Koran Sulindo – Bangsa ini senang sekali membuka aibnya sendiri dan kemudian bertikai, saling tuding sebagai pelaku atau orang yang terlibat dalam terciptanya sejarah kelam. Ini tentang Peristiwa 30 September 1965.
Atas nama sejarah ada yang mengatakan, kita harus selalu mengingat perilaku kejam dan brutal yang dilakukan sebagian anak bangsa terhadap anak bangsa lainnya. “Sejarah bisa berulang, karena itu kita harus waspada dan selalu mengingat tragedi yang menelan korban tak terkira itu,” demikian argumennya. Lalu, ada pula yang menyatakan atas nama pelurusan sejarah, ketidakbenaran harus dikoreksi dan disampaikan secara luas kepada seluruh anak bangsa.
Namun, kenapa dua maksud baik itu akhirnya bermetaformosis menjadi “senjata terhunus” untuk saling menikam pihak yang berseberangan pandangan? Mengapa kita saling memaki, yang gemanya menusuk-nusuk lambung kapal besar kita sebagai satu bangsa, satu negara, satu Tanah Air sehingga retak dan bocor di sana-sini? Membuat kapal besar yang kita naiki bersama menuju cita-cita Proklamasi Kemerdekaan akhirnya berjalan terseok-seok dan limbung dihantam gelombang zaman yang semakin hari semakin terasa ganas?
Padahal, kita bisa dengan begitu cepat memaafkan para penjajah dari negeri jauh, yang bukan saja telah mengeruk harta-kekayaan Ibu Pertiwi, tapi juga telah bertindak sangat kejam kepada anak bangsa ini. Bahkan, kita kini bersahabat dengan orang-orang dari negara-negara yang pernah menjajah kita itu, membina hubungan baik dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi—bidang-bidang yang sangat berpengaruh besar bagi eksistensi suatu bangsa. Mengapa kita menjadi sulit sekali saling merangkul sesama anak bangsa yang berbeda pandangan? Bukankah kita punya Pancasila, yang lima prinsipnya begitu luar biasa dan satu sama lain saling melengkapi?
Marilah kita sama-sama menginsyafi, Tragedi 1 Oktober 1965 atau ada yang menyebut Gerakan 30 September merupakan peristiwa kelam yang terjadi karena berbagai sebab. Dan, dalam perjalanan waktu, berbagai pakar sejarah telah memaparkan begitu besar keterlibatan negara lain dalam terciptanya tragedi yang sangat memilukan bangsa ini, yang berawal dari berbagai upaya mereka untuk kembali menjajah negeri yang kaya-raya ini. Maka, dibuatlah serangkaian skenario untuk menggulingkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaannya, karena sikapnya yang konsisten menentang neo-kolonialisme dan imperialisme (neokolim). Bahkan, jauh-jauh tahun sebelum Tragedi 1965 itu, Bung Karno telah berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan.
Kita pun mafhum, ancaman nekolim tak pernah sirna dari Bumi, termasuk di negeri ini. Apalagi, dunia sekarang semakin dikuasai kapitalisme global, yang wataknya sejak dulu tak pernah berubah: eksploitatif, akumulatif, ekspansif, dan opresif. Kapitalisme global telah menciptakan ketimpangan dan kesenjangan di sana-sini, menciptakan krisis di banyak tempat, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan sumber-sumber ekonomi, penjajahan, baik yang dilakukan dengan cara yang manis bersandang sutera, bertindak bengis dengan senjata, maupun dengan membuat aturan/perundangan yang hanya menguntungkan mereka serta menyingkirkan kaum lemah-papa.
Jadi, seperti ucapan Jocasta dalam lakon Oedipus sang Raja karya Sophokles, sungguh merupakan bencana, ketika negara sedang menderita, para pangeran malah lantang bicara, bersengketa. “Di manakah rasa malunya?” kata Jocasta. Ya, tidakkah kita malu, sehingga mengumbar aib kita sendiri sebagai suatu bangsa, terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini? [PUR]