Koran Sulindo – Tiga kali Benny Tjokrosaputro melayangkan surat dari balik penjara kepada Kejaksaan Agung. Surat itu berisikan protes atas penyidikan dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang berujung kepada penetapannya sebagai tersangka.
Benny protes lantaran menilai penyidikan dalam kasus itu tidak adil. Ia mempertanyakan mengapa Kejaksaan Agung tidak menangkap sejumlah pihak yang membuat Jiwasraya rugi. Padahal hal itu tidak terlalu sulit untuk ditelusuri. Karena itu, penyidik seolah-olah memilih-milih dalam penegakan hukum terutama dalam kasus Jiwasraya ini.
Dalam suratnya yang kedua, protes yang disampaikan dalam bentuk kiasan. Ia mengibaratkan kasus Jiwasraya ini mirip kisah seorang petani cabai yang rajin. Seluruh desa disebut ikut bekerja dengan petani tersebut. Bahkan sawah-sawah penduduk pun disewakan ke petani tersebut.
Pada suatu hari, ada pedagang besar memborong cabai si petani. Kemudian dikirim atau didistribusikan ke pasar-pasar miliknya. Tiba-tiba ada banjir besar. Cabai dan dagangan lain milik si pedagang tidak laku. Beberapa hari kemudian cabai tersebut pun membusuk karena terendam air.
Karena situasi itu, si pedagang marah. Ia menyalahkan si petani. Karena itu, ia mulai merencanakan menangkap si petani dengan alat bukti cabai busuk. Juga mulai meneror keluarga petani dan penduduk desa yang ikut bekerja dengan si petani. Semua sawah-sawah milik penduduk disita. Itu bisa terjadi karena si pedagang teramat berkuasa.
Dari kisah ini, Benny mengibaratkan cabai sebagai saham Hanson International Tbk., perusahaan miliknya. Penduduk desa merupakan pemegang saham publik, kreditor, pegawai, mitra yang jumlahnya ribuan. Banjir adalah hoaks, fitnah serta isu negatif.
Selanjutnya, dalam surat ketiga, Benny Tjokro secara langsung menuduh Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengorbankan pihak lain (perusahaan terbuka) seperti Hanson dengan menyita aset-asetnya yang dinilai sebagai bentuk perampasan demi menutup lobang yang dibuat orang lain dalam kasus Jiwasraya.
Selanjutnya, Benny Tjokro juga menyinggung agar BPK dan Kejaksaan Agung memeriksa pembelian saham secara langsung maupun lewat manajer-manajer investasi periode 2006 hingga 2016 di Jiwasraya. Dari situ akan diketahui siapa saja yang membuat lobang awal di Jiwasraya. Benny akan tetapi tak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “lobang awal Jiwasraya” itu.
Menanggapi 3 surat protes itu, Kejaksaan Agung mempersilakan Benny Tjokro menyampaikannya kepada penyidik. Terlebih itu disebut hak Benny Tjokro sebagai tersangka. “Saya pikir itu adalah hak tersangka dan bisa disampaikan kepada penyidik pada saat dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Hari Setiono beberapa waktu lalu.
Pun periode penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Hari berpendapat, penyidik bisa memilah-milah periode kapan terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus Jiwasraya. Sementara ini, BPK dan Kejaksaan Agung fokus memeriksa dugaan kerugian negara periode 2008 hingga 2018. Hasil penghitungan BPK itu, kerugian negara ditaksir Rp 16,81 triliun.
Kejaksaan Agung telah menetapkan 6 tersangka dalam kasus ini. Selain Benny Tjokro, mereka adalah Syahmirwan (eks Kepala Divisi Keuangan dan Investasi Jiwasraya), Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra), Heru Hidayat (Preskom PT Trada Alam Minera) Hendrisman Rahim (mantan Dirut Jiwasraya) dan Harry Prasetyo (mantan Direktur Keuangan Jiwasraya).
Dari para tersangka itu, Kejaksaan Agung juga telah menyita sejumlah aset dengan total sekitar Rp 11 triliun. Dari jumlah itu, penyidik mengakui mayoritas merupakan aset Benny Tjokro. Kasus ini bermula dari laporan Menteri BUMN periode 2014-2019 Rini Soemarno kepada Kejaksaan Agung pada 17 Oktober 2019.
Kisah Benny Tjokro – yang dikenal sebagai pemain saham goreng-gorengan di Bursa Efek Indonesia – ini mengingatkan kita dengan beberapa peristiwa yang pernah terjadi di bursa efek yang berada di Jalan Wall Street, Amerika Serikat. Meski tidak sama persis, kisah Jordan Belfort yang diperankan Leonardo DiCaprio dalam film Wolf of the Wall Street, ujungnya hampir mirip dengan apa yang dialami Benny Tjokro.
Belfort sukses membesarkan perusahaan pialangnya dan mendulang harta berlimpah. Ia terlena. Mulai menggunakan narkoba. Mengadakan pesta seks dan kerap membuat onar. Puncaknya Belfort mulai menipu atau mengkorupsi uang kliennya. Ia akhirnya ditangkap FBI.
Skandal Wall Street
Kisah lainnya yang menarik untuk dibandingkan dengan Benny Tjokro adalah Bernie Madoff. Seorang broker saham, penasihat investasi sekaligus investor. Madoff acap menghiasi berita utama koran-koran seluruh dunia terutama di Amerika Serikat pada 2008. Ia ditangkap karena dituduh melakukan kecurangan finansial terbesar dalam sejarah AS yang disebut sebagai skema Ponzi.
Persis seperti Benny Tjokro yang mendapat julukan “tukang goreng” saham, Madoff juga dikenal demikian. Bahkan sejak 1992, Securities and Exchange Commission (SEC) sama sekali tidak mau menyelidiki dugaan penipuan yang dilakukan Madoff. Padahal, umumnya orang tahu termasuk Goldman Sachs, dana yang dikelola Madoff tidak halal.
Pun dengan Chase Manhattan dan JP Morgan mengaku tidak tahu dengan apa yang dilakukan Madoff. Bisa jadi ketidaktahuan kedua lembaga karena mendapat keuntungan dari Madoff yang punya rekening di sana. Nilainya bahkan mencapai US$ 17 miliar hingga US$ 20 miliar. Satu-satunya kesialan Madoff dan akhirnya penipuannya selama ini terbongkar karena krisis keuangan yang terjadi pada 2008. Dari kasusnya itu, lewat pemberitaan Madoff seolah-olah menjadi dalang pemicu krisis keuangan 2008 di AS.
Demikian juga dengan pengalaman Benny Tjokro. Meski telah bermain saham sejak umur anak sekolah, ia tampaknya pernah mencatatkan sejarah kelam di pasar modal. Badan Pengawas Pasar Modal menjatuhkan sanksi kepada Benny Tjokro karena terbukti “menggoreng” saham Bank Pikko pada 1997. Ia harus menyerahkan keuntungan goreng sahamnya ke kas negara. Negara untung tapi investor tetap buntung. Hangus karena digoreng Benny Tjokro.
Seperti Madoff, menjadikan Benny Tjokro sebagai dalang utama dari skandal keuangan khususnya kasus Jiwasraya tentu keliru. Justru tindakan demikian membuktikan kekuasaan seringkali butuh kambing hitam. Bukan kita bersimpati terhadap Benny Tjokro, tapi tuntutannya agar kasus ini dibongkar secara menyeluruh patut dipertimbangkan. [Kristian Ginting]