Didirikan sekitar abad ke-6 SM oleh orang-orang Osci di wilayah tengah Italia, Pompeii adalah salah satu kota pelabuhan paling maju di masanya.
Terletak di kaki Gunung Vesuvius, kota itu dikenal sebagai daerah makmur karena memiliki lahan pertanian yang subur.
Penduduk Pompeii, seperti orang-orang yang tinggal dekat gunung berapi sejatinya telah lama terbiasa dengan getaran gempa khususnya yang berasal dari aktivitas vulkanik Vesuvius.
Juga ketika gempa besar tejadi 5 Februari 62 yang menjadi pemicu kerusakan parah di kota itu. Sementara sebagian kerusakan belum sepenuhnya diperbaiki, sebuah gempa lain yang lebih kecil kembali tercatat dua tahun kemudian.
Caius Plinius Caecilius Secundus atau yang lebih dikenal sebagai Plinius Muda menulis gempa itu “tidaklah begitu menakutkan karena sering terjadi di Campania.”
Dalam suratnya kepada sejarawan Tacitus, Plinius menggambarkan setelah mata air dan sumur di kota mengering pada awal bulan Agustus tahun 79, gempa ringan mulai terjadi sejak tanggal 20 Agustus. Gempa kemudian menjadi semakin sering dalam empat hari berikutnya.
Sayang, peringatan-peringatan tersebut gagal disadari orang-orang Pompeii hingga 24 Agustus sore ketika sebuah letusan dahsyat yang mematikan terjadi dari Gunung Vesuvius.
Letusan yang bertepatan dengan tanggal Vulcanalia atau perayaan dewa api Romawi tersebut tak hanya mengubur Pompeii. Letusan sekaligus mengubur kota dan daerah permukiman sekitarnya.
Tak cuma gas beracun, awan panas, batuan dan abu membara yang menghujam Pompeii dan Herculaneum, sebuah kota di kaki gunung lainnya. Lapisan debu tebal membuat kedua kota itu benar-benar hilang dan terlupakan. Kota-kota itu baru ditemukan kembali secara tak sengaja 1.600 tahun berselang di tahun 1748.
Tak hanya mengawetkan tubuh-tubuh manusia yang dijemput ajal dalam berbagai pose, timbunan abu tebal juga melindungi semua bangunan-bangunan bahkan hingga lukisan-lukisan yang tergantung di dinding rumah.
Arkeologi juga menemukan phallus atau bentuk kelamin jantan yang menjadi dekorasi umum di Pompeii sebagai simbol keberuntungan. Perlambang itu banyak dilukis di banyak tempat seperti rumah, jalanan, dan pasar.
Abu tebal juga yang menyelamatkan Lupanare sebuah rumah bordil paling terkenal di Pompeii yang berlokasi kurang lebih dua blok dari alun-alun pusat kota.
Ya, letusan Vesuvius pada 24 Agustus tahun 79 yang menimbun Pompeii dan Herculaneum sampai sekarang tetap lekat menjadi sekarang dramatis bagi ingatan dunia.
Tanpa Korban
Tak perlu pergi jauh-jauh hingga ke Italia tengah, cerita nyaris serupa ternyata bisa ditemukan di Jawa Tengah, tepatnya di Dusun Liyangan, Purbasari, Ngadireja, Temanggung yang terletak di lereng Gunung Sindoro sebelah utara.
Diduga letusan Gunung Sindoro yang terjadi pada tahun 971 secara total mengubur kompleks ibadah Hindu sekaligus permukiman kuno yang berada di sekitarnya. Liyangan terkubur material vulkanis karena letaknya tepat berada di jalur lahar panas yang sekaligus menyembunyikan keberadaannya selama ribuan tahun silam.
Dahsyatnya kehancuran kehancuran yang diakibatkan letusan Gunung Sindoro itu bisa dijejaki dari sisa-sisa kayu dan bambu yang berubah menjadi arang karena panasnya material vulkanik.
Artefak-artefak tersebut utuh karena material vulkanik yang jatuh pertama akibat letusan Sindoro adalah pasir panas yang kemudian disusul pasir yang lebih tebal dan tak sepanas material pertama.
Dengan kayu, bambu dan ijuk yang terbakar segera terisolasi dari oksigen, material organik tersebut berubah menjadi arang dan terkonservasi secara alami. Pada beberapa temuan, meskipun tak lagi utuh bentuk semula dan masih bisa direkonstruksi.
Para arkeolog juga menemukan berbagai macam hasil pertanian, seperti tumpukan ikatan padi, jagung, pala, dan kelapa. Tak berbeda dengan artefak lain, temuan-temuan itu juga telah menjadi arang.
