Sinta Nuriyah

Koran Sulindo – Sinta Nuriyah, istri almarhum Gus Dur masuk daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia menurut Majalah Time. Ia dinobatkan sebagai ikon pluralisme dan toleransi.

Selama 18 tahun ia berkeliling ke berbagai daerah mengelar sahur keliling dengan melibatkan komunitas lintas agama dan golongan masyarakat bawah.

“Ia memilih mendukung mereka yang lemah daripada kemapanan tanpa risiko sebagai janda mantan Presiden,” tulis Majalah Time dalam pengantarnya mengenai Sinta Nuriyah.

Bersama Sinta, di dalam daftar tersebut termasuk penyanyi Rihanna dan penggagas gerakan #metoo Tarana Burke.

Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, putri ketiga Sinta Nuriyah yang lebih dikenal sebangai Yenny Wahid menyebut pengakuan itu  merupakan kebanggaan luar biasa bagi seluruh keluarga dan pengagum Gus Dur.

Menurut Yenny, ibunya memang terus berjuang meneruskan cita-cita Gus Dur menciptakan perdamaian dan toleransi di Indonesia.

Sahur keliling dimulai Sinta sejak Gus Dur menjabat Presiden keempat Indonesia tahun 2000 lalu. Ketika itu Sinta mengunjungi sejumlah kawasan yang menjadi tempat tinggal warga miskin.

Model sahur keliling itu dilakukan Sinta, meski Gus Dur tak lagi menjadi presiden sejak 2001.

“Kita hanya bersilaturahmi menyapa mereka dengan baik menanyakan bagaimana puasanya, dan apa yang menjadi kesulitan dalam kehidupannya, Kita banyak mendapatkan masukan,”kata Sinta.

Menurutnya, aspirasi yang didapat saat Sahur Keliling itu menjadi masukan membuat kebijakan yang berdampak untuk mereka. Namun, selama 10 tahun terakhir Sinta lebih menekankan masalah toleransi dalam setiap ceramahnya.

Menurut Sinta, mencintai tanah air artinya juga mencintai keberagaman di Indonesia, dan menurut Sinta sesuai dengan makna puasa.

“Apa sih ajaran puasa itu, pada ujungnya mempererat tali persaudaraan yang sejati diantara anak bangsa, kan ini sama paralel dengan situasi dan kondisi bangsa, kerukunan NKRI itu harus kita jaga, harus kita bina,” kata Sinta.

Namun, selama 10 tahun terakhir Sinta lebih menekankan masalah toleransi dalam setiap ceramahnya.

“Intoleransi kian menguat, kerukunan itu digoyang-goyang, negara dan bangsa itu selalu diteror dan sebagainya, saya merasa bahwa kebhinekaan itu harus diperkuat,” jelas Sinta.

Dalam beberapa tahun terakhir ini keberagaman dan toleransi di Indonesia menjadi sorotan karena diskriminasi terhadap minoritas seperti penutupan masjid dan gereja di sejumlah daerah.(TGU).