Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bergandengan tangan menjaga Indonesia dari umat yang beringas. Diupayakan hingga ke aras bawah.
Koran Sulindo – Rombongan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu datang berombongan seperti sedang menggeruduk. Selain Ketua Umum Sa’id Aqil Siradj, ikut juga Sekjen Helmi Faisal, dan Ketua Banser Yaqut Cholil Qoumas. Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah di sekitaran jalan Menteng Raya yang sehari-hari sunyi sepi itu mendadak penuh guyonan khas NU.
Malam itu rombongan tersebut disuguhi tuan rumah nasi kebuli.
“Nasi Arab,” gurau Said Aqil.
“Nasi Arab yang dinusantarakan,” balas Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Silaturahmi itu merupakan kunjungan balasan PBNU. PP Muhammadiyah datang ke Gedung PBNU, Maret lalu. Perlu 8 bulan untuk bertemu lagi, padahal kedua kantor dua organisasi Islam besar di Indonesia itu hanya berjarak paling jauh 2 kilometer; satu belokan dan tak menghabiskan sebatang rokok?
Memang banyak orang menganggap pengikut NU dan jamaah Muhammadiyah itu rukun dan selalu kompak menjaga Islaman yang moderat dan merawat ke-Bhineka Tunggal Ika-an, menjaga konstitusi dan ideologi negara, serta mempertahankan keutuhan bangsa dan negara dari serbuan ideologi Islamisme yang mencoba mengubah dan mentransformasi Indonesia menjadi “negara Islam” atau Khilafah, dan sejenisnya dan seterusnya.
Pendapat itu hanya separuh benar.
Dalam sejarahnya, kedua ormas itu lebih banyak berantem daripada berteman. Bagi pemeluk teguh NU dan Muhammadiyah, mereka bahkan tidak mau kawin-mawin karena dianggap “pamali”.
Contoh terbaik adalah guyonan khas NU ini: “Alhamdulilah di daerah kami semua penduduk memeluk agama Islam, hanya sedikit saja yang Muhammadiyah”.
Bagi orang-orang NU, Muhammadiyah dilihat hanya “setengah Islam”.
Sentimen dan persepsi negatif warga NU terhadap Muhammadiyah dan juga sebaliknya tidak banyak berubah hingga kini. Meskipun sebagian dari mereka bisa saja duduk bersama dan bercanda ria tetapi dalam hati dan batin mereka sangat merana.
“Ini baru faktor sosial-kultural-keagamaan, belum lagi faktor kepolitikan yang membuat jarak keduanya semakin menganga sehingga sulit disatukan dan dirukunkan,” tulis Sumanto Al Qurtuby (Mitos Kerukunan Antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah/ dw.com/30.01.2018).
Sejumlah perbedaan tafsir, pandangan, pemahaman, dan tindakan yang menyangkut masalah-masalah sosial-kultural-ritual-keagamaan inilah, antara lain, yang telah membuat NU dan Muhammadiyah itu sulit berdamai.
Muhammadiyah menyebut NU sebagai ormas “tradisional, kolot, udik, kampungan, ndeso, dan sarungan” yang tidak melek pendidikan, anti-modernisasi, miskin wawasan, kontra ijtihad, hobi taklid, dan anti perubahan sosial.
NU menilai Muhammadiyah sebagai ormas sok modern, keminter, kemajon, sok berpendidikan, sok intelek, sok ngota, meskipun sejatinya pengikut Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang ‘bodoh’ karena tidak bisa membaca “Arab gundul” dan kitab kuning.
Sebetulnya perdebatan dua raksasa ini adalah soal remeh-temeh, tapi keduannya sama-sama menganggap itu hal mendasar, fundamental, dan prinsipil.
Sinetron ini takkan terelakkan dan mungkin akan abadi. Kecuali ada masalah penting yang dihadapi bangsa dan negara, barulah mereka berdua bahu-membahu menjaga di depan.
Islam yang Beringas
Seusai silahturahmi itu, Said Aqil megatakan belakangan ini ada sesuatu yang datang dari luar yang bukan jati diri masyarakat Indonesia.
“Belakangan ini kita rasakan ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang asing. Ada sesuatu dari luar ini rasanya, di antara saudara kita jadi beringas, jadi radikal, jadi keras,” kata Said. Namun ia tidak mau menyebut apa yang membuat umat Islam Indonesia menjadi radikal itu.
Ia hanya menyinggung peran NU dan Muhammadiyah sejak pertama kali berdiri hingga hari-hari ini senantiasa menjaga ciri khas umat Islam Indonesia yang ramah, santun dan toleran.
“Tidak akan terlaksana berkat adanya NU dan Muhammadiyah,” kata Said.
Haedar Nashir menegaskan Muhammadiyah ingin membangun ta’awun atau kerjasama yang lebih aktif lagi dengan berbagai komponen bangsa, termasuk dengan NU.
