Megawati Soekarnoputri pada suatu hari di Pacitan, 1996/lemonde-fr

Koran Sulindo – Hanya 4 hari setelah Megawati Soekarnoputri terpilih secara de facto dalam Kongres Partai Demokrasi Indonesia di Surabaya pada 1993, beberapa pimpinan fungsionaris Golongan Karya mengunjungi makam Soekarno di Blitar. Mereka mencoba “mengganggu” asosiasi antara PDI-nya dengan Soekarno.

Rombongan peziarah berbaju kuning berjumlah sekitar 5 ribu jiwa itu dipublikasikan besar-besaran di media massa nasional waktu itu. Ketua Umum Golkar saat itu Harmoko dan Wakil Ketua Tutut Indra Rukmana (putri tertua Presiden Soeharto) nampak bersila paling depan di pusara Presiden Pertama Republik Indonesia itu.

Walau pun Harmoko mengatakan itu bukanlah ziarah politik, namun Ketua Golkar Jawa Timur saat itu, Hasrul Harun, mengatakan tujuan nyekar ke makam Bung Karno itu untuk mendemonstrasikan bahwa Bung Karno adalah milik seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya PDI.

Megawati justru memposisikan diri berbeda. Tak lama setelah formal terpilih sebagai Ketua Umum PDI pada Desember 1993, anak kedua Bung Karno itu mengatakan, “Alhamdulillah saya adalah anak Bung Karno. Tapi apa itu sebuah dosa?”…Bukan salah saya jika saya adalah salah satu dari anaknya…Saya melihat diri saya sebagai Megawati, dengan segala kekuatan dan kelemahan saya. Saya tak perlu dibandingkan dengan Bung Karno. Ia orang dari zamannya sendiri.”

Megawati saat-saat itu, baik sebelum atau setelah terpilih menjadi pemimpin PDI, terlihat sangat berhati-hati mencegah PDI diganyang karena menghidupkan kembali Soekarnoisme, terma yang mudah diselewengkan sebagai kekiri-kirian.

Gagasan politik Megawati tergambar paling jelas dalam buku, “Bendera Sudah Saya Kibarkan”, yang diluncurkan pada 23 November 1993 di Hotel Indonesia, Jakarta, seminggu sebelum Kongres Luar Biasa Surabaya.

Buku itu menekankan lagi gagasan Megawati bahwa ia tidak ingin membangkitkan kembali Soekarnoisme. Ia punya agenda lain.

Megawati dengan cepat diterima faksi-faksi di dalam PDI sebab tak pernah tersangkut dalam konflik-konflik internal di PDI sebelumnya, ada harapan membuncah ia mampu menyatukan kembali kekuatan nasionalis dalam tubuh partai yang selalu sibuk bertengkar sendiri di dalam sejak fusi 1973.

Seperti dikutip buku karya Stefan Eklof, “Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia: The Indonesian Democratic Party (PDI) and the Decline of the New Order (1986-98), yang cetak pada Oktober 2003, naiknya Megawati ke pucuk partai itu menumbuhkan harapan  pada munculnya demokrasi dan budaya politik partisipatoris di tanah air.

Megawati dan para pendukungnya juga meyakini terpilihnya dia sebagai pucuk tertinggi PDI saat itu adalah unik. Itulah pertama kalinya sepanjang kekuasaan Orde Baru Soeharto bahwa ketua partai dipilih dari bawah, menyimpang dari “petunjuk” penguasa. Maka lahirlah konsep “Arus Bawah”, konsep itu meletakkan pemerintah di situasi yang sulit.

Dukungan kuat dari dalam partai dan dari masyarakat sipil di luar juga membuat pemerintah makin sulit menyepelekan Megawati. Bendera sudah dia kibarkan.

Penantang Utama Soeharto

Naiknya Megawati sebagai penantang, sekaligus bisa diartikan sebagai penentang, Soeharto, mulai memperlihatkan pada publik: orang kuat yang berkuasa sejak menumbangkan ayahanda Megawati sekitar 30 tahun sebelumnya itu mulai kendur pegangan tangannya pada tongkat kekuasaan.

Soeharto juga mulai menyadari tantangan serius pada kursinya itu. Ia pelan-pelan mulai intens kembali memegang erat kontrolnya pada militer dan mulai membabat suara-suara penentangnya.

Pada saat sama, sikap tenang dan terjaga Megawati menghadapi serangan dari pemerintah dan orang-orang dalam partainya sendiri, meninggikan kedudukan dan moralnya di antara para pendukungnya dan rakyat. Konsekuensi yang terlihat paling menyolok ketika Megawati memasuki tahun ketiga sebagai Ketua Umum PDI: Ia telah melangkah lebih jauh dari sekadar simbol pewaris bapaknya; tapi juga merengkuh reputasi dalam moralitas, kejujuran, kebenaran, dan kesantunan sebagai akibat sikapnya yang tetap kalem dan sabar menghadapi para durjana keji yang mencoba menjatuhkannya sebagai pimpinan partai.

Bagaimanakah Megawati muncul di panggung politik? Akio Satoko dalam bukunya Unmei no chojyo: Soekarno no musume, Megawati no hansei (Destiny’s eldest daughter: The early life of Soekarno’s daughter Megawati; 2000) menggambarkan politik Indonesia melalui kehidupan berkeluarga Megawati sebagai anak, ibu, dan istri, terutama takdirnya sebagai anak perempuan presiden pertama Indonesia.

