Korea Utara melakukan uji coba nuklir [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pada suatu siang di bulan Agustus 1945. Deru pesawat Boeing B-29 Superfoster milik militer Amerika Serikat (AS) memecah keheningan langit Filipina. Pesawat yang bertolak dari Pangkalan Militer AS itu bergerak cepat menuju Jepang. Tujuannya Hiroshima dan Nagasaki.

Tidak lama kemudian, pesawat tempur itu menjatuhkan dua bom atom. Akibatnya, kedua kota itu luluh lantak. Aktivitas kehidupan kedua kota itu terhenti. Ratusan ribu orang tewas dan puluhan ribu orang lenyap karena serangan bom nuklir itu. Serangan ini menandai Jepang menyerah tanpa syarat pada Perang Dunia II kepada sekutu.

Warga Jepang terus mengenang serangan yang mahadahsyat itu. Mereka tak akan pernah lupa bagaimana serangan itu meluluhlantakan kota mereka. Juga karena efek bom nuklir beradiasi tinggi – warga umumnya akan mengalami pendarahan, leukemia, katarak dan kanker. Akan tetapi, selepas Perang Dunia II, justru negara-negara “besar” seperti AS dan Uni Soviet bersaing untuk memproduksi senjata nuklir.

Era itu disebut sebagai masa Perang Dingin. Periode ini berlangsung kira-kira dari 1945 hingga 1991. Catatan britannica.com, persediaan senjata nuklir AS mencapai puncaknya pada 1966 dengan lebih dari 32 ribu hulu ledak dari 30 jenis yang berbeda. Sementara persediaan senjata nuklir Uni Soviet mencapai puncaknya pada 1988 dengan 33 ribu hulu ledak operasional. Jumlah ini sudah dikurangi 10 ribu hulu ledak yang sebelumnya dianggap memasuki masa pensiun.

Setelah masa Perang Dingin berakhir terutama ketika Uni Soviet bubar, AS dan negara-negara pecahan Uni Soviet sepakat mengurangi senjata nuklir. Pada 2010 tercatat negara Abang Sam itu hanya memiliki 9.400 hulu ledak dari sembilan jenis yang berbeda. Termasuk dua jenis bom, tiga jenis rudal balistik yang mampu menjelajahi antar-benua, dua jenis rudal balistik yang diluncurkan lewat kapal selam, dan dua jenis rudal jelajah.

Selanjutnya, beberapa jenis dalam pengubahan. Dari 9.400 hulu ledak ini diperkirakan sekitar 2.468 beroperasi. Sisanya disimpan dan rencananya akan segera dimusnahkan. Sedangkan Rusia, selepas pembubaran Uni Soviet, diperkirakan memiliki hulu ledak 12 ribu pada 2010. Dari jumlah itu, hanya sekitar 4.600 yang bisa digunakan. Dari 4.600 hulu ledak operasional, sekitar 2.600 untuk kepentingan strategis dan dua ribu digunakan untuk kepentingan non-strategis.

Dari fakta itu, AS seolah-olah berniat menghapus semua persenjataan nuklirnya sehingga sangat getol melarang berbagai negara untuk membangun persenjataan nuklirnya. Mereka yang dianggap “melawan” dan “menentang” akan mendapat sanksi berupa embargo ekonomi dan persenjataan. Itulah yang dialami Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) atau sering disebut sebagai Korea Utara. Di samping Korea Utara, Iran dan beberapa negara lainnya juga mendapat sanksi yang serupa karena membangun kekuatan nuklirnya.

Jejak pembangunan nuklir di Korea Utara yang menggandeng Pakistan rupanya telah berlangsung lama. Laporan The Diplomat menyebutkan, kerja sama kedua negara telah berlangsung sejak era Zulfikar Ali Bhutto hingga Abdul Qadeer Khan yang disebut sebagai Bapak Nuklir Pakistan. Jadi, sudah hampir lebih dari 40 tahun kerja sama itu terjalin. Hubungan ekonomi kedua negara mulai terjalin pada awal 1970-an. Bhutto bahkan pernah mengunjungi Pyongyang pada 1976 untuk memastikan sikap Pakistan atas kebijakan AS dan Tiongkok terhadap Semenanjung Korea.

Merujuk pada Tiongkok, Bhutto kala itu menegaskan penyatuan Korea hanya bisa dilakukan lewat dialog yang luas dengan pemimpin Korea Utara. Ia bahkan mengusulkan agar melibatkan AS dan Jepang sebagai penengah (arbiter) dalam proses penyatuan Korea. Sikap Bhutto itu tampak sangat berhati-hati. Dengan demikian, ia bisa meningkatkan hubungan negaranya dengan Korea Utara tanpa membuka front dengan sekutu utamanya yakni AS.

Kerja sama Korea Utara dan Pakistan semakin berkembang selama periode 1990-an. Pakistan sempat mendapat sanksi internasional karena mengembangkan persenjataan nuklir dan karena kedekatannya dengan kelompok militan Taliban. Tiongkok pun pada periode itu ikut-ikutan membatasi hubungannya dengan Pakistan. Terlebih pada waktu itu Tiongkok sedang menormalisasi hubungannya dengan AS. Itu karena peristiwa Tiananmen pada 1989 sehingga negeri tirai bambu ini mendapat sanksi embargo senjata.

