Sistem Kepartaian Menjauh dari Cita-Cita Reformasi

Direktrur Perludem Titi Angraini

Koran Sulindo – Semenjak cita-cita reformasi dicanangkan 20 tahun lalu, sejauh ini belum ada perbaikan nyata kelembagaan-kelembagaan dan sistem demokrasi.

Menurut catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), perilaku dan budaya politik dan kepemiluan gagal merefleksikan semangat reformasi.

“Catatan kami reformasi sistem kepartaian kita belum terhubung atau belum memiliki konektivitas yang optimal dengan reformasi sistem kepemiluan dan juga sistem pemerintahan,” kata Direktur Eksekutif Titi Angraini di Jakarta, Selasa (29/5).

Menurut Titi, kondisi lebih buruk terjadi pada reformasi internal partai politik yang dianggapnya masih menyisakan sekurang-kurangnya dua masalah besar.

Pertama, akuntabilitas keuangan dan pengelolaan keuangan di internal partai politik. Kedua terkait dengan rekrutmen politik yang demokratis.

“Dua hal ini saling berhubungan satu sama lain yang pada akhirnya bisa memicu disfungsi partai politik,” kata Titi.

Menurut Perludem, hambatan terbesar adalah menguatnya praktik politik transaksional mulai dari jual beli suara, mahar politik atau jual beli tiket pencalonan hingga transaksi suap pada penyelenggara maupun hakim Pemilu.

Menurut Titi, reformasi hasil pemilu yang berjalan 20 tahun tak bisa dilepaskan begitu saja dari komitmen dan semangat awal reformasi.

Langkah ini harus mencakup penguatan sistem presidensial untuk memastikan kedaulatan rakyat makin kokoh dan berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi.  “Ini sesuai dengan tuntutan konstitusi dan amanat reformasi,” kata Titi.

Sementara itu Peneliti Perludem Usep Hasan menyoroti makin sulitnya membentuk partai politik meskipun sejak reformasi Undang-undang Parpol sudah direvisi hingga empat kali.

Ia menyebut makin direvisi, bukannya lebih baik tapi sistem kepartaian di Indonesia justru bertambah buruk.

“Parpol itu bukan hanya mahal tapi juga eksklusif hanya bisa diakses orang-orang tertentu untuk kemudian mendapatkan kekuasaan melalui satu-satunya jalan kekuasaan yaitu, pemilu,” kata Usep.

Sulitnya persyaratan mendirikan parpol menurut Usep bakal berdampak pada kualitas-kualitas parpol karena parpol merupakan ‘penyuplai’ pemimpin-pemimpin di daerah.

“Akhirnya karena kader-kadernya buruk, dan satu-satunya jalan yang paling mudah mencalonkan kepala daerah ya dari luar paprol, maka kalau ada kepala daerah yang bagus pasti berasal dari luar paprol,” kata Usep.

Menurutnya, dengan semua masalah-masalah itu langkah mewujudkan perbaikan dari hulu hingga hilir adalah dengan memperbaiki institusi parpol. Parpol harus memiliki sumber dana yang jelas, transparan, serta akuntabel.

“Parpol juga harus membangun sistem demokrasi internal yang adil dalam setiap proses pencalonan di kontestasi politik,” kata Usep.(CHA/TGU)