Di sisi lain, meski sama-sama mengalami bencana tragis tertimbun material vulkanik, sampai saat ini para ahli tak menemukan satupun jejak korban akibat erupsi Sindoro di Liyangan. Kisah tersebut jelas berbeda dengan Pompeii yang diperkirakan menewaskan hingga 25.000 jiwa.
Melewati bencana tanpa jatuh korban bagaimanapun menunjukkan bahwa masyarakat kuno Liyangan berpikiran maju dan sanggup mengenali tanda-tanda alam. Diperkirakan mereka sudah mengungsi sebelum erupsi Gunung Sindoro mengubur permukiman itu.
Para ahli juga mengungkap masyarakat kuno itu telah melakukan perbaikan-perbaikan bangunan mereka karena erupsi tak cuma sekali terjadi. Jejak perbaikan ditemukan di pagar batu andesit dari batu persegi menjadi bulat untuk mengantisipasi longsor.
Tambang Pasir
Keberadaannya Liyangan secara tak sengaja kali pertama terungkap di tahun 2008 oleh para penambang batu dan pasir. Tak menyadari apa yang mereka temukan, batu-batu andesit yang merupakan bagian struktur bangunan disingkirkan begitu saja, juga beberapa artefak kuno yang tak diketahui manfaatnya.
Selain temuan itu, penduduk juga menemukan sejumlah arca, lampu dari tembikar, dan batu-batu yang diduga kuat merupakan komponen bangunan candi.
Sementara makin banyak penemuan terjadi, setahun berikutnya penambangan dihentikan sementara untuk memungkinkan para ahli melakukan identifikasi dan penelitian lebih lanjut.
Hasil identifikasi menunjukkan bangunan mirip ‘talud’ yang terbuat dari kubus-kubus batu dan konstruksi talud yang menempel pada ‘talud tebing’. Waktu itu, meski belum diketahui fungsinya para ahli meyakini bangunan itu hasil rekayasa lingkungan yang berkaitan dengan pertanian.
Dugaan tersebut diperkuat dengan penemuan beberapa yoni di sekitarnya yang jelas-jelas tidak kontekstual dengan candi. Yoni-yoni tersebut berkaitan dengan kegiatan pertanian, sehingga diduga kontekstual dengan bangunan ‘talud’.
Yoni dari Liyangan tergolong unik karena terdapat pada struktur bolder dan di depan cerat yoni terdapat saluran air. Ini menjelaskan yoni berkaitan langsung dengan pertanian dan irigasi sekaligus menjadi bagian paling inti sistem pertanian kuno karena berada di tempat yang paling tinggi.
Hipotesis para ahli menyimpulkan keseluruhan situs merupakan situs yang kompleks karena mencakup modifikasi lingkungan untuk pertanian dan kuatnya dugaan terdapat bangunan candi.
Dugaan itu belakangan terkonfirmasi, lagi-lagi berkat penambang pasir yang terus memperluas area galian. Mereka menemukan struktur bangunan candi berjarak sekitar 100 meter arah timur-laut dari temuan pertama.
Menampung berbagai penemuan susulan sekaligus menentukan tingkat potensi situs, pada bulan April 2010 sebuah tim penjajakan untuk mengembangkan situs tersebut dalam kerangka penelitian arkeologi.
Selama delapan tahun terakhir sejak 2010, penelitian di Situs Liyangan dibagi dalam tiga area identifikasi. Ketiganya adalah area candi atau pemujaan, area permukiman, dan area pertanian. Meski batas dari ketiga area itu tak tegas benar, para ahli menggunakan candi sebagai titik nol dari setiap pengukuran.
Permukiman tersebut diduga bukan merupakan permukiman biasa dan hanya dihuni oleh mereka-meraka yang terkait dengan kegiatan pemujaan dan upacara. Umumnya mereka adalah pendeta atau orang yang bertugas memelihara, mempersiapkan, dan menggelar pemujaan di candi.
Di sisi lain mereka juga memiliki pekerjaan sehari-hari berupa bertani dan berdagang. Ini dibuktikan dengan ditemukannya lahan pertanian di sekitar situs.
Proses ekskavasi kemudian mengungkap keberadaan talud, candi, bekas rumah kayu dan bambu, strutur bangunan batu, lampu dari bahan tanah liat, hingga tembikar dalam berbagai bentuk.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa situs tersebut ternyata berumur lebih tua dari dugaan semula. Analisis karbon yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional memastikan bambu yang digunakan sebagai salah satu struktur bangunan ternyata berasal dari abad ke-6.
