Biro perjalanan umrah Forst Travel dan Bernie Madoff yang menjalankan skema Ponzi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Maraknya penipuan berkedok biro perjalanan umrah belakang ini belum menjadi perhatian utama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terlebih, kasus penipuan tersebut hanya ditarik ke ranah keagamaan di bawah Kementerian Agama.

Karena itu, sanksinya pun hanya pencabutan izin sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU). Jumlah PPIU yang terdaftar di Kementerian Agama mencapai 906 penyelenggara. Akan tetapi, boleh jadi jumlahnya lebih besar mengingat masih ada biro perjalanan yang tidak berizin.

Yang paling menyita perhatian publik adalah kasus yang melibatkan First Travel, PT Amanah Bersama Ummat (Abu Tours), SBL, Mustaqbal Prima Wisata dan Interculture Tourindo. Untuk saat ini, Kementerian Agama sudah mencabut izin mereka karena gagal memberangkatkan jemaah.

Dari biro perjalanan tersebut, dua biro yang paling menyedot perhatian adalah First Travel dan Abu Travel. Selain karena jumlahnya jemaah yang akan diberangkatkan banyak, juga karena melibatkan nilainya yang cukup fantastis. Untuk First Travel, misalnya, jumlah kerugian yang diderita korban mencapai Rp 905 miliar.

Akibat penipuan tersebut, pemilik First Travel yakni Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraidah Hasibuan dikenai kasus penipuan serta tindak pidana pencucian uang. Sedangkan, kerugian korban Abu Tours mencapai Rp 1,8 triliun. Pemiliknya yang bernama Abu Hamzah Mamba pun akhirnya ditahan karena diduga menipu dengan kedok jasa travel umrah dan dikenai pasal pencucian uang.

Mengenai maraknya penipuan berkedok jasa travel umrah ini, OJK berpendapat hanya sebagai kesalahan pengelolaan manajemen keuangan. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing pada akhir Februari lalu mengatakan, kesalahan biro perjalanan itu karena mereka “mensubsidi” jemaah umrah promo. Dengan kata lain, biro perjalanan ini berharap peserta baru bisa menutup biaya peserta yang sudah berangkat.

“Dengan kata lain, gali lubang tutup lubang,” kata Tongam seperti dikutip Liputan6.com pada akhir Februari lalu.

Madoff
Persis di sinilah masalahnya. Apa yang dilakukan sebagian besar biro perjalanan tersebut tidak sekadar penipuan, melainkan skema permainan uang atau acap disebut sebagai money game. Kasus seperti ini pernah meledak di Amerika Serikat (AS) pada 2008. Adalah Bernie Madoff yang dituduh menjalankan skema penipuan “terbesar” dalam sejarah AS.

Dalam permainan itu, Madoff meyakinkan ribuan investor untuk menanamkan uangnya dengan iming-iming keuntungan yang sesuai dengan nilai modalnya. Madoff menjalankan permainannya itu yang disebut sebagai skema Ponzi sehingga memikat para investor dengan pengembalian 50% investasi dalam 90 hari.

Berdasarkan aturan keuangan AS, skema Ponzi adalah semacam skema piramida yang beroperasi dengan prinsip menarik investasi dari investor baru untuk membayar investor sebelumnya. Iming-iming yang disebut sebagai “umpan” kepada investor adalah janji keuntungan besar yang berasal dari uang investor baru. Jika tidak ada lagi investor baru, maka seluruh skema ini akan runtuh sehingga investor baru akan kehilangan segalanya.

Kembali pada kasus penipuan denga kedok biro perjalanan umrah itu, bahwa skema yang digunakan nyaris sama. Perbedaannya hanya pada janji kepada korban yang baru yakni menawarkan paket travel umrah dengan harga murah yakni Rp 14,3 juta hingga Rp 18 juta. Padahal, program biaya terendah umrah sesuai aturan adalah Rp 22 juta. Sebagian besar uang masyarakat yang dikumpulkan pemilik travel digunakan untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan fakta tersebut, sudah sepatutnya OJK ikut terlibat dalam mengawasi bisnis penyelenggaraan perjalanan wisata religi tersebut. Pasalnya, bisnis biro perjalanan umrah ini merupakan kegiatan mengumpulkan dana masyarakat yang persis menjadi kewenangan OJK. Dengan demikian, kasus yang sama tidak lagi berulang.

Menanggapi desakan itu, Kementerian Agama masih belum tegas. Mereka hanya berjanji akan melakukan nota kesepahaman dengan OJK untuk mengawasi pengelolaan keuangan. Karena aksi nyata untuk mencegah hal serupa masih setengah hati, maka tidak mungkin kasus serupa akan terus berlanjut mengingat tingginya minat masyarakat kita mengunjungi Tanah Suci. [KRG]