Koran Sulindo – Semua perubahan dibuat berdasarkan pengalaman yang ada, di negara manapun di dunia ini, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini juga soal masa jabatan presiden RI yang kini dibatasi hanya boleh dua kali.
Saat ada pembatasan, semuanya seolah ingin menjadi berkuasa selama-selamanya. Kita lihat saat zaman Soekarno yang diangkat menjadi presiden seumur hidup, walaupun saya yakin itu bukan keinginan Bung Karno sendiri. Akhirnya ia dijatuhkan di tengah jalan.
Soeharto terlihat berusaha mengikuti konstitusi, dengan dipilih oleh MPR. Tapi ia bisa 10 kali, 100 kali atau 1000 kali tetap bisa menjadi presiden asal dipilih MPR. Tapi sejarah membuktikan pemilunya hanya omong kosong dan hanya menjadi politik busuk. Semuanya bermain.
Habibie yang menjadi presiden setelah reformasi politik pada 1998 akhirnya dijatuhkan walau melalui proses di parlemen.
Dan setelah itu kita membuat konstitusi baru.
Zaman Soekarno, Pemilihan Umum (Pemilu) hanya sempat dilaksanakan sebanyak 1 kali. Tapi zaman Soeharto Pemilu berlangsung rutin 5 tahunan. Di mana penyakitnya? Ya di Pemilu itu. Karena pemilu yang busuk itu, yang tidak Langsung Umum Bersih Jujur Adil (Luber Jurdil) maka terjadilah hegemoni kekuasaan kelompok Soeharto sehingga menjelma menjadi oligarki. Katakanlah kalau masih sehat hari ini dalam usianya yang ke-100 Soeharto pasti terpilih lagi menjadi presiden.
Jadi sistem apapun bisa dan boleh-boleh saja asal demokrasinya itu bersih.
Apakah pemilu di Amerika Serikat bersih? Wallahu alam. Tapi kemungkinan besar pragmatisme dan politik uang (money politik) juga bermain di sana. Kita masih ingat kasus Al Gore yang sempat ramai karena diduga ada kecurangan? Walau akhirnya kasus itu selesai berkat kesediaan Al Gore tidak melanjutkan kasus itu demi negara.
Pembatasan masa jabatan presiden hanya dua kali memang bagus, tapi yang paling penting adalah rakyat yang memilih. Hanya dua kali kalau pemilunya busuk ya sama saja, tak ada gunanya. Presiden hanya boleh dipilih sekali saja, kalau pemilunya bobrok seperti zaman Orde Baru, omong kosong. Jadi kuncinya hanya pada Pemilu yang Luber Jurdil.
Bagaimana dengan 3 kali? Kalau seperti dialami Presiden Joko Widodo hari-hari ini yang tidak bisa menjalankan perannya sebagai presiden sebagaimana janji-janjinya dalam kampanye Pilpres lalu, sangat wajar menurut saya untuk dipikirkan bersama memberikan kesempatan Jokowi 3 kali. Karena telah terbukti dan teruji pembangunan di masa Jokowi bermanfaat untuk orang banyak dan dinikmati orang banyak sehingga ia terpilih kembali dalam Pilpres 2019 lalu.
Perubahan ini konsekuensinya harus mengubah kembali undang-undang dasar hasil amandemen yang membatasai masa jabatan presiden hanya dua kali.
Barangkali bisa juga dicari akal mungkin tidak harus 3 kali, tapi memperpanjang masa jabatan presiden yang sekarang gara-gara pandemi Covid-19 ini.
Barangkali kita bisa belajar dari proses demokrasi di AS yang memperbolehkan Presiden Franklin Roosevelt menjabat hingga 3 periode gara-gara perang dunia II.
Di Rusia memang beberapa kali mengubah konstitusi demi memberikan kesempatan Putin berkuasa lagi. Juga di Republik Rakyat China yang membuat Xin Jin Ping melenggang terus jadi presiden. Bahkan menengok tetangga dekat kita Singapura, di mana Lee Kuan Yew bisa berulang kali jadi pemimpin negara itu.
Malaysia di masa Mahathir Mohammad juga membuka peluang sebesarnya agar dia tetap bisa memimpin negeri jiran tersebut. AS dan Malaysia tampaknya baik digunakan sebagai contoh. Kita harus mempelajari cara mereka secara kontitusional untuk mempertahankan pemimpin yang bagus dan telah terbukti dan teruji kinerjanya. [Emir Moeis]