“Karena ini adalah organisasi Islam yang tua dan ikut mendirikan bangsa, kami ingin hadir sebagai ummatan wasathan, umat tengahan yang tetap berkemajuan membangun keadaban. Semangat kita adalah maju bersama dan berbagi. Ini semua tentang persaudaraan, kekeluargaan dan keakraban,” kata Haedar.
Di tengah suasana tahun politik yang tidak ideal, Haedar mengatakan pentingnya kebersamaan.
“Apalagi untuk ta’awun, Muhammadiyah dan NU memiliki usaha spesifik. NU punya pesantren, Muhammadiyah punya pendidikan umum. Sekarang sudah sama-sama bergerak. Muhammadiyah punya pesantren dan NU punya pendidikan umum,” katanya.
NU dan Muhammadiyah juga menyebut selalu menjaga agar empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, tetap menjadi landasan utama Indonesia.
Islam yang Ramah
Kerja sama kedua raksasa itu diupayakan hingga ke aras bawah. Seusai makan nasi kebuli nusantara itu, Pemuda Muhammadiyah dinyatakan akan menggandeng anak-anak muda NU dalam berbagai program kemanusiaan.
“Nanti BANSER dan KOKAM, Anshor dan Pemuda Muhammadiyah akan kerja bersama dalam program kemanusiaan, terutama dalam program kebencanaan sebagai bagian dari ta’awun antar dua kekuatan pemuda. Insya Allah ini mengarahkan potensi yang paling besar dan ‘terbaik bagi generasi muda,” kata Haedar.
Kerja sama itu juga dua hal ini: pertama mengubah persepsi organ paramiliter pemuda itu menjadi lebih positif. Juga memaksimalkan potensi terbaik generasi muda yang terlibat di sana. Selama ini kedua sayap pemuda itu memang sudah bekerja sama tapi terkesan hanya latihan baris-berbaris saja.
Tapi selain itu kedua raksasa itu juga mengeluarkan pernyataan bersama mengahdapi tahun-tahun politik ini.
“Semua pihak agar mengedepankan kearifan, kedamaian, toleransi, dan kebersamaan di tengah perbedaan pilihan politik. Kontestasi politik diharapkan berlangsung damai, cerdas, dewasa, serta menjunjung tinggi keadaban serta kepentingan bangsa dan negara. Hindari sikap saling bermusuhan dan saling menjatuhkan yang dapat merugikan kehidupan bersama.” Itulah bunyi poin ke-4 pernyataan bersama NU dan Muhammadiyah.
Jika pada masa Rezim Soeharto itu, misalnya, Islam diperlakukan sebagi ancaman dan selalu di bawah rumah kaca untuk diawasi. Namun setelah reformasi 1998, Islam yang berpuluh tahun dipinggirkan itu seperti mendapat angin segar.
Pada Pemilu 1999 misalnya, dari 47 partai poltik peserta Pemilu, lebih sepertiganya adalah partai Islam atau yang menggunakan Islam sebagai benderanya.
Resikonya adalah berbagai macam wajah Islam muncul ke permukaan, dari yang tersentum, merengut, hingga marah-marah.
Setelah lebih 20 tahun reformasi berlangsung kini, kekuatan politik Islam masih terfragmentasi, membuatnya lemah sebagai kekuatan politik. Islam tidak mempunyai panggung.
Beberapa tahun belakangan ini bangkit suatu golongan yang, oleh Azyumardi Azra (dalam Revisitasi Islam Politik dan Islam Kulural; 2012), disebut mempunyai agenda politik seperti parpol Islam, namun tidak mempercayai partai Islam yang ada juga organisasi kultural seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Golongan ini juga tak mengakui keabsahan sistem dan proses politik yang ada. Golongan ini muncul ke permukaan dan terlihat besar pada peristiwa yang mengikuti proses politik dan hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Dan dalam proses melengserkan Ahok dari kekuasaan dengan menggunakan politik identitas seperti penistaan agama dan sebagainya itu, mereka merebut panggung politik dan pemberitaan media massa.
Dalam seluruh proses itu, Islam Indonesia seolah-olah berubah dari Islam yang ramah menjadi yang marah-marah dan beringas.
Setelah gaduh Pilkada itu berakhir dan Ahok akhirnya masuk penjara, harusnya Islam kembali menampilkan wajah aslinya yang ramah dan toleran, Islam dengan wajah tersenyum.
Islam di nusantara dinilai Islam yang moderat dan damai, tidak memiliki masalah dengan modernitas, demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan jender, dan isu kontemporer lain. Menjadikan Islam menjadi agama yang tersenyum lagi adalah tugas sejarah kita hari-hari ini, yang pekan lalu diambilalih NU dan Muhamadiyah. Tugas sejarah kita hari-hari ini adalah mengawal dua organisasi digdaya itu. [Didit Sidarta]