Ekonom yang mantan Kepala Bulog dan mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, juga mengatakan, masalah yang selalu menghiasi krisis beras adalah soal data. Sepengalamannya, Kementerian Perdagangan dan Bulog selalu menginginkan impor beras. “Sebab, ada komisi 20-30 dolar per ton. Transaksinya di luar negeri, account bank juga berada di luar negeri. Tetapi, Kementan selalu bilang produksi lebih dari cukup. Sebab, ini terkait dengan prestasi mereka. Faktanya, angka yang benar itu di tengah,” kata Rizal12 Januari 2018.
Seharusnya, yang menilai adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution. “Saya bingung di mana posisi Kemenko Perekonomian sekarang dalam menentukan data ini,” ujar Rizal.
Menurut Rizal, uang memang paling mudah didapat dari komisi impor komoditas. “Jadi duitnya gampang kalau main di beras, kedelai, gula, daging, dan lain-lain,” tuturnya.
Toh, ia tetap saja merasa heran, mengapa pemerintah tetap ngotot menginginkan impor beras, padahal sebentar lagi akan musim panen. “Stok di gudang Bulog memang 900 ribu ton, tapi itu cukup untuk dua bulan lagi. Panen kan sebentar lagi, Februari dan Maret, dan Bulog bisa beli,” ungkap Rizal.
Masalahnya, memang, Bulog pasif: pada saat panen tidak beli beras. Seharusnya, Bulog mengtahui berapa yang harus dibeli. “Saya tidak tahu ini sengaja atau tidak, meski memang Bulog sekarang beda dengan dulu, yang tak ada bunga kredit, tapi turun langsung dari likuiditas Bank Indonesia. Ini kan sektor strategis,” kata Rizal lagi.
Pada 11 Januari 2017 lampau, Menteri Pertanian Amran Sulaiman memang pernah menyatakan, sudah tak ada lagi impor beras pada tahun 2016. Pencapaian tersebut, katanya lagi, tak lepas dari upaya-upaya peningkatan produksi gabah, seperti penambahan luas tanam, perbaikan irigasi, dan bantuan besar-besaran alat dan mesin pertanian.
Keputusan pemerintah untuk tak lagi mengimpor beras pada tahun 2016 lalu itu, ungkap Amran, bahkan membuat beberapa negara pemasok beras untuk Indonesia keheranan. “Saya ketemu delegasi Vietnam dan Thailand, mereka heran, apa yang dilakukan Indonesia kok tiba-tiba enggak impor. Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Pakistan selama ini menjadi negara yang ekspor [beras] ke Indonesia,” ujar Amran.
Bukan hanya itu, bahkan pada 10 Januari 2018 yang baru lalu, lewat akun resmi Twitter-nya, Kementan menyatakan tiap detik di Bumi Nusantara ada panen padi. “Alhamdulillan Indonesia sudah #TidakImporBeras sejak 2016,” demikian tertulis di akun @kementan.
Kendati begitu, ya, itu tadi: data Kementan meragukan, kalau tak ingin dibilang ngawur seperti kata Profesor Dwi Andreas Santoso. Data itu tak sinkron dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS, ada impor beras sebanyak 1,2 juta ton senilai US$ 495,12 juta, dari Januari sampai November 2016. Angka ini meningkat 110,66% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2015, yakni sebesar 569.620 ton senilai US$ 351,60 juta.
Terkait perbedaan data itu, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Agung Hendriadi menjelaskan, impor beras yang cukup besar di 2016 tersebut merupakan sisa dari kontrak impor tahun 2015. Beras yang datang itu juga difungsikan sebagai beras cadangan pemerintah. “Itu beras sisa kontrak tahun 2015 lalu. Artinya, itu residu karena negara eksportir baru mengirimkan berasnya pada tahun berikutnya,” kata Agung dalam keterangan tertulisnya, 2 Januari 2017. Beras yang diimpor adalah beras premium.
Yang pasti, dalam masa awal menjadi presiden, Jokowi pernah mengatakan, Indonesia harus bisa swasembada beras paling lambat dalam tiga tahun ke depan. Itu dikatakan Jokowi pada 5 November 2014. “Dalam tiga tahun, jika semua berjalan lancar, kenaikan produksi pangan akan mencapai 30 persen dari sekarang. Selain beras, jagung dan kedelai juga harus swasembada. Soalnya ketiga produk pertanian itu jumlah dan nilai impornya cukup tinggi selama ini,” kata Jokowi setelah melakukan peletakan batu pertama Bendungan Irigasi Bendoro Belawa di Desa Mojong Kecamatan Watansidenreng Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri pernah mengatakan, tak masuk akal bila kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan garam, sekarang masih menjadi masalah. Megawati memandang, masalah itu berasal dari soal keberpihakan saja. Kalau masyarakat dan pemerintah gotong royong dalam membangun ekonomi, persoalan di atas akan segera diselesaikan. “Keberpihakan kita itu sebenarnya ke mana? Hanya mau ambil untung dari sisi impor?” katanya di Jakarta, 15 Agustus 2017 lalu. [PUR]