Koran Sulindo – Praktis pertemuan itu hanya mengulang kebuntuan sebelumnya. Ia yang dianggap pesakitan tetap bersikukuh dengan keyakinannya dan tak sejengkalpun bergeming. Bahkan ketika ia kembali diperingatkan.
Peringatan itu sekaligus menebar hawa ancaman bahwa sepatutnya yang salah mesti dihukum dengan pedang. Sayang kematian tak lagi menakutkan baginya. Dengan sumarah bahkan ia berkata bahwa hal itu sudah menjadi niat. “Pintu surga telah terbuka lebar,” katanya.
Ketika empat orang santri mengikatnya, ia diganjar hukuman dengan cara potong kepala. Tiga orang muridnya yang berkehendak membela gurunya juga meminta dihukum dengan cara serupa.
Ya, mereka mendapat hukuman mati karena berani mengaku Allah.
Tersebutlah, seorang anak gembala yang melihat kejadian itu segera berlari ke depan khalayak dan dengan lantang berkata, “masih ada Allah yang tertinggal, Allah yang menggembalakan kambing.”
Ya, kisah dalam Serat Centini Jilid I Pupuh 38 (1-44) itu memang bercerita tentang persidangan Siti Jenar yang dianggap sesat oleh Walisongo. Dan sidang para wali kala itu dipimpin Prabu Satmata atau Sunan Giri.
Tak hanya Siti Jenar dan ketiga muridnya, si gembala itu akhirnya juga dijatuhi hukuman serupa. “Rare iku kudu pêjah, kukumêna aja suwe, sandhingêna Siti Jênar,” kata Prabu Satmata memerintahkan.
Tentu saja, sejarah ditulis oleh pemenang. Bagi mereka yang kalah, selain menjadi arang mereka seperti Siti Jenar itu harus ‘dibunuh’ berkali-kali bahkan setelah kematiannya. Ratusan sejak eksekusi itu, sebagian dari kita mengenal cacing sebagai muasal Siti Jenar sekaligus bangkai anjing kudisan sebagai akhir hayatnya.
Tak hanya diceritakan dalam Serat Centini saja, kisah pengadilan Syekh Siti Jenar itu juga diceritakan literatur-literatur klasik lainnya seperti Babad Demak, Suluk Walisongo, Serat Negara Kertabhumi, maupun Suluk Syekh Siti Jenar sendiri.
Menjadi masalah justru jika membuta dan menelan semua literatur-literatur tersebut, setidaknya bakal terdapat tiga kali pengadilan atas Siti Jenar. Sekali pengadilan yang dipimpin Sunan Giri dan dua kali pengadilan dipimpin oleh Sunan Bonang.
Kerancuan itu umumnya terjadi tulisan pada serat, suluk dan babad-babad itu menggambarkan bawah tokoh-tokoh besar Walisongo itu digambarkan hidup satu zaman. Tapi benarkah?
Tentu saja tidak, ambil misal Maulana Malik Ibrahim yang berdasarkan tulisan di batu nisannya disebut wafat tahun 1419. Sunan Ampel disebut wafat tahun 1481, Sunan Bonang di tahun 1525, Sunan Kudus tahun 1550 dan Sunan Gunung Jati tahun tahun 1570. Ruwet.
Simpangsiur kisah Walisongo dan Syehk Siti Jenar sangat dimungkinkan terjadi karena minimnya tradisi tulis khususnya di era Kesultanan Demak. Bahkan hampir semua serat, babad atau suluk yang menulis ajaran para wali, termasuk ajaran Siti Jenar merupakan tulisan mereka yang hidup ratusan tahun kemudian.
Tercatat, hanya terdapat dua naskah yang ditulis dari abad 16 atau semasa dengan kehidupan para wali itu yakni Het Boek van Bonang atau Suluk Sunan Bonang dan Een Javaans Geschrift uit de 16e Eeuw atau Primbon Jawa abad ke-16.
Bahkan, dari naskah itupun sama sekali tak ditemukan istilah ‘Walisongo’ ataupun gelar ‘sunan’. Kedua istilah itu baru muncul dalam sastra-sastra Jawa baru dari era Kartasura dan Surakarta pada abad ke-17 dan abad ke-18.
Mitos atau Fakta
Tak hanya ajaran yang menjadi pangkal perdebatan, sosok Siti Jenar juga memancing kontroversi yang tak kunjung reda termasuk apakah Siti Jenar itu nyata atau justru rekaan?
Pangkal utama dari masalah ini justru terjadi karena Siti Jenar tak meninggalkan satupun naskah tertulis baik yang membicarakan dirinya sendiri ataupun ajarannya. Di sisi lain, dengan mengecualikan Sunan Bonan dan Sunan Kalijaga, bukankah Walisongo juga tak meninggalkan karya tertulis?
Keberatan terhadap keberadaan Siti Jenar sebagai sosok historis tentu saja bisa dimaklumi. Namun argumen yang menunjukkan Siti Jenar sebagai sosok nyata juga harus mendapatkan tempat.
