Ilustrasi. (Shutterstock)

OPINI – Suatu sore di sebuah kedai kopi, terdengar sekumpulan remaja saling bertukar cerita. Salah satu dari mereka berujar, “Tadi pas aku main game, sumpah lawannya gege banget”.

Bagi sebagian dari kita, percakapan seperti ini terdengar seperti kode rahasia yang butuh kamus untuk dipahami. Tapi bagi anak-anak muda, terutama generasi yang disebut gen Alpha dan Z, ini adalah bahasa sehari-hari.

Bahasa yang cepat, lucu, dan penuh gaya. Tapi di balik kehebohan ini, muncul pertanyaan besar, apakah ini bagian dari kekayaan budaya, atau justru tanda runtuhnya tata bahasa Indonesia?

Dari “EGP” hingga “GTGC”

Bahasa gaul bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum ada TikTok, kita sudah mengenal istilah seperti EGP (Emang Gue Pikirin), OTW (On The Way), BT (Bad Temper/BeTe), nyokap-bokap, atau so what gitu loh.

Waktu berganti, generasi berubah, begitu pula kosakatanya. Yang dulu kita anggap keren, kini terasa jadul. Dan anak muda pun menciptakan istilah baru yang lebih sesuai dengan zaman mereka.

Hari ini, Gen Z dan Gen Alpha, sebuah generasi yang lahir dan tumbuh dalam ekosistem digital menggunakan bahasa yang jauh lebih cepat berubah dan lebih beragam. Misalnya:

TBL – Takut Banget Lho

KBL – Kaget Banget Lho

TFT – Thanks For Today

GTGC – Gue Tahu Gue Cantik

GTGG – Gue Tahu Gue Ganteng

B aja – Biasa saja

Gege – Good Game

Sebagian besar dari istilah ini berkembang dari media sosial—entah itu TikTok, Instagram, atau grup Discord. Mereka bukan hanya kata-kata, tapi bagian dari cara generasi ini mengekspresikan diri.

Dan itu belum termasuk istilah yang diadopsi dari budaya global, seperti:

Skibidi – digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang absurd atau aneh.

Sigma – sosok mandiri, keren, dan nggak peduli omongan orang.

Rizz – singkatan dari charisma; biasanya menggambarkan daya tarik dalam merayu.

Gyatt – ekspresi kagum pada bentuk tubuh seseorang, biasanya digunakan dalam konteks humor.

Bahasa-bahasa ini menjadi identitas. Sebuah “tanda pengenal” digital bahwa mereka adalah bagian dari komunitas tertentu.

Bahasa sebagai Cermin Zaman

Jika kita memandang bahasa hanya sebagai alat komunikasi formal, maka slang dan bahasa gaul memang terasa seperti penyimpangan. Tapi jika kita melihat bahasa sebagai produk kebudayaan, maka slang justru menunjukkan betapa dinamisnya masyarakat kita.

Dalam sosiolinguistik, istilah seperti itu disebut register—variasi bahasa yang digunakan dalam situasi dan komunitas tertentu. Slang adalah register informal yang menunjukkan keakraban, solidaritas, bahkan kreativitas.

Kita bisa bandingkan seperti ini: seorang anak bisa berbicara dengan gaya gaul saat chatting dengan teman, lalu menggunakan bahasa baku saat ujian Bahasa Indonesia. Kuncinya ada pada konteks dan literasi.

Tentu, kekhawatiran tetap ada. Beberapa guru dan orang tua mengeluhkan kekhawatiran mereka terhadap gaya bahasa media sosial yang terbawa ke dalam tulisan akademik. Meski menjadi bentuk ekspresi kreatif, tidak sedikit yang menganggap bahasa gaul sebagai “perusak” bahasa.

Kekhawatiran ini muncul dari penggunaan struktur kalimat yang tidak sesuai kaidah, penyingkatan ekstrem, hingga pencampuran bahasa Indonesia dengan istilah asing tanpa aturan. Misalnya, kalimat seperti: “Aku tuh literally gak bisa, kayak… yaudah gitu deh” sebuah ungkapan yang banyak ditemukan di media sosial.

Masalahnya bukan pada bahasa gaul itu sendiri, melainkan pada tidaknya dibedakan mana yang informal dan mana yang formal. Di sinilah pentingnya pendidikan bahasa: bukan untuk menghapus bahasa gaul, tetapi membimbing penggunaannya secara tepat.

Sayangnya, tidak semua anak memahami batas ini. Maka bukan hal aneh bila mereka mengira bahasa dalam dunia nyata sama santainya dengan dunia maya.

Tak bisa dipungkiri, media sosial mempercepat penyebaran bahasa gaul. Kata atau singkatan bisa viral dalam semalam, dan esoknya sudah digunakan jutaan orang.

Yang menarik, bahasa ini lintas platform, lintas negara, dan lintas budaya. Istilah seperti FOMO (Fear of Missing Out), IMHO (In My Humble Opinion), atau CMIIW (Correct Me If I’m Wrong) sudah menjadi bagian dari “bahasa internet” global.

Yang unik di Indonesia adalah kemampuan lokal untuk mengolah dan melokalisasi istilah global. Kata-kata seperti TBL atau GTGG adalah contoh kreatif bagaimana anak muda kita mampu menciptakan identitas unik di tengah arus budaya asing.

Apakah Kita Harus Khawatir?

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, bahasa negara, bahasa ilmu pengetahuan. Tapi ia juga bahasa yang hidup di warung kopi, di media sosial, di lirik lagu, di meme, dan di obrolan sehari-hari. Justru karena ia hidup, maka ia berkembang.

Pertanyaannya bukan apakah slang akan merusak bahasa, tapi apakah kita cukup membekali anak muda untuk tahu kapan harus menggunakan yang mana? Itulah yang disebut dengan kesadaran berbahasa—kemampuan membedakan situasi dan menyesuaikan gaya bahasa.

Daripada menganggap bahasa gaul sebagai ancaman, mengapa tidak kita dekati sebagai jembatan budaya antar generasi?

Literasi bahasa yang sehat bukan berarti harus kaku dan membosankan. Ia bisa lentur, kreatif, dan membumi. Karena bahasa terbaik adalah bahasa yang mampu menyampaikan makna dan membangun pemahaman, tanpa kehilangan rasa hormat pada lawan bicara.

Slang dan bahasa gaul, pada akhirnya, adalah warna dalam lanskap bahasa kita. Ia bisa jadi jendela untuk memahami dunia anak muda. Ia bisa jadi cermin bagaimana teknologi memengaruhi budaya. Tapi ia juga bisa menjadi alarm, jika digunakan tanpa pemahaman dan tanggung jawab.

Menjaga bahasa Indonesia bukan berarti menghindari bahasa gaul. Tapi mengajarkan bahwa keduanya bisa hidup berdampingan asal tahu tempatnya. [UN]