Simpang Jalan Bandit di Masa Revolusi

Suluh Indonesia – Bagi seorang jagoan masa-masa revolusi hanya menyisakan dua pilihan, menjadi kriminal atau revolusioner.

Jika pilihan revolusioner merupakan jalan lurus yang penuh kepahlawanan dan patriotisme, jalan kriminal menawarkan dunia sebaliknya. Hitam penuh tipu daya.

Tapi benarkan kedua pilihan itu benar-benar kalis satu sama lain? Tidak juga!

Bagi bandit sejati, revolusi justru menawarkan 1001 peluang sekaligus kesempatan yang luas. Di Rusia, pemimpin-pemimpin bandit dan Cossac seperti Bulavin, Bolotnikov dan Stenka Razin dianggap sebagai pahlawan-pahlawan gaib. Semacam pembela tanah Rusia yang suci dari serbuan orang-orang Tartar.

Mereka dianggap avator yang menjadi Tsar ‘baik’ untuk menggantikan Tsar ‘jahat’ yang berpihak pada kaum boyar dan orang-orang kaya.

Sama seperti di Rusia, bandit di Indonesia juga memanfaatkan jalannya revolusi. Biasanya mereka muncul di tempat ketika alat-alat pemerintahan lemah. Mereka tampil membonceng sebagai gerakan revolusioner dan mengusung teror sebagai alat menjalankan kekuasaan.

Di Surakarta, bandit menggedor, menjarah, sekaligus mencuri harta milik pamongpraja, orang-orang kaya atau golongan Cina.

Jika gerakan revolusioner mengerakkan revolusi untuk menghapus swapraja Surakarta, para bandit ini memanfaatkannya untuk mengambil paksa harta keraton dengan alasan telah melakukan eskploitasi di masa silam.

Tak semua bandit lantas membabi buta hanya merampok dan merampok saja.

Di Surabaya, pada Perang 10 November 1945 bekas narapidana justru dikenal sebagai pasukan yang paling ditakuti tentara Inggris karena saking nekatnya.

Baca juga Pertempuran Surabaya dan Dilema Tentara India

Zainal Sabarudin

Tak hanya menuai pujian, caci maki dan celaan juga di alamatkan pada para bandit yang pekerjaannya merampok, menjarah dan memperkosa para perempuan Belanda dan Indo.

Di antaranya yang paling sadis adalah Mayor Zainal Sabarudin Nasution seorang pejuang kemerdekaan Indonesia kelahiran Kutaraja Aceh yang ditakuti karena terkenal kejam dan bengis.

Usai proklamasi, Sabaruddin ditunjuk menjadi komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) karasidenan Surabaya. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor dan bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.

Disinilah dimulai semuanya. Kekejaman Mayor Sabaruddin melegenda. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Mayor Sabaruddin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji.

Ia pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo ini merupakan bekas komandannya di PETA. Sabarudin menuduh berdasarkan sebuah foto Suryo bersama Ratu Wilhelmina dalam sebuah acara kepanduan.

Belakangan semua orang tahu belaka, eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara.

Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik.

Meski kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya. Dia bahkan dilaporkan membuat sebuah ‘harem’ khusus dari puluhan perempuan kulit putih yang diculiknya.

Pasukan Teratai

Di Bandung, kesatuan laskar yang dinamai Pasukan Teratai mendapat tugas ‘mulia’ mengacau di daerah pendudukan untuk mengempiskan moril tentara musuh. Laskar itu dipimpin oleh Jenderal Mayor drg Moestofo.

Drs.Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 menyebut kesatuan itu terdiri dari Barisan M yang beranggotan maling kroco dan Barisan P yang terdiri dari para pelacur.

Ada sebuah kisah menarik. Suatu ketika sang Mayor Jenderal Moestofo mengeluhkan tasnya yang berisi pakaian raib dan kepada Komandan Sektor Bandung Utara Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, Moestofo bertanya.

Bukannya langsung menjawab, yang ditanya justru terbahak-bahak. “Lho, kok Overste malah ketawa?” kata Moestofo.

“Siapa lagi yang mengambil kopor Jenderal jika bukan anak buah Jenderal sendiri? Ini kan namanya senjata makan tuan,” kata Sukanda.

Tak hanya koper komandan yang disikat, belakangan segala harta benda rakyat yang ditinggal mengungsi juga digasak. Lebih sial adalah, Barisan P yang mestinya menurunkan moril tentara mush justru malah menularkan penyakit kelamin di kalangan tentara republik.