Argumen utama keberadaan Siti Jenar sebagai sosok nyata di dasarkan pada dua hal; Pertama, Siti Jenar seperti manusia pada umumnya. Lagipula dengan kapasitas ketokohannya ia memiliki alur nasab yang jelas, riwayat pendidikan dan meninggalkan ajaran-ajaran otentik yang bahkan masih dianut sebagian besar masyarakat saat ini.
Di sisi lain, meskipun sebagian besar kisah Siti Jenar ‘penuh bumbu’ seperti karena penambahan, pengurangan atau pengubahan, substansi peristiwanya yang terjadi tetap melekat.
Cara orang Jawa bertutur yang dipenuhi ‘bumbu’ fantasi kesejarahan dalam beberapa hal-hal menyangkut peristiwa penting dan gawat tetap disampaikan. Seperti dalam kasus pertentangan Siti Jenar dengan Raja Demak dan Walisanga. Juga peristiwa tragis ketika Siti Jenar divonis dengan hukuman mati.
Kedua, kisah tragis yang dialami Sisi Jenar dengan vonis mati itu memiliki contoh dalam eksekusi Al-Hallaj (858–923M). Al-Hallaj dihukum mati di era khalifah al-Muqtadir Billah menyusul hasutan para fuqaha yang takut kewibawaannya tergerus. Pengaruh luas Al-Hallaj itulah yang benar-benar membuat khawatirkan Muqtadir Billah yang takut pemberontakan.
Hal serupa terjadi pada Siti Jenar di Jawa dengan alasan yang justru lebih mendasar karena ia terlibat langsung dalam pusaran politik. Ia dianggap mewakili pembela rakyat menentang kedzaliman dengan berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan. Di sisi lain, banyak pengikut Siti Jenar justru berasal dari golongan bangsawan atau bekas bangsawan yang secara politik berbeda dengan keyakinan penguasa.
Hukuman yang diberlakukan kepada Siti Jenar oleh otoritas agama itu tak tak hanya terinspirasi pertimbangan Muqtadir Billah yang mengeksekusi Al-Hallaj. Walisongo dipastikan memiliki pengetahuan tentang serupa seperti yang dilakukan Raja al-Malik al-Dzahir bin Sultan Shalahuddin al-Ayyubi saat menghukum mati Syuhrawardi al-Maqtul atau Sultan Mughitsuddin Mahmud dari Bani Saljuk yang menghukum mati Ayn al-Quddat al-Hamadani.
Ketiga, keraguan sejarah pada sosok Siti Jenar umumnya didasarkan pada penggambaran cacing sebagai asal muasal Siti Jenar sebagai simbol kesesatan. Logika ini menuntun bagaimana memahamai keberadaan tokoh Siti Jenar sebagai simbolisasi Walisongo untuk menggambarkan kesesatan.
Namun, logika ini mengandung kelemahan mendasar karena bagaimana bisa para wali sengaja menciptakan ajaran sesat dan membiarkannya diikuti masyarakat hanya untuk kemudian ditumpas. Tak mungkin Walisanga begitu kejinya membuat rekayasa dengan mengorbankan masyarakat kebanyakan.
Keempat, sebuah ajaran yang begitu banyak diikuti banyak orang tentu fondasinya ditetapkan oleh tokoh yang benar-benar pernah hidup pada kurun sejarah tertentu. Tak mungkin sebuah ajaran datang tanpa pembawanya sama sekali.
Beberapa dokumen yang tegas-tegas menyebut keberadaan Siti Jenar sebagai sosok historis yang paling utama adalah dokumen Kropak Ferrara sebuah dokumen yang dari daun lontar yang ditemukan di Ferrara –sebuah kota di Italia.
Sejauh ini dokumen itu merupakan naskah tertua yang menceritakan Siti Jenar. Dokumen itu diduga dibawa pelaut Italia atau rombongan misionaris Katholik Roma beberapa tahun sebelum masa VOC antara tahun 1598-1599. Misionaris Katholik dari Roma disebut pernah berkunjung secara teratur ke daerah Pasuruan.
Menurut Prof. Dr. G.J.W. Drewes yang mengkaji naskah itu dalam An Early Javanese Code of Muslim Ethics menyebut isi Kropak Ferrara tak jauh berbeda dengan naskah kuno lainnya yang memuat perdebatan Walisanga dan Siti Jenar.
Naskah itu menjabarkan ajaran Siti Jenar tentang ma’rifat, hakekat manusia, Tuhan dan surga sekaligus rumusan panduan etika kehidupan dan beragama bagi orang Islam. Siti Jenar juga meminta pengertian Walisanga agar tak memiliki perasaan yang bukan-bukan kepadanya.
Selain dalam Kropak Ferrara, kisah Siti Jenar ditemukan dalam naskah-naskah yang lebih ‘muda’ seperti Serat Centini, Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Jaka Tingkir, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, dan Babad Kendal.
