Gusaran atau peperan pada salah satu suku di Jawa Barat dengan menggosokan batu gosok di gigi.
Gusaran atau peperan pada salah satu suku di Jawa Barat dengan menggosokan batu gosok di gigi.

KETIKA tiba di fase remaja, ada banyak ritual inisiasi bagi remaja dari suku-suku bangsa di negeri Nusantara yang kaya adat istiadat ini. Ritual inisiasi yang umumnya berupa upacara bertujuan untuk memberi tanda bahwa para remaja segera menapaki masa dewasanya. 

Seperti halnya anak lelaki di Pulau Nias, sejak usia 10 tahun sudah akan bersiap-siap untuk melakukan giliran “fahombo” mereka. Fahombo adalah tradisi melompati batu setinggi lebih dari 2 meter, dan jika berhasil mereka akan menjadi lelaki dewasa dan dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah. Sebagai ritual, fahombo dianggap sangat serius dalam adat Nias. Karena anak-anak lelaki di Nias akan melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka.

Begitu pula bagi anak lelaki suku Mentawai yang memasuki akil balig, mereka mempunyai ritual adat yaitu tato. Orangtua akan memanggil sikerei (dukun) dan rimata (kepala suku) ketika anak laki-laki mereka akil balig. Akan ada perundingan menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti, seniman tato. Sebelum tato dilakukan upacara inisiasi yang disebut punen enegat dipimpin oleh sikerei (dukun). Setiap orang di masyarakat Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya.              

Masih di sekitaran budaya Suku Mentawai, sebagai seorang gadis Mentawai yang beranjak dewasa dipercaya akan lebih terlihat cantik jika memiliki bentuk gigi geligi yang runcing. Selain perihal kecantikan, tradisi Kerik Gigi  ini pun diyakini sebagai pengantar jiwa para gadis Suku Mentawai menuju kedamaian. Kerik Gigi dimaknai sebagai lambang perjuangan dalam menemukan jati diri bagi gadis Mentawai.

Sedangkan bagi Suku Dayak Kenyah di Kalimantan, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat di sebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang di tato maupun keluarganya.

Di Pulau Jawa, dalam masyarakat Osing, upacara haid pertama itu disebut Munggah Perawan atau Sukeran. Peristiwa itu ditandai dengan upacara atau selametan jenang abang dan jenang putih. Dan masih harus pula menjalani upacara Ngasab atau Pangur atau Pasah Untu bagi keturunan masyarakat Jawa Mataraman, yaitu meratakan gigi bagian ujungnya.

Upacara yang sama yaitu potong gigi juga ada dalam upacara keagamaan Hindu-Bali. Dilaksanakan bila seorang anak sudah beranjak dewasa, dan diartikan juga sebagai pembayaran hutang oleh orang tua kepada anak karena sudah bisa menghilangkan ke-enam sifat buruk dari diri manusia. Upacara ini termasuk apa yang disebut dengan istilah upacara manusa yadnya. Ritual yang dilakukan pada saat potong gigi adalah mengikis 6 gigi bagian atas yang berbentuk taring. Tujuan dari upacara ini untuk mengurangi sifat buruk. Masyarakat Bima menyebut upacara ini ndoso. Orang Bali di Lombok Barat menyebutnya mepandes dan orang Sasak menyebutnya merosoh

Masyarakat Ciamis di Jawa Barat punya  juga upacara semacam,  yaitu Gusaran atau peperan dengan  menggosokan batu gosok di gigi, pada zaman dulu bahkan menggunakan uang logam yang terbuat dari bahan tembaga atau dikenal sebagai uang benggol.  Pada awal pertama kali muncul istilah gusaran hanya dipakai untuk  anak perempuan karena sebagai ganti dari khitan yang dilakukan anak laki-laki, tapi setelah perkembangan zaman, anak laki-laki pun melakukan gusaran karena maknanya adalah menghilang runcingnya gigi susu, itu secara logika. Namun, secara mistis gusaran dilakukan dengan tujuan mencari keselamatan diri dari segala gangguan dan kesengsaraan yang melingkupi agar dalam menjalani kehidupannya senantiasa memperoleh keselamatan, jauh dari gangguan setan serta sebagai penolak bala.

Kembali ke Bali, ada upacara yang disebut Menik Kelih,  yang dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak remaja dan sedang beranjak dewasa. Untuk anak laki-laki disebut dengan Ngeraja Singa atau Menek Taruna dan untuk perempuan disebut Ngeraja Selawa atau Menek Taruni/ Bajang/ Deha. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

Lain pula dengan Suku di Biak Numfor, mereka akan melakukan Munar Kabor-Insos (wor kapakpok) yaitu upacara inisiasi untuk pemuda/pemudi, yang dirayakan dengan beberapa cara antara lain : wor apen beyeren, yaitu upacara yang dilakukan dengan memasak memakai batu yang di bakar, sanak keluarga lelaki dari pihak ibu (me) berjalan dengan kaki telanjang diatas batu yang sedang dibakar tersebut. 

Sebelumnya telapak kaki dioles dengan ludah pinang atau air putih yang sudah diberi mantra/magis; wor kapakpok yaitu upacara yang diadakan oleh saudara lelaki dari ibu dengan memikul keponakannya (fno) sambil menari mengikuti irama tari dan nyanyian wor, rambut dan badan si anak dihiasi dengan uang atau harta yang bernilai harganya.

Masih dari Tanah Papua ada yang menarik dari Suku Kamoro di pesisir selatan Papua, di Kabupaten Mimika, yakni alat ukir yang hanya bisa didapatkan secara turun-temurun. Akan ada saatnya seorang anak mulai boleh belajar untuk bisa mewarisi keahlian dari orang tuanya untuk mengukir. Yakni ketika mereka telah melewati upacara Karapao. Upacara itu biasa disebut sebagai upacara adat pendewasaan atau inisiasi seorang anak laki-laki. Anak-anak suku Kamoro yang berusia tujuh sampai delapan tahun akan melewati prosesi inisiasi adat yang menandakan mereka sudah memasuki usia harus membantu meringankan beban orangtua, misalnya, dengan membantu mencari kayu bakar sendiri.

Inisiasi Karapao berarti memasukkan seseorang atau beberapa orang dari anggota masyarakat atau suku ke dalam kelompoknya sehingga mereka diterima secara sah sebagai bakal calon Karapao. Melalui Karapao, seseorang atau kelompok orang Kamoro pun dimasukkan ke struktur sosial tradisional. 

Upacara Karapao dilakukan dalam sebuah bangunan sementara yang berbentuk memanjang, dindingnya terbuat dari anyaman daun sagu, tiang-tiangnya saling terikat, dan atapnya terbuat dari jerami. Lebarnya kira-kira 3 meter dan panjangnya bergantung pada jumlah pintu. Jumlah pintu tergantung pada jumlah anak yang akan diinisiasi. Untuk memastikan seorang anak siap melakukan upacara Karapao, ialah dengan menyuruhnya menonjok batang pisang. Jika kesakitan, berarti ia belum siap. [S21]