencapai Negara Republik Indonesia. Sedangkan revolusi sosial ditujukan untuk merombak struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.
Berpidato di pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan majelis sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengajukan prinsip kesejahteraan sebagai salah satu philosofische grondslag.
Kesejahteraan itu harus berprinsip tunggal dan itu berarti memastikan tidak ada lagi tempat bagi kemiskinan di alam Indonesia yang merdeka.
Soekarno menjelaskan bahwa kesejahteraan tak ada hubungannya dengan segala tetek bengek demokrasi seperti Badan Perwakilan Rakyat.
Ia mencontohkan meski di negara-negara Eropa ada Badan Perwakilan dalam demokrasi parlemen, tapi toh nyatanya justru kaum kapitalislah yang merajalela. Hal yang sama juga terjadi di Amerika.
Tidak Cukup Demokrasi Politik
Badan-badan perwakilan rakyat yang dibuat di sana sekadar mencomot begitu saja resep kuno dari Revolusi Prancis. Semata-mata demokrasi politik, minus sociale rechtvaardigheid atau keadilan sosial dan demokrasi ekonomi.
Mengutip kalimat seorang pemimpin Prancis, Jean Jaures, Soekarno menggambarkan demokrasi politik memang memberikan hak politik yang sama.
Tiap orang boleh memilih dan tiap-tiap orang juga boleh masuk parlemen. Namun tanpa sociale rechtvaardigheid, kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat tidak bakal maujud.
Di parlemen meski wakil kaum buruh bisa bertindak seperti Raja dengan menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Namun di dalam tempatnya bekerja di pabrik ia bisa dilempar ke jalan raya.
“Sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos tidak dapat makan suatu apa. Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?” tanya Soekarno kepada anggota sidang Dokuritsu Junbi Cosakai.
Lebih lanjut Soekarno menawarkan usul demokrasi yang bakal diapakai sebagai philosofische grondslag bukanlah demokrasi barat. Tetapi sebuah permusyawaratan yang memberi hidup. Demokrasi ekonomi dan politik yang sanggup menciptakan kesejahteraan sosial.
Ini yang yang menurut Soekarno selalu dibicarakan rakyat Indonesia dari zaman ke zaman dalam konsep Ratu Adil!
Menurut Soekarno, Ratu Adil adalah konsep dari sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Mereka yang merasa dirinya kurang makan dan kurang pakaian begerak menciptakan dunia baru yang di dalamnya mutlak memberlakukan keadilan sociale rechtvaardigheid.
“Jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, bukan saja persamaan politiek saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya,” kata Soekarno.
Soekarno membayangkan badan permusyawaratan yang akan dibuat tak semata-mata permusyawaratan di bidang demokrasi politik saja. Tapi sebuah badan yang yang bersama dengan masyarakat sanggup mewujudkan dua prinsip utama, politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua!,” kata Soekarno.
Selain mengusulkan empat prinsip yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat dan Kesejahteraan Sosial sebagai philosofische grondslag, Soekarno mengusulkan prinsip Ketuhanan sebagai prinsip kelima.
Lima philosofische grondslag itu menurut Soekarno bisa disarikan lagi menjadi tiga dan bisa diperas lagi menjadi yang merupakan satu penemuan yang tulen Indonesia. Gotong royong.
Gotong Royong adalah pemahaman yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan yang statis. Gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal atau satu pekerjaan.
“Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!” kata Soekarno.
Gotong royong mencampur dalam tujuan bersama mereka yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan dengan melebur menjadi hanya satu yakni Bangsa Indonesia.
Ini yang dimaksud dengan sociale rechtvaardigheid.
Prinsip Keadilan
Oleh Panitia Sembilan, prinsip kesejahteraan yang disebut sebagai prinsip keempat dalam pidato Soekarno ditetapkan sebagai sila ke-5 dengan penyempurnaan redaksi menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Tak hanya termuat dalam sila kelima Pancasila, Pembukaan UUD 1945 juga mengistimewakan prinsip-prinsip itu sehingga kata ‘adil/keadilan’ dan prinsip keadilan hampir ada di semua alinea –kecuali alinea ke-3.
Pada alinea pertama prinsip itu terkandung pada komitmen penegakan keadilan secara universal, yang diungkapkan pada kalimat “maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Di alinea kedua dinyatakan tentang impian di seberang jembatan emas kemerdekaan, dalam rangka mewujudkan ‘Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Sedangkan pada alinea keempat dinyatakan tentang tujuan nasional adalah memajukan ‘kesejahteraan umum’ yang tentu saja mengandung prinsip keadilan. Alinea ini juga mengaskan komitmen untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Ketika menyampaikan pidatonya dalam kuliah umum di Istana Negara pada tanggal 3 April 1958, Soekarno kembali mengingatkan tokoh-tokoh pergerakan yang rela mengorbankan dirinya dan berjuang untuk menciptakan Indonesia yang adil makmur.
Ia mengingatkan cita-cita zondig kapitalisme yang diusung Tjokroaminoto, juga tokoh-tokoh lain seperti Semaoen, Dr. Tjiptomangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, Douwes Dekker dan puluhan ribu orang meringkuk di dalam penjara Kalisosok di Surabaya, Pamekasan, Nusakambangan, Pekalongan hingga Sukamiskin di Bandung.
Juga mereka yang dengan muka tersenyum membawa istri dan anaknya sebagai orang buangan pergi ke hutan rimba raya Boven Digul, Tanah Merah dan Tanah Tinggi.
“Untuk cita-cita ini, kecuali cita-cita politik yaitu negara yang merdeka. Kalau kita ingat akan korbanan-korbanan ini, kalau kita ingat akan perjuangan-perjuangan ini, Saudara-saudara, maka kita mendurhakai Proklamasi 17 Agustus 1945, kalau kita tidak setia kepada cita-cita masyarakat adil dan makmur,” kata Soekarno.
Benarkan saat ini kita termasuk golongan yang durhaka itu? (TGU)