Benang merah dari naskah-naskah yang ‘berserak’ itu secara tematik membahas tentang pertemuan para wali membicarakan hakekat Tuhan, perdebatan para wali dengan Siti Jenar tentang hakekat Allah, sebutan syekh kepada Siti Jenar oleh para wali, dan vonis mati Siti Jenar oleh para wali itu tentu saja atas seizin Sultan.
Majapahit vs Demak
Jauh sebelum maujud secara institusional dalam bentuk Kesultanan Demak di abad ke-16, masyarakat Islam sudah ditemukan bahkan di jantung kekuasaan Majapahit. Ini bisa dibuktikan dengan temuan batu nisan bercorak Islam di Makam Troloyo yang kebanyakan berangka tahun 1350 dan 1478.
Temuan ini jelas membuktikan bahwa komunitas muslim tak cuma hadir namun sekaligus diakui dan dianut oleh sebagian kecil penduduk ibu kota Majapahit.
Di akhir era Majapahit komunitas muslim praktis sudah menguasai pesisir utara dan berpucak pada strukturalisme Islam ala Demak yang disokong majelis ulama yang disebut Walisongo. Islam model Walisongo inilah yang kemudian dibakukan sebagai agama resmi Demak.
Mengikuti redupnya pamor Majapahit, di masa itu Demak tampil sebagai satu-satunya kekuatan politik paling dominan di Jawa. Pada masa transisi inilah Siti Jenar hadir dengan gerakan ‘pembebasan’ kultural yan memang ditujukan untuk mengimbangi dominasi Islam struktural.
Sebagai gerakan kultural, semula Siti Jenar tak dipandang sebagai musuh oleh Demak. Namun pemihakannya kepada masyarakat luas serta sikap akomodatifnya pada lokalitas akhirnya memicu kekhawatiran penguasa politik maupun otoritas keagamaan.
Di sisi lain, meskpun Demak boleh saja menepuk dada sebagai satu-satunya kekuasaan politik terkuat, sebagian besar rakyat bekas kerajaan Majapahit masih tetap merupakan pemeluk agama lama.
Di timur, daerah Pasuruan dan Panarukan tetap menjadi wilayah yang tak pernah tunduk pada Demak. Ketika akhirnya Demak menduduki pusat kerajaan Majapahit pada tahun 1527, mereka tetap menolak Islam dan memilih menyingkir mengikuti putra-putra raja terakhir Majapahit Dyah Ranawijawa Girindrawardhana.
Di Jawa Tengah keadaannya juga setali tiga uang, khususnya di daerah Pengging dan sekitarnya di mana para pembesar-pembesar Hindu masih tetap berkuasa.
Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara menyebut beberapa pembesar seperti Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang tak memeluk paham yang sama dengan Islam yang diusung Demak. Mereka memeluk Islam mazhab Syi’ah yang diajarkan Syeikh Siti Jenar.
Perbedaan ini sekaligus mengawetkan permusuhan lama antara orang-orang Majapahit dengan para pendatang Arab dan Cina yang menjadi sponsor utama Kesultanan Demak.
Mereka diam-diam mbalelo dan menolak tunduk pada kekuasaan Demak serta membentuk persekutuan untuk melawannya. Mereka ini, meski kekuasaannya di wilayah-wilayah terbatas umumnya dipersatukan kepentingan bersama yakni mengalahkan Demak atau membalaskan dendam Majapahit. Orang-orang di Pengging termasuk golongan tersebut.
Di masa pemerintahan Sulta Demak pertama yakni Jin Bun, daerah Pengging diperintah Andayaningrat atau Dayaningrat yang menikahi Retna Ayu putri Wikramawardhana, raja Majapahit. Putri ini adalah kakak tiri Jim Bun yang lahir dari istri selir.
Dayaningrat mempunyai dua orang anak yakni Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Sementara Kebo Kanigara tetap memeluk Budha Kebo Kenanga memilih masuk Islam.
Ketika Dayaningrat berperang membela Majapahit melawan Demak dan tewas di tangan Sunan Ngudung, Kebo Kenanga enggan ikut berperang bersama ayahnya karena segan menghadapi gurunya Siti Jenar.
Kebo Kenanga inilah yang ketika menjadi Bupati Pengging dan kemudian lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging, murid utama sekaligus menantu Siti Jenar. Darah Majapahit yang mengalir di dalam tubuh Ki Ageng Pengging itulah yang membuatnya menjadi duri dalam daging bagi Jin Bun.
Di puncak perselisihannya itulah, Ki Ageng Pengging ngotot emoh menghadap Jin Bun di Demak yang segera mengirim Ki Ageng Wanapala menyelidiki maksud sebenarnya. Gagal membujuk Ki Ageng Pengging, Raden Patah kemudian mengirim Sunan Kudus dan berhasil membunuhnya setelah ‘membedah’ sikutnya.
Tak hanya cukup membunuh Siti Jenar, pada akhirnya para pengikut Siti Jenar harus menjalani penumpasan atas nama ‘kesesatan’. [Teguh Nugroho]