Akio berkeliling ke pojok-pojok Jakarta, mewancarai supir taksi , orang-orang di jalan, hingga Megawati sendiri sebelum menjadi presiden. Wawancara dengan Megawati ini bernilai spesial untuk memahami pemimpin perempuan pertama di Indonesia yang dijuluki majalah Asiaweek sebagai “Silent Enigma” itu.

Akio melokalisir karir politik dalam hubungan dengan kehidupan berkeluarga dan kepresidenan Soekarno. Megawati tetap bertahan dengan bapaknya ketika ibunya, Fatmawati, meninggalkan istana. Dan ia sejak itu bertindak sebagai ibu bagi adik-adiknya dan sebagai ibu negara ketika Soekarno berkunjung ke negara lain. Fokus pada kehidupan personal Megawati, Akio mengatakan peran baru itu membuat Megawati tangguh ketika menghadapi Soeharto, dan pelan-pelan menahbiskan diri sebagai simbol gerakan demokratisasi. Pada penutup buku, Akio melihat perubahan Megawati dari “Anak Soekarno” menjadi “Ibu Rakyat Indonesia”.

Personifikasi Bangsa

Majalah Forbes Edisi September 2004 menempatkan Megawati sebagai salah satu perempuan terkuat dunia. Pemimpin berkelas dunia itu adalah seorang pendiam berkepribadian emas. Presiden RI ke-5 ini dinilai teguh memegang prinsip, konsisten, dan visioner. Dia seorang pejuang sekaligus simbol dan inspirasi reformasi. Perjuangannya menegakkan demokrasi ketika negaranya dalam keadaan terpasung memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut dalam gerbong reformasi.Tanpa putri pertama Bung Karno tersebut reformasi di Indonesia belum tentu terjadi.

Ibu yang pendiam itu memberi inspirasi bangkit bersama. Ia memberi keberanian anak-anaknya berkumpul dan berorasi menumpahkan segala kemarahan terhadap penguasa yang represif di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta pada 1996.

Peristiwa 27 Juli 1996 tak menyurutkan perlawanannya. Megawati sadar saat itu dibutuhkan seorang pemimpin sebagai simbol perlawanan. Jika dia surut bisa jadi gerbong perlawanan yang makin membesar di belakangnya itu pun terhenti. Buku Eklof yang dikutip di depan mengatakan, perjuangan panjang dan berat selama 12 tahun sejak 1986 (pertama kali Megawati masuk PDI lalu menjadi anggota DPR) hingga jatuhnya Soeharto pada 1998 adalah bukti tangguhnya kesabaran dan perjuangan Megawati. Ia seorang pejuang demokrasi yang konsisten.

Megawati adalah seorang pemimpin berkepribadian kuat. Ia tak mudah dipengaruhi jika tidak sesuai dengan nurani dan visinya tentang cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Baginya visi dan misi para pemimpin bangsa ini tak bisa lain dari visi dan misi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Megawati juga tak bisa didikte kekuatan mana pun, baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri. Dia dengan lantang menolak tindakan balas dendam Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak, kendati tetap menentang terorisme global.

Masih segar dalam ingatan bagaimana di awal-awal reformasi para pengikutnya sukarela menorehkan cap jempol darah, menjelang penyelenggaraan pemilihan umum 1999: Pejah Gesang Nderek Mega. Hidup mati tetap bersama Megawati. Masih terbayang juga bagaimana sudut-sudut kampung, sudut-sudut kota, penuh dengan posko-posko PDIP yang swadaya dan swadana, hanya karena seruan Megawati.

Pada 1999, sebelum jajak pendapat berlangsung di Timor Timur, massa pendukung kemerdekaan beramai-ramai ke Bandara Komoro, Dili, sambil membeberkan sebuah spanduk besar berbunyi, “Mega Ibu Kami”. Saat seorang peninjau asing berbisik pada salah seorang pendukung itu, “Apa kalian tidak tahu Megawati tidak setuju TimTim merdeka?” Dijawab: “Biar saja, tetapi Megawati ibu kami”.

Megawati telah menjadi personifikasi bangsa ini. Untuk sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk para penentang integrasi Timtim, Megawati adalah Ibu Pertiwi.

Ibu pertiwi ini juga bersifat welas asih kepada sesama. Prijono Soemantri, teman seangkatannya yang kini menjadi pengusaha, mengatakan Megawati mudah tersentuh pada penderitaan orang lain. “Kalau melihat orang yang sengsara, pasti Adis memihak orang yang sengsara itu. Kalau sudah begitu, Adis tidak dapat ditawar-tawar lagi. Semakin disudutkan, semakin ia bersikukuh pada pendiriannya.”

Tak heran kelahiran Megawati dilukiskan paling detil oleh Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams (Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1966) “Aku takkan melupakan peristiwa tanggal 23 Januari 1947 tersebut. Pada malam itu, guntur seakan hendak membelah angkasa. Istriku terbaring di kamar tidur yang telah disediakan. Tiba-tiba saja lampu padam. Atap di atas kamar runtuh, mega yang gelap dan berat melepaskan bebannya dan kemudian air hujan langsung mengalir ke dalam kamar bagaikan sungai. Dokter dan juru rawat mengangkat Fatmawati ke kamar tidurnya sendiri. Dia basah kuyup seperti juga semua peralatan dokter, kain sprei dan segala-galanya. Dalam kegelapan, dengan penerangan cahaya pelita. Lahirlah putri kami, Megawati.”

Hanya putri sulungnya itu yang dilukiskan begitu rinci dan dahsyat oleh bapaknya. [Didit Sidarta]