Sistem Hukum Arab Saudi Buruk, Indonesia Perlu Evaluasi Pengiriman BMI

Ilustrasi eksekusi BMI di Arab Saudi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kisah eksekusi mati terhadap buruh migran asal Majalengka, Tuti Tursilawati masih menjadi perbincangan karena rencana mengirim 30 ribu BMI ke Arab Saudi. Tuti dieksekusi oleh pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan kepada Indonesia pada 29 Oktober lalu setelah pengadilan negara itu memvonisnya hukuman mati karena membunuh majikannya.

Karena tindakan Arab Saudi, pemerintah Indonesia protes dan anggota DPR mulai mewacanakan agar rencana pengiriman tersebut dievaluasi terlebih dulu. Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, Yandri Susanto mengatakan, pihaknya mendesak pemerintah mengevaluasi pengiriman tersebut yang dijalankan melalui nota kesepahaman dengan Arab Saudi mengenai Sistem Penempatan Satu Kanal.

“Dengan adanya kasus Tuti ini sebaiknya itu dievaluasi lagi. Jangan dengan dikirimnya BMI ke Arab Saudi akan menambah daftar yang terkena hukuman,” kata Yandri seperti dikutip Kompas.com pada Senin (5/11).

Kisah Tuti ini juga mengingatkan kita pada apa yang disampaikan Direktur Eksekutif Tenaganita, Glorene Dass. Kekerasan terhadap BMI yang bekerja di sektor rumah tangga akan terus terjadi jika tidak ada hukum tegas yang mampu membela dan melindungi mereka. Seperti di Malaysia, itu pula yang menimpa BMI di Arab Saudi. Buruknya perlindungan hukum terhadap BMI lantaran sistem hukum di negeri tersebut juga buruk.

Apa yang dikatakan Glorene Dass merupakan buntut dari banyaknya buruh migran asal Indonesia mengalami kekerasan bahkan berujung pada kematian. “Kegagalan pemerintah membuat hukum tegas untuk melindungi buruh migran, maka korban kekerasan dan korban jiwa akan terus bertambah,” kata Glorene Dass seperti dikutip star2.com pada 6 April 2018.

Berdasarkan catatan Tenaganita, para buruh migran seperti di Malaysia setidaknya mengalami enam bentuk pelecehan. Umumnya para buruh migran itu tidak dibayar selama berbulan-bulan dengan alasan upahnya dipotong untuk berbagai keperluan seperti seragam, makan, cuti, izin kerja dan lain sebagainya. Lalu, pelecehan lain adalah tidak diberi makan dengan kondisi kerja yang buruk, tidak memiliki hari libur selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, paspor ditahan dan dipaksa kerja lembur tanpa upah.

Para buruh migran itu juga acap menerima kekerasan verbal, fisik dan juga seksual. Para buruh migran sektor rumah tangga menghadapi tantangan yang kompleks dan spesifik dibandingkan dengan buruh migran sektor lain. Karena itu, kata Dass, satu kasus sesungguhnya sudah terlalu banyak. Pun satu kematian: terlalu banyak. [KRG]