Selama periode itu, Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto membeli rudal jarak jauh dari Korea Utara. Sebagai balas jasanya, Pakistan memasok teknologi nuklir untuk sipil dan mendorong mahasiswa Korea Utara untuk belajar di universitas-universitas di Pakistan. Kendati Pakistan menjadi sekutu penting AS dalam perang melawan terorisme setelah serangan 9/11 2001, kerja sama militer kedua negara terus berlanjut. Bahkan hingga di bawah kepemimpinan Pervez Musharraf.

Berselang setahun, AS menuding Pakistan mengekspor salah satu komponen nuklir untuk memperkaya uranium Korea Utara pada 2002. Pakistan menolak tuduhan itu dan kerja sama militer Pakistan-Pyongyang tetap terjalin baik. Setelah itu, pada tahun yang sama, Musharraf mencegah AS memeriksa AQ Khan, ilmuwan nuklir Pakistan yang tersohor. Ia diketahui membantu progam nuklir Korea Utara, Iran dan Libya. Pemerintah lalu mengumumkan Khan sebagai “warga bebas” dan AS menentang kebijakan itu karena Khan tetap dianggap berbahaya karena kemampuannya membuat nuklir.

Sanksi yang diberikan PBB terhadap Korea Utara tak membuat Pakistan memutuskan kerja sama militer kedua negara. Itu tandanya Pakistan tidak terlalu tunduk kepada keputusan PBB. Buktinya, dua kali uji nuklir Korea Utara baru-baru ini juga atas bantuan Pakistan. Bantuan yang bersifat sangat rahasia. Senyap. Yang paling maju kerja sama kedua negara dalam hal pembuatan nuklir bahwa pada 2023 atau paling cepat pada 2021, Korea Utara dan Pakistan akan memiliki senjata nuklir dengan teknologi tinggi.

Kemunafikan AS
Kemunafikan AS menjadi terbongkar ketika sekutunya seperti Israel juga sedang mengembangkan senjata nuklir. Dan untuk ini AS diam dan tidak sama sekali tidak melarangnya. Bahkan AS sendiri dalam beberapa tahun terakhir terus mengembangkan dan meningkatkan senjata nuklirnya. Di sisi lain, ketika Iran dan Korea Utara mengembangkan senjata nuklirnya justru langsung mendapat sanksi dari AS berupa embargo ekonomi. Seperti AS, Arab Saudi juga menoleransi pengembangan nuklir Israel, tapi menolak pengembangan nuklir oleh Iran.

Sikap mendua AS itu lalu memunculkan pertanyaan: mengapa menoleransi pengembangan nuklir Israel, tapi tidak dengan Iran? AS dan sekutunya berpendapat pengembangan senjata nuklir Israel dapat ditoleransi secara moral dan sejarah. Toleransi itu antara lain karena peristiwa Holocaust dan untuk mempertahankan dirinya dari negara-negara tetangga. Terlebih Israel dipastikan tidak dalam posisi menyerang atau mengancam negara-negara tetangga.

Intelijen AS kali pertama mengetahui fasilitas nuklir Israel pada 1960. Ketika itu, Israel berkeras pengembangan senjata nuklir itu untuk tujuan damai. Tak perlu usaha lebih untuk mengatakan bahwa Israel berbohong. Masalah pengembangan senjata nuklir di Timur Tengah sesungguhnya berfokus pada Israel. Tidak mungkin berbicara senjata nuklir di Timur Tengah tanpa menyinggung Israel. Untuk menepis soal pengembangan nuklir di Timur Tengah, Iran melalui pejabatnya kadang-kadang menjawabnya secara diplomatis. Mereka tidak hanya ingin membuat senjata nuklir, namun ingin Timur Tengah bebas dari senjata nuklir sambil menyindir Israel.

Sikap AS mengenai pengembangan senjata nuklir kian telanjang ketika PBB pada tahun lalu mengusulkan kepada negara-negara anggotanya untuk mengadakan konferensi soal nuklir pada 2017. Sebanyak 123 negara menyetujui usulan tersebut, 38 negara menolaknya dan 16 negara abstain. Konferensi tersebut membicarakan perjanjian yang mengikat secara hukum untuk semua negara tentang pelarangan senjata nuklir. Ini disebut sebagai momen bersejarah. Pasalnya, PBB dalam 71 tahun terakhir tidak pernah membuat keputusan semacam itu.

Lalu apa sikap AS mengenai keputusan tersebut? Mereka menolaknya. Mengapa? AS dengan gigih menolak segala resolusi yang diputuskan PBB. Mereka bahkan melobi negara-negara sekutu, terutama negara yang diizinkan memiliki senjata nuklir untuk menentang resolusi tersebut. Robert Wood, perwakilan AS di PBB mengatakan, pihaknya sulit untuk memenuhi resolusi tersebut. Pasalnya, bagaimana mungkin sebuah negara yang bergantung pada senjata nuklir untuk mempertahankan negaranya menyetujui sebuah keputusan yang akan menghapuskan senjata tersebut?

“Perjanjian ini berpotensi mengganggu keamanan regional,” kata Wood seperti dikutip thebulletin.org pada tahun lalu.

Seperti AS, negara-negara Iran, Korea Utara dan Pakistan membangun senjata nuklir juga demi mempertahankan kedaulatannya. Tapi, entah mengapa AS begitu ngotot melarang negara-negara tersebut mengembangkan senjata nuklirnya. Meski AS dengan gigih menentang resolusi itu, pada akhirnya PBB memutuskan bahwa perundingan untuk membuat perjanjian pelarangan senjata nuklir tetap berlanjut. [Kristian Ginting]