Simpang-siur Informasi Divestasi Saham Freeport

Tambang Grasberg. Foto: mining.com

Koran Sulindo – “Rio Tinto, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum), and Freeport McMoran Inc. (FCX) have signed a non-binding agreement in relation to the future ownership of the Grasberg mine in Indonesia,” demikian bunyi pembuka siaran pers dari pihak Rio Tinto, sebagaimana dimuat dalam situs web resminya, 12 Juli 2108. Artinya, status perjanjian divestasi antara Pemerintah Republik Indonesia lewat PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan Freeport McMoran dan Rio Tinto yang ditandatangani 12 Juli 2018 itu (heads of agreement, HOA) bukanlah perjanjian yang mengikat, menurut pihak Rio Tinto.

Hal yang sama juga dinyatakan dalam siaran pers Freeport McMoran (FCX). Perjanjian yang sudah ditandatangani tersebut tidak mengikat, walau sudah ada kesepakatan harga. “Di bawah perjanjian yang tidak mengikat, Inalum akan membayar tunai sebesar $ 3,85 miliar untuk hak kelola Rio Tinto, 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama,” demikian antara lain dinyatakan dalam siaran pers Freeport McMoran. Mayoritas saham di PT Indocopper Investama memang milik FCX.

Akan halnya PT Indocopper Investama adalah pemegang saham di PT Freeport Indonesia (FIC). Pemegang saham FIC yang lain adalah Freeport McMoran (FCX) dan Pemerintah Republik Indonesia. Sementara itu, untuk operasi tambang di Grasberg, Freeport McMoran (FCX) melakukan joint venture dengan Rio Tinto.

Tak jelas, apakah HOA divestasi tersebut hanya mencakup tambang terbuka Grasberg itu atau juga meliputi tambang-tambang di bawah tanah Freeport. Ataukah mencakup seluruh potensi yang ada di wilayah kontrak karya yang belum ditambang? Yang pasti, soal status perjanjian yang tidak mengikat juga dinyatakan Juru Bicara PT Freeport Indonesia (PTFI, FIC).

Beda halnya dengan pihak pemerintah Indonesia. “Yang ditandatangani hari ini itu mengikat,” kata Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno setelah penandantanganan HOA tersebut, 12 Juli.

Memang, menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, kalau sudah ada perjanjiannya sudah sah secara hukum. “Mau HoA atau memorandum of understanding, kalau sudah ada perjanjiannya, sudah sah secara hukum,” tuturnya. Namun, ia juga mengatakan, seharusnya pemerintah lebih transparan tentang HAA divestasi tersebut, agar masyarakat bisa mengetahui isinya.

Sementara itu, terkait harga divestasinya, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batu Bara sehari sebelum ditandatangani perjanjian itu telah mengatakan, harga itu terlalu mahal. Seharusnya, menurut penilaian Marwan, pemerintah bisa dan harus meminta harga yang jauh lebih rendah. “Mengingat Freeport pun harus membayar sanksi akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” ungkap Marwan dalam keterangan tertulisnya, 11 Juli 2018.

Mestinya juga, lanjutnya, yang menjadi rujukan perhitungan harga saham adalah periode kontrak karya tambang Freeport yang berakhir pada tahun 2021. Bukan periode kontrak karya hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport. “Sehingga, dengan masa berlaku kontrak karya yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah dari US$ 3 miliar-US$ 4 miliar,” kata Marwan.

Ia meyakini, Freeport menginginkan nilai saham lebih tinggi dengan menjadikan acuan periode kontrak karya hingga 2041. Padahal, tidak ada ketentuan dalam kontrak karya yang mewajibkan Indonesia harus memperpanjang kontrak karya hingga tahun 2041. Marwan pun mengingatkan, Indonesia jangan sampai terjebak lagi oleh Freeport, sebagaimana yang dilakukan Freeport pada periode 1990-an, ketika kontrak yang semestinya perpanjangan diganti menjadi kontrak karya baru.

“Implikasinya, kontrak karya asli yang seharusnya berakhir pada 2021, kemudian diklaim oleh Freeport menjadi berakhir pada 2041,” kata Marwan.

Jika merujuk periode kontrak yang tinggal tiga-empat tahun, lanjutnya, saham Freeport semestinya hanya US$ 1 miliar sampai US$ 1,5 miliar. “Jika ditambah dengan sanksi-sanksi hukum akibat kerusakan lingkungan yang nilainya sangat besar diperhitungkan, nilai yang harus dibayar negara untuk saham divestasi Freeport diperkirakan hanya beberapa ratus juta dolar Amerika Serikat saja,” katanya.

Di sisi lain, dalam “Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017” yang dilaporkan Badan Pemeriksaan (BPK) ke DPR pada 3 Oktober 2017 lampau dinyatakan, kontrak karya Freeport menyebabkan hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) periode 2009-2015 senilai US$  445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs waktu itu).

Hilangnya potensi PNBP tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan atas pembayaran iuran tetap, royalti, dan royalti tambahan oleh PTFI (FIC) menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarannya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif terbaru yang berlaku. Karena, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian ESDM, pemerintah sudah menetapkan besaran royalti untuk emas, perak, dan tembaga.

Selain bertujuan menilai kepatuhan penerimaan negara, pemeriksaan BPK tersebut juga terkait dengan lingkungan hidup. “Hasil pemeriksaan menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia,” demikian antara lain dinyatakan dalam IHPS I Tahun I 2017 BPK. [RAF]