Koran Sulindo – Kelahiran LKN memang tak bisa dilepaskan dari nama Sitor Situmorang. Penyair itu sekembali dari Eropa menerjunkan diri di lapangan sastra dan seni, namun pelan-pelan bergeser dunia kewartawanan. Bidang perhatiannya terus meluas. Pada 1958 Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional, Sitor menjadi salah satu anggotanya sebagai wakil golongan seniman. Setahun setelah itu, ia mendirikan LKN yng dimaksudkan sebagai usaha untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan Lekra.
Melalui LKN, Sitor menyalurkan dukungannya terhadap pikiran-pikiran politik dan kebudayaan Bung Karno. Indonesianis Herbert Feith pernah menjuluki Sitor sebagai orang yang paling memahami Marhanisme sesudah Bung Karno.
Kalau berbicara tentang Bung Karno, air muka Sitor segera berubah, wajahnya berkobar-kobar, suaranya menggeletar. Bung Karno dan perjuangannya untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air, adalah sumber semangat juang, inspirasi dan optimisme Sitor.
Seorang kawannya pernah bertanya, apa ideologi dan aliran politikmu? Sitor selalu menjawab,”Dasar sikap politik saya selama hidup adalah seorang patriot, yang menganut Pancasila. Aliran politik saya adalah Soekarnois tulen.”
Pertama kali Sitor bertemu dengan Soekarno di Yogyakarta. Sebagai wartawan, saat itu ia berdiri begitu dekat dengan Sukarno. Bung Besar itu lalu menjabat tangan Sitor. “Dia seperti tertegun sebentar, menatap saya, mengingat-ingat. Kemudian Soekarno menyebutkan sebuah nama, Abner Situmorang, Abang saya. Saya hanya diam. Sukarno mengenal Abang saya ketika dia berkunjung ke Medan dan di lapangan terbang dia disambut oleh Abang saya, yang ketika itu adalah wakil gubernur Sumatera Utara,” kata Sitor, dalam sebuah wawancara ketika usianya menginjak 85 tahun.
Ringkas cerita, bertahun kemudian Sitor diangkat menjadi anggota Dewan Nasional, lembaga di bawah langsung presiden Soekarno. Waktu itu Sitor tidak memiliki rumah, ia menempati sebuah garasi yang sudah rusak ringsek. Suatu hari Soekarno menyuruh ajudannya memanggil Sitor. Melihat tempat tinggal Sitor, ajudan itu tidak masuk, hanya memberitahu agar besok pagi menemui presiden.
Pagi-pagi Sitor sudah di istana. Pemimpin Besar Revolusi itu langsung bertanya, ”Kamu tidak punya rumah ya?”
Sitor menjawab, ”Punya.”
Soekarno berkata,”Kamu tinggal di garasi.”
Tanpa banyak omong, Soekarno menyuruh menterinya yang berkaitan dengan rumah-rumah yang berada di bawah kontrol pemerintah, untuk mengurus. Sitor diberi rumah di Jalan Darmawangsa, Jakarta Selatan.
Rumah besar bekas rumah Belanda itu ditinggali Sitor sampai ia ditangkap Orde Baru pada 1967 dan dipenjara tanpa pengadilan selama 8 tahun.
“Saya adalah penganut ajaran Soekarno. Jadi orang Soekarnois dianggap lebih berbahaya dari komunis,” kata Sitor.
Menurut Sitor, nasionalisme di negeri ini diajarkan oleh Soekarno. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Bagi Sitor, nasionalisme adalah perjumpaan dengan Soekarno.
“Bagi saya, Soekarno itu manusia sejarah, dia adalah pemimpin yang mengobarkan semangat nasionalisme. Ketika terjadi krisis identitas kebudayaan mestinya semangat itu berkobar lagi.”
Orang Batak yang lahir besar di tepian Danau Toba itu pernah menjadi wartawan. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1942 dengan menjadi redaktur harian Suara Nasional. Ia juga pernah menjadi wartawan perwakilan kantor berita Antara di Pematang Siantar. Oleh pendiri koran Waspada yang terbit di Medan.
Pada 1947, Sitor ditawari harian Waspada untuk menjadi koresponden di Yogyakarta, saat itu pusat pemerintahan republik. Dari kota itulah Sitor mengirimkan tulisan-rulisannya untuk Waspada, sehingga koran tersebut salalu mendapat berita-berita aktual dari pusat. Dan disitu pulalah ia pertamakali bertemu Bung Karno.
Pada 1959 hingga 1965 Sitor menjadi pejabat di bidang kebudayaan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga pernah menjadi anggota Anggota Dewan Nasional, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departemen Perguruan Tinggi.
Pada 1959 ia terpilih menjadi ketua umum Lembaga Kebudayaan Nasional, sayap kebudayaan dari Partai Nasional Indonesia, dengan mengalahkan Supeni, bekas duta besar keliling.
Sejak di LKN itu tulisan Sitor makin kental dengan aroma Marhaenisme. Sampai suatu peristiwa pada dinihari 1 Oktober 1965 membuat semuanya hancur dalam semalam. Ia dipenjarakan tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru selama 8 tahun dan baru dibebaskan pada 1 Januari 1974. [Didit Sidarta]