Mencegah kerugian lebih besar, pasukan khusus itupun akhirnya ditarik dari wilayah musuh sekaligus dibubarkan.

Di wilayah Merapi dan Merbabu, Suradi Bledeg yang memperoleh julukannya karena suaranya yang lantang mirip bledeg tampil sebagai benggol atau pemimpin bandit karena ‘ilmunya’ yang tinggi.

MMC

Ketika bergabung dengan Gerakan Merapi Merbabu Complex, ia segera mendapat kepercayaan memimpin dan sangat termotivasi oleh kekecewaannya pada program rasionalisasi Hatta.

Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949 menyebut Barisan Pelopor tampil sebagai kelompok yang disegani di wilayah Karawang hingga Bekasi.

Mereka berbagi ‘lahan’ dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) dan Pasukan Beruang Merah. “Mereka memadukan kriminalitas dan patriotisme dalam sebuah wajah,” tulis Cribb

Dalam banyak kasus, keberadaan kelompok-kelompok jagoan itu dianggap mendukung pekerjaan tentara asli. Tak cuma soal keberanian, mereka seringkali tergolong nekat dan pantang menolak diserahi tugas sebahaya apapun tugasitu.

Sering menjadi masalah karena watak banditnya itu tak begitu saja luntur meski melakukan kerja-kerja revolusioner. Penyelewengan dan pembangkangan menjadi cerita yang lumrah.

Cribb juga menyebut sejarah koalisi  bandit Jakarta dengan kaum nasionalis muda berhaluan kiri  yang  penuh gejolak. Revolusi 1945, menurutnya sangat melibatkan  dunia hitam di Jakarta.

Revolusi di Jakarta bukanlah  fenomena lokal jika mempelajari  wilayah  Jakarta dan sekitarnya termasuk bandit-bandit  yang hidup di sana.

Di sinilah niat suci mempertahankan kemerdekaan dan meraih untung pribadi bercampur baur dalam selimut patriotisme. Tentu saja sasarannya orang kulit putih dan asing, meski jelas-jelas mereka bukan kombatan.

Bukan Strategi Biasa

Sjahrir dalam Perjuangan Kita mengkritik aksi anarkistis itu karena dianggap merugikan perjuangan. Sedangan dalam brosur Moeslihat Tan Malaka justru menyebut tersebut merupakan modal utama untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Cribb menyimpulkan kerjasama kelompok-kelompok dunia hitam di Jakarta dan nasionalis muda radikal tetaplah bukan strategi biasa. Sebagian hanya disebabkan kesamaan sikap menentang Belanda sedangkan sebagian lagi karena kepentingan timbal balik.

Haji Darip yang memimpin BRI misalnya, sebagai pentolan gerombolan Klender yang terlibat pemogokan jalur kereta api di Jakarta. Saat digelar rapat di Lapangan Ikada, dia mengirim sekitar 200 ribu pengikutnya dari Bekasi. Sebagai unjuk kekuatan rakyat berdaulat.

Baca juga Jakarta: Sejarah Panjang dari Kota Pelabuhan ke Kota Internasional

Sayang, pidato Sukarno di Lapangan Ikada nyatanya mengecewakan kaum revolusioner marjinal yang sebenarnya sudah siap mati. Pada pertemuan itu, Sukarno justru mengimbau peserta rapat untuk pulang dengan tertib. Jelas Sukarno tidak ingin membangkitkan massa untuk revolusi kekerasan.

Bandit yang semula lekat dengan dunia kejahatan, tampil terhormat karena perannya dalam revolusi. Semangat revolusioner pun meresap ke dalam diri para bandit, sehingga mereka, yang semula apolitis mendadak jadi satu golongan berkesadaran politik.

Cribb juga mencatat pada mulanya gerakan bandit yang beraksi sporadis acap tak memiliki tujuan jelas Camat Nata, misalnya, ia membunuh seorang mandor perkebunan swasta di Kranji dan menjadikan istri sang mandor itu sebagai simpanannya. “Mereka lebih merupakan kaum oportunis daripada pejuang revolusi sosial,” tulis Cribb.

Contoh lain adalah aksi-aksi Haji Darip yang memadukan kriminalitas dan patriotisme hanya dengan menjarah orang orang berkulit terang seperti Cina, Eurasia, dan Eropa atau mereka yang berkulit gelap seperti Ambon dan Timor.[TGU]

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 12 Mei 2019)