Merujuk pada era itu, Liyangan dipastikan sudah ada bahkan sebelum Borobudur dibangun.
Menurut para ahli bambu-bambu itu adalah bagian dari rumah-rumah warga Liyangan yang berbentuk rumah panggung dengan atap dari ijuk dan papan kayu sebagai alasnya. Bambu-bambu itu umumnya digunakan sebagai tiang rumah panggung.
Prasasti Rukam
Tak hanya mengenal rumah panggung, masyarakat Liyangan kuno juga telah mengenal konsep pagar dengan menggunakan bambu utuh sebagai tiang sementara bambu belah digunakan untuk palang.
Temuan bambu itu juga mengkonfirmasi situs di Liyangan menunjukkan peradaban agraris yang sangat maju di masanya. Selain masyarakatnya sanggup membangun candi dengan struktur rumit, gerabah asal Cina menunjukkan mereka telah memiliki hubungan intens dengan dunia luar.
Para ahli menduga sebelum terkubur letusan Gunung Sindoro wilayah itu dihuni dalam rentang waktu yang lama yakni hingga empat abad.
Sepanjang proses ekskavasi arkeolog juga ditemukan dinding batu pencegah longsor atau talud yang memicu penasaran para ahli apakah bangunan rumah panggung itu sezaman dengan Candi Liyangan dan peninggalan-peninggalan lain di situs tersebut.
Penelitian terbaru yang dilakukan tim dari Balai Arkeologi DI Yogyakarta pada 18 Oktober–4 November 2018 kembali menemukan satu unit sisa bangunan dari kayu berupa rumah panggung.
Ditemukan di luar area candi sisa bangunan itu dianggap istimewa dibanding temuan-temuan sebelumnya. Selain ukurannya yang lebih besar yakni 8 meter x 8 meter, rumah panggung itu ternyata memiliki sekat-sekat untuk membagi ruangan.
Selain bentuknya yang istimewa, di rumah panggung itu juga ditemukan bahan organik dalam jumlah besar seperti ijuk yang dipasang berlapis hingga ketebalan 15 centimeter. Juga papan batu dengan ketebalan 8 sentimeter dengan lebar 43-49 sentimeter.
Kepala Balai Arkeologi DIY Sugeng Riyanto seperti dikutip dari Tempo menduga bangunan itu beserta penghuninya tergolong istimewa di masanya. Ia menduga bangunan tersebut merupakan tempat berkumpul tokoh agamawan atau dihuni tokoh yang dihormati di masa itu.
Menurut Sugeng, Situs Liyangan berbeda dengan situs-situs lain yang pernah ditemukan. Situs ini bisa dianggap sebagai pusat permukiman dari era Mataram Kuno sekitar abad ke-9 yang terletak di Pusat Segitiga Candi Besar yaitu Borobudur, Gedong Songo dan Dieng.
Di masa lalu Temanggung adalah kawasan penting era Mataram Kuna selain karena lokasinya pernah berdekatan dengan pusat kerajaan.
Sementara itu, satu-satunya prasasti yang merekam bencana gunung meletus di era kuno hanya tercatat oleh Prasasti Rukam di tahun 907.
Prasasti yang ditemukan bersama alat-alat upacara di Petarongan, Parakan, Temanggung itu berupa dua lempeng tembaga berbentuk persegi panjang yang menceritakan penganugerahan sima atas Wanua i Rukam oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung.
Kalimat ilang dening guntur merujuk pada sebuah desa yang hilang atau hancur akibat letusan gunung. Ahli masih bersilang pendapat soal prasasti tersebut, sebagian menganggap desa yang hancur itu adalah Rukam seperti sebutan Wanua i Rukam namun sebagian lain tak sependapat.
Para ahli hanya bersepakat bahwa Wanua i Rukam berada di sekitar Temanggung sekarang dan temuan Situs Liyangan sebagai bekas perkampungan kuno menguatkan dugaan ini.
Secara teoritis Prasasti Rukam yang berangka tahun 907 berdekatan dengan hasil tes karbon sisa bambu dari Situs Liyangan. Dengan tiga klasifikasi wilayah Mataram yakni rajya sebagai pusat kekuasaan, wanua yang setingkat kabupaten dan watak berupa desa.
Sejauh ini peneliti belum mengklasifikasin Liyangan dalam kategori rajya bagi Mataram Kuno karena terlalu kecil. Hipotesis paling optimistis, Liyangan merupakan sebuah wanua. [TGU]
Artikel ini pernah dimuat 12 November 2018